Kabar Karhutla Karhutla 2019 PT Adei Plantation Siaran Pers

PT Adei Wajib Dihukum, Penerima Manfaat dan Pendananya juga Patut Diminta Pertanggungjawaban

 

 

Pekanbaru, Rabu, 11 November 2020—Senarai menilai, enam dekade lebih berdiri, mengelola kebun dan mengolah kelapa sawit di Indonesia, PT Adei Plantation and Industry belum menunjukkan sikap patuh terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu masalahnya, lahan perusahaan asal Malaysia itu langganan terbakar. Terbaru, kebun inti blok 34 divisi 2 terbakar seluas 4,16 hektar pada 7 September 2019.

Itu bukan pertama kali. Tujuh tahun lalu, kebun plasmanya juga terbakar 40 hektar. PT Adei baru membayar biaya perbaikan lingkungan sebesar Rp Rp 15.141.826.780, Agustus lalu, setelah dihukum Mahkamah Agung pada 16 Maret 2016. Bahkan, tak hanya itu, temuan Ahli Kebakaran Prof Bambang Hero Saharjo, lahan PT Adei juga terbakar pada 2000 dan 2006. Dari keseluruhan peristiwa itu, PT Adei telah menjalani tiga kali proses hukum.

“Masalahnya selalu kekurangan sarana prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran. Puluhan tahun mengeruk keuntungan dari hasil pengolahan sawit, mustahil PT Adei tak punya uang memenuhi peralatan, bahkan mereka tidak akan rugi. Biaya perbaikan lingkungan yang disetornya dua bulan lalu juga belum tentu bikin perusahaan bangkrut,” kata Koordinator Umum Senarai Jeffri Sianturi.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum  (LBH) Pekanbaru Andi Wijaya menilai, PT Adei layak dikenakan pasal kesengajaan dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas kebakaran yang berulang-ulang. PT Adei sudah beberapa kali dihukum dan sepatutnya mereka tahu tanggungjawab dan kewajiban melindungi lahannya dari ancaman kebakaran. Mereka juga menyadari arealnya rawan terbakar dan sudah semestinya melakukan antisipasi dengan melengkapi seluruh peralatan yang dibutuhkan.

Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setyo, mengatakan, PT Adei tidak cukup sekedar dihukum pidana denda dan membayar biaya perbaikan lingkungan yang telah dirusaknya. Apalagi, kebunnya berada di gambut dengan kedalaman 2-4 meter. Pemerintah, lanjutnya, mesti mencabut izin PT Adei. Selain itu, Okto mendorong, penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan oleh PT Adei harus menyasar pada penerima manfaat.

Okto menyampaikan temuan Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan DPRD Riau yang bisa menjadi alasan kuat mencabut izin PT Adei. Perusahaan itu manguasai lahan di luar pelepasan kawasan hutan seluas 707 hektar baik di dalam maupun di luar Hak Guna Usaha (HGU). Juga ada ketidakwajaran dari pembayaran pajak yang mengakibatkan kerugian negara Rp 54 miliar per tahunnya. Temuan lainnya, PT Adei merusak lingkungan karena menanam di daerah aliran sungai bahkan tidak punya dokumen lingkungan untuk kegiatan di Kebun Nilo.

Direktur  TuK Indonesia Edi Sutrisno, mengamini penegakan hukum juga harus menyasar penerima manfaat karena selain PT Adei, masih ada pihak lainnya yang patut dimintai pertanggungjawaban.

“Penegak hukum harus melihat secara utuh siapa saja yang harusnya dimintai pertanggungjawaban atas karhutla yang terjadi. Jika perlu turut bekerjasama dengan pemerintah Malaysia. Selain PT Adei, tentunya seluruh pihak yang menikmati manfaat dari tindakan PT Adei patut dimintai pertanggungjawabannya.”

Dari hasil riset TuK Indonesia, diketahui PT Adei Plantation and Industry berada dibawah naungan Kuala Lumpur Kepong (KLK) milik Batu Kawan Grup dan memasok hasil perkebunannya ke grup milik Taipan keluarga Lee yang saat ini dipimpin Lee Hao Hian dan Lee Oi Hian. PT Adei dapat terus beroperasi karena adanya pendanaan dari Batu Kawan Grup atau KLK yang bersumber dari Lembaga Keuangan seperti CIMB, Maybank dan Malay Bank yang terus mengucurkan dana tanpa memperhatikan kepatuhan perusahaan dalam mengatasi persoalan lingkungan di areal izinya.

Selain lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dana, tentunya para investor yang membeli saham dari Batu Kawan grup turut serta dalam merusak hutan dan lingkungan di Indonesia. “Lembaga keuangan dan investor harus lebih selektif dalam memilih tempat untuk berinvestasi, karena jika perusahaan melakukan tindakan melawan hukum, mereka juga yang akan terkena dampaknya,” tambah Edi.

Narahubung:

Okto Yugo Setyo—0853 7485 6435

Jeffri Sianturi—0853 6525  0049

Andi Wijaya—0813 7811 0848

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube