Abdul Arifin (Lokus TNTN) Kasus Perambahan

Majelis Hakim Hukum Abdul Arifin 1,6 Tahun Penjara serta Denda Rp 50 Juta

PN Pelalawan, Selasa 23 Juni 2020—Majelis Hakim Bambang Setyawan, Nurrahmi dan Rahmat Hidayat Batubara gelar sidang perkara konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terdakwa Abdul Arifin. Sidang dihadiri Penuntut Umum Marthalius dan Penasihat Hukum Zulherman Idris.

Majelis menyatakan Abdul Arifin bersalah, melanggar Pasal 40 Ayat (2) jo Pasal 33 Ayat (3) UU RI No 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pidana penjara 1,6 tahun, denda Rp 50 juta atau pidana kurungan 1 bulan bila tak sanggup bayar denda. Juga bayar biaya perkara Rp 5 ribu. Barang bukti, kebun karet 3,69 hektar dan sebuah rumah dirampas untuk dimusnahkan.

Hal memberatkan, perbuatan Arifin merusak ekosistem dan keberlanjutan taman nasional di Riau serta pernah dihukum. Hal meringankan, Arifin tulang punggung keluarga; lanjut usia; punya penyakit; sopan dan sebagai pemuka adat.

Abdul Arifin tanam karet dan mendirikan rumah dalam zona rehabilitasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Itu tidak dibenarkan karena menimbulkan dampak ekonomi, ekologi, sosial maupun budaya serta merubah keutuhan TNTN sebagai kawasan konservasi.

Abdul Arifin menyadari itu namun tidak mengindahkan aturan yang melarang kegiatannya.

Majelis berpendapat, penegakan hukum dari Satgas Karlhutla dilakukan sepotong-sepotong dan hanya kepentingan sesaat. Orang lain yang punya lahan lebih luas dalam TNTN dan terbakar tidak diproses lebih lanjut secara hukum.

Berdasarkan fakta persidangan, lahan sempadan Arifin milik Cirus Sinaga seluas 100 hektar terbakar dan juga berada dalam TNTN. Arifin yang hibahkan lahan pada Cirus. Menurut Arifin, lahan itu milik ulayat masyarakat Sungai Medang. Dia ditunjuk sebagai bathin.

Menurut majelis, penyelesaian sengketa masyarakat adat dalam TNTN yang berlarut-larut disebabkan, pemerintah tidak tegas mengeluarkan peraturan daerah mengatur dan mengakui adanya masyarakat hukum adat di Kabupaten Pelalawan.

Selain itu, pemerintah pusat dinilai kurang memperhatikan kearifan lokal dan tidak melihat langsung kondisi masyarakat, ketika menetapkan izin kawasan yang didalamnya sudah ada tanah adat juga makam nenek moyang mereka.

Kata Bambang, tanpa ada penyelesaian serius dari semua pihak, baik masyarakat adat; pemerintah pusat; kabupaten dan keterlibatan pemerhati lingkungan dengan cara-cara alternatif, penegakan hukum dalam TNTN tidak akan pernah tuntas dan selalu jadi masalah kemudian hari.

Sehingga, lanjut Bambang, keanekeragaman hayati yang terdiri dari 360 jenis flora, satwa liar seperti gajah, harimau Sumatra, primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis fauna dan 664 jenis kumbang akan punah selamanya.

Majelis juga menganggap, sengketa penyelesaian TNTN tak kunjung usai karena, semua pihak tidak menegakkan prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip pengakuan daya dukung dan keberlanjutan ekosistem serta prinsip pengakuan masyarakat adat dan setempat.

“Penegakan hukum lingkungan harus dilakukan secara serius dan profesional tanpa pandang bulu dan hanya berpihak pada lingkungan itu sendiri,” tegas Bambang.

Marthalius dan Zulherman Idris minta waktu pikir-pikir menanggapi putusan. Hakim mengakhiri dan menutup sidang.#Suryadi

 

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube