Pidana Karhutla PT PLM

Bambang Hero Saharjo: Kerugian Akibat Kebakaran di PT PLM Sebesar Rp 18 Miliar

3 ahli di PLM

 

3 ahli di PLM

Video Pemeriksaan Ahli

PENGADILAN NEGERI RENGAT, Rabu 6 April 2016, kembali menggelar sidang lanjutan perkara pidana kebakaran hutan dan lahan oleh PT Palm Lestari Makmur (PLM). Kasus ini menjerat tiga orang, Direktur PT PLM Iing Joni Priyana, Manager Finance Niscal Mahendrakumar Chotai dan Manager Plantation Edmond Jhon Pereira.

emond jhon pereira dikatakan ahli dapat dipidana

Sidang dipimpin tiga hakim, Sutarwadi selaku Ketua Hakim serta dua anggota Wiwin Sulistya dan Immanuel Marganda Putra Sirait. Nama terakhir menggantikan sementara David Darmawan yang sedang mengikuti pelatihan di Komisi Yudisial.

Iing joni priyana

Sidang juga diikuti 4 Penuntut Umum. Dua diantaranya, Sustin Ekalangia dan Syafril Putra dari Kejaksaan Negeri Rengat. Syafril dan Zurwandi dari Kejaksaan Tinggi Riau. Hadir juga dua Penasihat Hukum terdakwa, Ufarida Sulistiani dan Ike.

niscal chotai

Agenda sidang yang dimulai jelang pukul 11 siang itu masih mendengarkan keterangan saksi ahli. Penuntut Umum menghadirkan tiga saksi ahli. Alvi Syahrir, Bambang Hero Saharjo dan Nelsong Sitohang.

Alvi Syahrin – Ahli Hukum Pidana Lingkungan

Prof Alvi katakan secara badan usaha dan individu Korporasi bisa dipidana

Alvi merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ia juga mengajar di Universitas Syiah Kuala Aceh dan Universitas Bengkulu. Ia juga sering diminta menjadi saksi ahli terkait perkara pidana lingkungan diberbagai wilayah di Indonesia termasuk di Riau. Setelah memberikan sumpah, hakim pertama sekali memintanya untuk menjelaskan pengertian dari lingkungan hidup, pencemaran lingkungan hidup, perusakan lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup.

suasana pengunjung sidang PLM

 

“Tolong dijelaskan dengan singkat dengan bahasa yang mudah dipahami,” kata Sutarwadi.

Sesuai Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 pada angka 1 menjelaskan, lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup, adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Penjelasan ini juga tercantum dalam UU dan pasal yang sama pada angka 14.

Sementara itu pada angka 16 menjelaskan tentang perusakan lingkungan hidup yakni, tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Terkait penjelasan mengenai kerusakan lingkungan hidup dijelaskan pada angka 17 yakni, perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

“Jadi, perusakan itu adalah perbuatan sedangkan kerusakan adalah peristiwanya,” jelas Alvi.

Alvi menjelaskan kembali terkait tindak pidana perusakan lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PPLH. Pasal 98 dilakukan dengan sengaja sedangkan pasal 99 dilakukan dengan kelalaian.

“Dari rumusan di atas diketahui, unsur perusakan lingkungan hidup yang dijelaskan pada pasal 1 angka 16 tadi, adanya tindakan,” jelas Alvi. Tindakan yang dimaksud bisa berbuat ataupun tidak berbuat. Terkait adanya akibat melampaui kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup, lebih lanjutnya dijelaskan dalam UU 32 tahun 2009. Tindak pidana perusakan lingkungan hidup ini merupakan tindak pidana materil.

“Tadi ahli menjelaskan, adanya unsur kelalain. Seperti apa kelalaian itu? tanya Sutarwadi pada Alvi.

“Kelalaian itu, ia dapat membayangi perbuatan tapi tidak menginginkan peristiwa itu terjadi. Kalau kesengajaan, ia dapat membayangkan dan menginginkan peristiwa itu terjadi.” Kata Alvi. Lebih lanjut ia menjelaskan, kelalaian itu bisa terjadi dalam delik materil, tidak delik formil.

“Dalam keterangan ahli menjelaskan tentang, pemberian perintah tindak pidana lingkungan hidup yang dikaitkan dengan pengurus korporasi atau badan usaha. Mohon dijelaskan,” tanya Sutarwadi kembali.

Alvi memaparkan, penafsiran terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan usaha berarti, badan usaha sebagai pelaku tapi yang melakukan adalah pengurus. Pengurus merupakan pelaku aktif, sementara sebagai pelaku pasifnya adalah badan usaha.

Kemudian terkait orang yang bertindak sebagai pemberi perintah, sebagai pemimpin di dalam korporasi itu adalah pengurus. Pengurus merupakan mereka yang punya kewenangan dalam menjalankan satu urusan dalam badan usaha. Pengurus ini ada beberapa level. Pertama mereka yang diangkat berdasarkan anggaran dasar, kemudian mereka yang diangkat dilevel manajer. Sepanjang mereka memiliki kewenangan untuk mengelola perusahaan dan mengambil keputusan itu dianggap sebagai pengurus.

“Jadi, ada perkembangan konsep pengurus dalam kepengurusan.”

“Apakah yang diminta pertanggungjawaban itu orang-orang yang bertugas di lapangan atau pengurus yang berada di dalam perusahaan?” tanya hakim kembali.

Alvi memaparkan, di dalam hukum perusahaan, semua pengurus dapat dimintai pertanggung jawaban. Dia bisa melepaskan diri dari pembuktian persidangan dengan menyampaikan bahwa dia bukan orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan cara menyampaikan alasan pembenar atau alasan pemaaf. Alasan pembenar ini terkait menghilangkan sifat melawan hukum. Dia bukan orang yang bertanggungjawab dalam melaksanakan apa yang didakwakan padanya. Kalau alasan pemaaf, dia sudah menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Dan itu tidak menjadi perbuatan organisasi tapi menjadi perbuatan individual.

“Terkait tindak pidana lingkungan hidup dengan UU korporasi badan usaha, yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam korporasi itu siapa saja?” hakim kembali bertanya.

Kata Alvi, dalam konteks pertanggungjawaban korporasi itu ada beberapa teori. Pertama teori pertanggungjawaban berdasarkan turunan atau derivatif yakni, korporasi bertanggungjawab atas perbuatan seseorang, sehingga pertanggungjawaban korporasi merupakan turunan dari pertanggungjawaban pribadi.

Teori di atas memiliki dua kriteria. Pertama korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pekerjanya. Dari kriteria ini muncul dua  konsep yakni, strict vicarious liability, yaitu tanpa mempedulikan apakah korporasi sudah mencegah atau mengambil langkah untuk merespon tindak pidana tersebut atau tidak. Konsep kedua, qualified vicarious liability yaitu, hanya jika korporasi gagal untuk mengambil langkah yang layak guna mencegah tindak pidana.

Kriteria yang kedua, korporasi hanya bertanggungjawab atas perbuatan pemimpin koporasi. Selanjutnya teori lain yang menjelaskan tindak pidana ini adalah corporate’s fault atau culpability. Korporasi bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri atau tindak pidana yang dilakukannya sendiri. Terori ini memunculkan kriteria yang ketiga, korporasi bertanggungjawab dengan cara agregasi dan budaya di dalam korporasi. Teori terakhir, pertanggungjawaban pribadi pemimpin atau pengurus korporasi.

Dari teori yang disebut di atas, muncul model pertanggungjawaban korporasi.

Pertama respondeat superior, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pekerjanya tanpa melihat status atau kedudukan orang tersebut di dalam korporasi. “Jadi, sepanjang itu dilakukan untuk kepentingan korporasi oleh pengurus, karyawan biasa atau high level, kalau itu merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat dijatuhi hukum pidana itu menjadi tanggungjawab korporasi,” tegas Alvi.

Menurut Alvi, tindak pidana yang bertentangan dengan program atau kebijakan perusahaan tidak selalu berarti bahwa perbuatan tersebut berada di luar lingkup kerja. Misal, seorang pengurus melakukan tindak pidana meski merugikan perusahaan, perusahaan juga dapat diminta pertanggungjawaban karena perusahaan tidak memberikan sanksi pada pengurus tersebut.

Kemudian, tidak hanya meliputi perbuatan yang secara terbuka, diam-diam atau tersirat disetujui oleh dewan direksi dari perusahaan, tetapi juga semua perbuatan yang terkait dengan pola perbuatan seseorang sebagai pegawai perusahaan tersebut. Misal, karyawan perusahaan sudah meminta perusahaan menyediakan sarana dan prasarana agar tidak terjadi pelanggaran tapi tidak dihiraukan. “Di sini korporasi bisa diminta pertanggungjawaban,” kata Alvi.

Kemudian juga, tindak pidana tersebut dilakukan untuk menguntungkan korporasi. Misalnya, dengan tidak dimilikinya sarana dan prasarana korporasi mendapat keuntungan. Ada biaya operasional untuk menyediakan sarana dan prasarana namun tidak dikeluarkan oleh koperasi sehingga korporasi mendapat keuntungan atas perbuatan tersebut.

“Intinya semua saling berkait gitu ya?” tanya Hakim Sutarwadi.

“Iya. Itu model yang pertama. Sambut Alvi.”

Model yang kedua, direct liability atau doctrine of identification. Di sini dilihat apakah karyawan atau pengurus merupakan directing mind dari perusahaan tersebut. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila mereka termasuk directing mind. Kemudian model agregasi. Pertanggungjawaban didasarkan beberapa jumlah dari state of mind dari korporasi itu. Misalnya, perbuatan itu bisa terjadi karena ada beberapa karyawan melakukan sehingga menghasilkan suatu tindakan pidana. Walaupun tindak pidana itu tidak terpenuhi seluruhnya tiap orang karena beberapa orang ini digabungkan lalu menghasilkan suatu tindakan pidana juga menjadi tanggungjawab badan usaha.

Model yang keempat adalah corporate culture model. Model ini pertama sekali muncul di Australia. “Beberapa putusan di Indonesia juga memakai model ini,” jelas Alvi. Model ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang mempengaruhi cara korporasi menjalankan usahanya. Selain itu, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana pegawai, apabila pegawai ini meyakini bahwa orang yang memiliki keuasaaan di dalam korporasi telah memberinya wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.

“Ini berkaitan meminta pertanggungjawaban pada korporasinya.” Korporasi bertanggungjawab berdasarkan budaya  korporasi jika, pertama, terdapat kebijakan yang secara tersurat maupun tersirat memaksa, mendorong, mengizinkan atau memberikan toleransi atas tindak pidana yang dilakukan. Misalnya, perusahaan harus memilik sarana dan prasarana yang minimal tapi tidak dilaksanakan. Bahkan sarana yang minimum kurang dari yang minimal.

“Jadi harus memenuhi standar minimal?” tanya Hakim Sutarwadi.

“Iya.” Jawab Alvi.

“Bagaimana kalau kurang dari standar minimal?”

“Dapat dikatakan orang yang memberi toleransi.”

Kedua, terdapat budaya yang mengarahkan, mendorong atau memberikan toleransi pada dilakukannya tindak pidana. Ketiga, terdapat kegagalan untuk menerapkan program penataan atau untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap tindak pidana. Dan yang terkahir, terdapat kegagalan untuk mengambil tindakan pencegahan guna merespon tindak pidana yang dilakukan. “Ini yang disebut dengan reactive corporate fault,” terang Alvi.

Selain meminta pertanggungjawaban pada badan hukum, juga dapat diminta pertanggungjawaban pada pengurus. Pertama, apabila karena partisipasi, bantuan, persetujuan atau kegagalan melakukan pengawasan. “Karena pengurus adalah orang yang menjalankan pengawasan.” Hal ini bisa dilihat dari perbuatan dengan consent atau connivance. “Ini suatu bentuk kelalaian,” sebut Alvi.

Pertanggungjawaban ini juga bisa dilihat apabila adanya partisipasi langsung di dalam tindak pidana. Adanya bantuan atau dorongan untuk melakukan tindak pidana, dengan cara memfasilitasi, membantu, mendorong, memberikan arahan, atau menyetujui dilakukannya tindak pidana. Baik melalui tindakan aktif tertentu maupun melalui tidak dilakukannya langkah tertentu.

Dan yang ketiga, adanya kegagalan melakukan pengawasan. “Ini termasuk responsible corporate officer.” Alvi memaparkan lebih lanjut, bahwa pengurus atau pemimpin korporasi dapat dipidana untuk tindak pidana dari bawahannya, meskipun pengurus atau pemimpin korporasi tidak mengetahui secara spesifik tindak pidana apa yang dilakukan oleh bawahannya.  Jika terbukti pengurus atau pemimpin korporasi memiliki kekuasaan untuk membenahi atau mencegah terjadinya pelanggaran pidana.

Pertanggungjawaban pribadi pengurus atau pemimpin ini pun ada beberapa model. Pertama, pertanggungjawaban pribadi pemimpin atau pengurus korporasi hanya ada apabila sebelumnya korporasi telah terbukti melakukan tindak pidana. “Artinya, dibuktikan dulu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasinya.”

Kedua, yang dapat bertanggungjawab tidaklah terbatas hanya pada dewan direksi, tetapi juga para pihak yang terlibat dalam manajemen korporasi. Ketiga, terdapat praduga bersalah terhadap pemimpin atau pengurus korporasi. Dalam hal ini, apabila korporasi  dianggap telah terbukti melakukan tindak pidana, maka pemimpin atau pengurus korporasi karena kedudukannya dianggap telah pula terbukti melakukan tindak pidana. “Kecuali mereka bisa membuktikan bahwa mereka tidak mampu mempengaruhi perilaku korporasi atau jika mereka telah melakukan segala upaya untuk mencegah pelanggaran.”

Terakhir, beban pembuktian ada pada pemimpin atau pengurus korporasi.

“Terima kasih saudara ahli. Saya rasa cukup jelas keterangannya. Selanjutnya saya serahkan pada yang lain untuk bertanya,” perintah Hakim Sutarwadi.

“Jika api berasal dari luar lahan perusahaan. Bagaimana pertanggungjawaban korporasinya?” tanya hakim Wiwin Sulitya.

Alvi menjelaskan, korporasi memiliki tanggungjawab untuk melakukan pencegahan, memiliki sarana dan prasarana, memiliki orang dan biaya untuk melakukan pencegahan. Apabila api masuk dalam kawasannya dan ternyata perusahaan tidak memiliki sarana dan prasarana memadai sehingga menyebabkan terjadi kebakaran berlanjut, ini bisa dikatakan suatu bentuk kesengajaan. “Bisa juga dikatakan suatu kelalaian apabila meskipun kejadian tersebut bukan kehendaknya,” tambah Alvi.

Kedua, dia memiliki sarana dan prasana yang memadai tapi tidak melakukan penanggulangan, ini juga bisa dikatakan suatu bentuk kesengajaan. Juga bisa dikatakan suatu kelalaian apabila pencegahan tersebut dilakukan secara tidak maksimal. Ada juga dia melakukan segala upaya dengan sarana dan prasana yang memadai tapi tidak juga padam, dia bisa diberi alasan pemaaf. “Itu karena ada sesuatu yang diluar kemampuan perusahaan tersebut,” terang Alvi.

“Dalam hal perkara ini, apakah seorang manajer keuangan dapat dimintai pertanggungjawaban?” tanya Syafril Penuntut Umum.

Alvi menjelaskan, terkait hal ini harus dipandang lagi apakah seorang manajer keuangan memiliki kewenangan untuk mengeluarkan suatu anggaran, atau harus ada perintah terlebih dahulu dari atasannya. Kalau ternyata harus ada perintah dari atasan terlebih dahulu, ini menjadi tanggungjawab atasannya langsung. “Begitu juga sebaliknya.”

“Selanjutnya, apakah seorang dapat dimintai pertanggungjawaban setelah terjadinya satu peristiwa, meski dia baru saja menjabat?” tanya Syafril kembali.

“Seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban apabila peristiwa itu terjadi pada saat dia menjabat,” Alvi langsung menjawab.

Usai penuntut umum memberikan pertanyaan pada ahli, giliran penasihat hukum yang dipersilakan oleh hakim untuk bertanya pada ahli. “Misal dalam surat dakwaan disebut, si x sebagai direktur atau si x sebagai manajer keuangan, menurut ahli siapa yang dimintai pertanggungjawaban. Badan usahanya atau seorang yang sebagai pengurus?” tanya Penasihat Hukum Ufarida Sulistaini.

“Kalau hanya disebutkan jabatan seperti si x sebagai direktur tadi, itu tanggungjawab individual. Tapi kalau disebutkan si x sebagai direktur dalam hal ini mewakili badan usaha, tanggungjawabnya berarti pada badan usaha,” jelas Alvi. Alvi juga menjelaskan, dalam meminta pertanggungjawaban korporasi dan pengurusnya dapat dimintai pertanggungjawaban.

Alvi selesai memberi keterangan selama dua jam lebih. Hakim lalu meminta penuntut umum memanggil saksi ahli selanjutnya.

Bambang Hero Saharjo – Ahli kebakaran hutan dan lahan

Bambang katakan ada bekas bakaran sebelumnya

Menurut Bambang, kebakaran hutan dan lahan itu disebabkan oleh tiga faktor. Pertama karena adanya bahan bakar, oksigen dan sumber panas. Bisa berasal dari alam maupun dari manusia itu sendiri. Kalau dari alam bisa diakibatkan karena dilampauinya baku mutu dan juga diakibatkan oleh petir. Jika dilihat dari dua faktor ini kemungkinan untuk terjadi kebakaran itu sangat sulit. Umumnya kebakaran itu terjadi karena ulah manusia karena tujuan tertentu. “Ada modus atau motif dibalik terjadinya kebakaran itu,” terang Bambang.

Terkait kebakaran yang terjadi di PT PLM, Bambang turun ke lokasi untuk melakukan verifikasi langsung di lapangan dimulai pada November 2015. “Saya dan tim mengambil sample untuk selanjutnya di cek di laboratorium.”

Hal yang pertama sekali diverifikasi di lapangan adalah, apakah benar terjadi kebakaran hutan dan lahan sebagaimana informasi yang diperoleh. Bambang juga melakukan analisa model kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Disamping itu, melihat ketersediaan sarana dan parasana yang dimiliki oleh perusahaan dalam melakukan pencegahan kebakaran juga jadi bagian verifikasi di lapangan.

Dari hasil cek laboratorium yang dilakukan diperoleh hasil, kebakaran yang terjadi berada di dalam kawasan perusahaan. Kebakaran juga terjadi dengan sengaja dan adanya pembiaran. “Karena semua blok ikut terbakar,” kata Bambang. Selain itu, akibat dari peristiwa kebakaran juga melampaui baku mutu dan mengakibatkan kerusakan lingkungan, terutama mengakibatkan efek gas rumah kaca.

Bambang juga menyebutkan, kerugian akibat kebakaran di lahan PT PLM sebesar Rp. 18 Miliar. “Intinya, dari hasil yang kami peroleh kebakaran ini terjadi karena adanya unsur kesengajaan.”

Hal ini dibantah oleh Penasihat Hukum terdakwa, dengan bertanya, “apakah saudara ahli ada bertanya pada saksi yang berada di lokasi kebakaran pada 31 Agustus. Padahal di sana ada manggala agni dan pelapor?”

“Tidak.”

Pada saat ke lokasi Bambang juga melihat kebakaran di luar lokasi perusahaan. Kata Bambang, di lokasi lahan perusahaan tidak ada papan peringatan semacam warning larangan membakar. Kebakaran yang terjadi di lokasi sekitar 39 hektar dan semuanya sudah ditanami sawit.

Nelson Sitohang –  ahli perizinan bidang lingkungan hidup, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau

Setelah memperkenalkan diri dan riwayat pekerjaan serta pengalamannya memberikan kesaksian sebagai ahli, Hakim Sutarwadi langsung bertanya pada Nelson. “Untuk PT PLM, siapa yang mengeluarkan izin lingkungannya?” kata Nelson, izin lingkungan hidup PT PLM dikeluarkan langsung oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Indragiri Hulu.

nelson sitohang

“Bagaimana dengan izin usaha perkebunan?”

“Izin usaha perkebunan dikeluarkan oleh Bupati setelah ada rekomendasi dari Provinsi.”

Kata Nelson, menurut Permenhut nomor 44 tahun 2011, bahwa kawasan hutan yang bisa dikonversi untuk dijadikan kawasan perkebunan harus memiliki beberapa persyaratan. Pertama harus memiliki izin usaha dulu. Dalam Undang-undang lingkungan hidup, sebelum izin usaha diterbitkan harus memiliki izin lingkungan hidup terlebih dahulu.

“Menurut ahli, mana yang terlebih dahulu dikeluarkan, izin usaha, izin pelepasan atau izin lingkungan hidup dulu?”

Kata Nelson, izin lingkungan dulu baru izin usaha, setelah itu baru mengurus izin pelepasan.

“Coba ahli jelaskan kegunaan Amdal, UKL dan UPL dalam izin perkebunan.”

Nelson menjelaskan, dalam dokumen lingkungan terdapat Amdal, UKL UPL dan SPPL. Ini yang menjadi dasar dikeluarkannya izin lingkungan. Amdal ini fungsinya untuk memperhatikan suatu usaha atau kegiatan yang berhubugan dengan lingkungan agar memiliki prinsip berkelanjutan. “Kalau dikaitkan dengan usaha perkebunan, Amdal ini berguna untuk memastikan perkebunan tersebut bisa dimanfaatkan dari generasi ke generasi.”

“Terkait PT PLM, apakah saudara ahli mengetahui amdal, UKL dan UPL yang dimiliki oleh perusahaan?”

“Penyidik menunjukkan ada yang mulia.” Nelson juga menjelaskan, menurut informasi dari penyidik, PT PLM juga telah memiliki izin lingkungan. Selain itu PT PLM juga memiliki izin usaha yang dikeluarkan pada tahun 2007, namun PT PLM belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan.

“Semuanya informasi dari penyidik?” kata Hakim Immanuel.

“Iya yang mulia.”

“Apa konsekuensi jika sudah memiliki izin usaha tapi tidak memiliki izin pelepasan?” tanya Immanuel kembali.

syafril tanya korporasi yang potong anggaran kebakaran

“Itu bisa ditanyakan pada ahli kehutanan yang mulia. Bukan kapasitas saya untuk menjawab.” Jika kita lihat dari izin yang dimilik oleh PT PLM, dia memiliki izin usaha dulu baru memiliki izin lingkungan. Padahal menurut undang-undang perkebunan, sebelum memiliki izin usaha terlebih dahulu mengurus izin lingkungan, karena izin lingkungan merupakan jantung dari izin-izin lainnya. “Jika tidak ini merupakan peanggaran.” terang Nelson.

suasana pengunjung sidang PLM

Nelson tidak lama memberi keterangan di persidangan. Pemeriksaan ketiga ahli berakhir pukul 16.30. Sebelum sidang ditutup, Penasihat Hukum memberikan surat permohonan berobat dan penangguhan penahanan. Sidang dilanjutkan kembali pada Rabu 13 April 2016. Masih mendengar keterangan ahli.#Suryadi-rct

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube