DIBUKU Resensi Buku

Negara dan Warga dalam Kuasa Media

Rafzamzali

Green Radio Pekanbaru

Dalam iklim demokrasi, media digital jadi wahana favorit oleh kaum elit (politisi dan kapitalis) untuk berkompetisi sekaligus berkontestasi, merebut simpati dan empati mayoritas warga (popular vote) terhadap kepentingannya hingga tercapainya legitimasi.

Segala macam bentuk kampanye dan framing pun dilakukan dalam dunia digital. Ross Tapsell menyebut, bahwa, kemenangan Jokowi-Ahok pun pada tahun 2012 dalam pilkada DKI Jakarta dipengaruhi oleh bantuan generasi muda urban yang kreatif dan cerdas dalam memainkan konten secara digital.

Inilah era baru bagi sebuah bangsa melaksanakan konsolidasi demokrasi. Menariknya lagi, media digital juga menjadi sarana untuk merobohkan legitimasi, kewibawaan bahkan trust. Keterbukaan akses informasi dan mulai munculnya kesadaran berpartisipasi menghasilkan kritisme publik untuk memberikan penilaian yang radikal atas performa kekuasaan.

Pertanyaan esensial yang muncul kemudian adalah, sejauh mana digital mempengaruhi relasi-relasi kekuasaan (status quo)? Betulkah bahwa, kehadiran teknologi media digital baru hanya mengistimewakan beberapa kelompok dan identitas tertentu serta melemahkan yang lain?

Lagi-lagi Ross Tapsell mengajak kita berdialektika tentang struktur hubungan antara oligarki, warga negara dalam mendorong sebuah perubahan dalam sistem yang demokratis. Siapa yang betul-betul kuat (eksis) dan siapa pula yang kemudian menjadi lemah?

Momentum revolusi digital telah mampu mengaktifkan partisipasi warga dalam media digital. Ini sangat penting sekali bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia karena, esensi pokok dari demokrasi adalah partisipasi. Itu maknanya, melakukan pengawalan, pengawasan dan penilaian pada politik pemerintahan.

Walaupun pada kenyataannya, media digitalpun dimanfaatkan jadi corong bagi kekuasaan konglomerasi digital dan oligarki media untuk, memonopoli sentimen dan kesadaran publik atas suasana kekinian. Inilah pertarungan yang seru sebetulnya antara penyandang kedaulatan (politisi) dengan pemilik kedaulatan (rakyat). Ross Tapsell begitu sangat kreatif menjelaskan fenomena ini.

Arena paling pas untuk melihat pertarungan itu adalah pemilu. Disanalah kita bisa menyaksikan sekaligus memahami seluruh agenda setting politisi, konglomerat dan oligarki dalam mengusung figur pilihan politik mereka. Walaupun sinyal itu harus kita pahami dengan terbatas karena, produksi informasi dan narasi yang di buat mereka mengandung dualisme makna.

Tapi, disitulah menggelitiknya media digital. Wargapun jadi terpancing untuk memberi tafsiran pada agenda setting tersebu. Dengan kelincahan dan kreatifitasnya, generasi urban digital mampu secara perlahan tapi pasti menempatkan peran kritisnya. Ini membuktikan bahwa, sekalipun kekuatan-kekuatan oligargi itu ada dan mencengkram kuat media digital, wargapun juga mampu melawannya dengan kesadaran dan kreatifitas konten digital.

Dalam bab terkahir buku Ross Tapsel ini cukup menarik. Penulis memberikan sinyal informasi sekaligus tantangan bagi kita dalam ekosistem digital. Sekalipun warga semakin kritis dan garang dalam memantau performa kekuasaan, negara dan kaum oligarki tetap memiliki otoritas yang kuat untuk mengontrol landskap media Indonesia.

Itu bisa dilihat dari semakin  intensnya negara menyusun dan memberlakukan undang-undang yang menghambat kebebasan berekspresi secara daring. Lalu, apakah kita ingin memahami ini sebagai sebuah ancaman? Atau, justru melihatnya sebagai sebuah tantangan untuk semakin menguatkan kualitas gerakan demokrasi yang prospektif dari warga negara?

Revolusi digital telah membuat kita sedikit banyak tahu tentang, apa yang sebetulnya diinginkan oleh konglomerat media dari negara? Ya, jelas. Yang mereka inginkan adalah bisnis dan mereka tindak ingin bisnis itu diintervensi.

Para pemilik media dan CEO nya sebetulnya menyadari bahwa, pemerintah sebagai regulator hanya menghalangi inovasi didalam industri. Namun dilain hal, kita juga menjadi sangat mengerti. Apa yang sungguh-sungguh didambakan oleh warga dalam kehidupan digital yang demokratis?

Masyarakat perlu dan butuh ruang untuk mengekspresikan pikiran dan gagasannya tentang pembangunan yang sedang berlangsung. Masyarakat ingin sekali memastikan visi-misi negara selalu berpihak pada kesejahteraan. Ketidakpercayaan masyarakat pada parlemen dan partai politik telah membuat jalan alternatif bagi masyarakat untuk mengagregasikan aspirasi dan kepentingannya.

Masyarakat mengorganisasikan ide dan gagasannya kedalam multi platform digital yang kreatif. Sekaligus, disanalah mereka merasakan eksistensi dan relasi sosial yang ajeg untuk menciptakan perubahan dan memantau performa kepemimpinan.

*Resensi buku ini tanggungjawab penulis seperti yang tertera, tidak menjadi tanggungjawab redaksi Senarai.or.id

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.