Kasus Marwan Ibrahim

Azmi: Marwan Terima Rp 1,5 Miliar Di Ruangan Saya

marwan

 rekaman suara saksi Azmi (mp3)

rekaman suara saksi Lahmudin (mp3)

video : Lahmudin dan Al-Azmi (Youtube)

–Sidang Kedua Korupsi Lahan Bhakti Praja Pelalawan tersangka Marwan Ibrahim

marwan
PN PEKANBARU. RABU, 15 Oktober 2014 — Jaksa Penuntut Umum Romy Rozali, Herlambang dan Banu Laksmana duduk di ruang tunggu sambil berbincang. Jam menunjukkan pukul 10.30. Saksi dan terdakwa yang mereka hadirkan belum juga datang.

Sekitar 30 menit kemudian, mobil Avanza berplat merah BM 1611 TP memasuki halaman gedung Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dari dalam mobil keluar terdakwa Marwan Ibrahim beserta para saksi yang dihadirkan jaksa.

jaksa

Mengenakan rompi bertuliskan Tahanan Korupsi Kejari Pangkalan Kerinci, Marwan berjalan menuju ruang tahanan korupsi. Seperti minggu lalu, ia kembali kenakan peci hitam. Di depan ruang tahanan, keluarga dan kerabat sudah menanti. Satu per satu menjabat tangan Marwan. Mereka lantas mengobrol, sesekali tertawa, sembari menunggu sidang dimulai.

marwan n ph

Lima belas menit kemudian, majelis hakim memasuki ruang sidang Cakra pertanda sidang segera dimulai. Penuntut Umum dan Penasehat Hukum sudah bersiap di meja masing-masing. Penuntut umum membawa sekoper dokumen dan barang bukti.

Ini pemeriksaan saksi perdana. Penuntut umum hadirkan 3 orang saksi. Ketiganya terpidana kasus yang sama yang kini menjerat Marwan Ibrahim. Lahmudin divonis 5 tahun 6 bulan penjara, Al Azmi 7 tahun penjara, serta Syahrizal Hamid 8 tahun penjara. Mereka dinyatakan bersalah melakukan korupsi perluasan lahan Bhakti Praja secara bersama-sama. Kini, bersama T. Afian yang juga divonis 5 tahun 6 bulan penjara, mereka sedang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung RI atas hukuman tersebut.

LAHMUDIN; terpidana, mantan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Pelalawan

Lahmudin dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi lahan perkantoran Bhakti Praja Pelalawan. Perannya terkait pengadaan lahan Bhakti Praja tahun 2002 serta ganti rugi perluasan kawasan Bhakti Praja tahun 2009.

 

Tahun 2002 ia menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan di Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan. Terdakwa Marwan Ibrahim jabat Sekretaris Daerah Kabupaten Pelalawan saat itu.

Di depan majelis hakim, Lahmudin ceritakan awal ia terjerat kasus ini. Suatu hari ia dipanggil oleh Bupati Pelalawan T. Azmun Jaafar. Bupati tanya apakah ada ketersediaan dana untuk lahan perkantoran. “Saya jawab, akan saya tanyakan kepada bendahara,” kata pria berusia 50 tahun ini. Bendahara M Yusuf katakan ada pos anggaran yang bisa digunakan sebesar Rp 500 juta. “Uang ini dicairkan bendahara dan diserahkan ke Syahrizal Hamid untuk membeli tanah yang akan dijadikan lahan perkantoran,” ujar Lahmudin.

Persoalannya, pos anggaran yang tersedia sebesar Rp 500 juta itu bukan tertulis untuk ‘pengadaan lahan’, melainkan untuk ‘pengamanan dan persertifikatan lahan’.

“Anda bisa bedakan pengadaan dan pengamanan? Kalau pengadaan, barang yang belum ada, dibeli, jadi ada. Tapi kalau pengamanan, barangnya sudah ada. Anggaran yang tersedia untuk pengamanan, mengapa digunakan untuk membeli tanah?” tanya Rachman Silaen, hakim anggota.

“Saya tidak tahu. Itu keputusan bendahara. Tapi pada waktu itu memang ada anggaran untuk tanah Rp 500 juta,” jawab Lahmudin. “Tahun 2002 itu kan peruntukan anggaran belum rinci seperti sekarang. Ibarat kita mau beli alat tulis, dulu hanya tertulis ‘pembelian ATK’, jadi bisa digunakan untuk beli pensil atau yang lainnya, yang penting alat tulis. Untuk tanah begitu juga dulu,” jelas Lahmudin berkelit.

“Apakah pengeluaran anggaran itu disetujui terdakwa Marwan Ibrahim?” kejar Rachman.

“Iya,” jawab Lahmudin. “Ada tanda tangan beliau di kuitansinya.”

Lantas, menurut Lahmudin, uang Rp 500 juta tersebut diserahkan kepada Syahrizal Hamid, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Pelalawan. “Pemda beli dari dia. Dia punya banyak tanah dulu. Dari uang RP 500 juta, Pemda mendapat 20 hektar,” katanya.

Tanggal 6 Oktober 2009, Lahmudin diangkat sebagai Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Pelalawan. Serah terima jabatan dilakukan 12 Oktober. Pada 19 Oktober, ia melakukan proses ganti rugi perluasan lahan Bhakti Praja yang telah dianggarkan oleh kepala dinas sebelumnya senilai Rp 17 miliar.

“Saat itu ada 8 persil yang harus diganti rugi, tanah mereka tidak termasuk ke dalam aset daerah,” kata Lahmudin. Proses ganti rugi tidak ada masalah sampai tanah tersebut sudah menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan.

“Jadi kasusnya apa?” tanya hakim ketua.

“Masalahnya jaksa mendakwa bahwa tanah yang saya bebaskan tahun 2009 itu sudah pernah dibebaskan tahun 2002,” jawab Lahmudin. Ia mulai terisak. Perkara ini yang membuatnya dinyatakan bersalah dan dihukum 5 tahun 6 bulan penjara.

Lahmudin kemudian membawa peta ke meja majelis hakim dan menunjukkan bahwa lahan yang diganti ruginya tahun 2009 tidak sama dengan lahan yang diganti rugi Pemda tahun 2002 sebesar Rp 500 juta.

“Siapa yang mengeluarkan peta itu?” tanya hakim anggota Rachman Silaen.

“Saya dapat dari Budi Satrya dari BPN Pelalawan,” jawab Lahmudin.

“Mengapa tidak ada keterangan legenda, skala, tahun pembuatan, dikeluarkan oleh siapa? Kalau dikeluarkan BPN pasti ada keterangan itu,” kata Rachman.

“Saya tidak tahu. Ini saya dapat dari BPN,” ulang Lahmudin.

Jadi apakah peta itu asli? Karena sampai sekarang saya juga belum pernah melihat peta aslinya,” balas Rachman.

“Saya tidak ahtu. Yang jelas saya dapat ini langsung dari BPN,” ulang Lahmudin lagi.

Lahmudin menyatakan ia tidak ada mendapatkan fee dari pembebasan lahan tahun 2009 tersebut. “Terdakwa Marwan juga tidak mendapatkan fee karena ia tidak tahu menahu soal proses ganti rugi itu,” katanya.

Lahmudin menambahkan bahwa ia tidak pernah mendengar uang Rp 1,5 miliar dan Rp 1,115 miliar diberikan untuk terdakwa Marwan Ibrahim.

AL AZMI; terpidana, mantan Seksi Penatagunaan Tanah pada Badan Pertanahan Daerah Kabupaten Pelalawan

Begitu mulai berbicara di persidangan, Al Azmi langsung mengakui bahwa ia pernah menyerahkan uang Rp 1,5 miliar kepada terdakwa Marwan Ibrahim tahun 2008. “Dimintai tolong sama Syahrizal Hamid,” katanya. Syahrizal adalah atasannya di Kantor Badan Pertanahan Daerah Kabupaten Pelalawan.

saksi al azmi

Menurut Syahrizal, ujar Azmi, uang Rp 1,5 miliar itu merupakan ganti rugi atas tanah Marwan Ibrahim di kompleks perkantoran Bhakti Praja Pelalawan. “Pak Marwan punya tanah, dulu dikasih Syahrizal Hamid. Pembebasannya oleh Pemerintah Daerah Pelalawan tahun 2007. Uang Rp 1,5 miliar ini sebagai ganti rugi pembebasannya,” kata Azmi.

Azmi sendiri menyerahkan uang Rp 1,5 miliar tersebut di ruangan kantornya. “Pak Marwan datang ke kantor. Sebelumnya saya dihubungi Lahmudin yang bilang kalau Pak Marwan mau datang. Saya siapkan kuitansinya, Pak Marwan tanda tangan,” jelasnya.

Saat dikonfrontir di depan persidangan, Lahmudin membantah pernah menghubungi Azmi dan bilang Marwan mau datang. Marwan juga membantah tanda tangannya pada kuitansi yang dibuat oleh Azmi.

Azmi juga bilang bahwa ia memberikan Lahmudin Rp 1,5 miliar. Ada kuitansi dan tanda tangan Lahmudin. Namun ini dibantah Lahmudin. “Sampai mati pun saya tidak mengakui bahwa itu tanda tangan saya,” tegasnya.

“Saya memberikan uang karena menganggap mereka punya lahan berdasarkan keterangan Pak Syahrizal Hamid,” ujar Al Azmi.

Tahun 2004 Al Azmi diberitahu oleh Syahrizal Hamid tentang kepemilikan lahan 110 hektar yang akan dijadikan perkantoran Bhakti Praja. Sebanyak 20 hektar lahan Pemerintah Daerah Pelalawan yang diganti rugi senilai Rp 500 juta, 60 hektar milik Lukimin Lukman, dan 30 hektar lagi milik Syahrizal Hamid dan kawan-kawan, termasuk pegawai dinas pertanahan, Marwan, Lahmudin, Al Azmi, dan beberapa orang lainnya.

“Tahun 2001 kami tek tekan (sumbang-sumbang) untuk membeli tanah itu. Tahun 2004 saya baru tahu kalau tanah saya berada dalam kawasan 30 hektar,” jelas Azmi.

Cerita berlanjut. Tahun 2006 Al Azmi, Syahrizal Hamid, dan Tengku Mukhlis bertemu di Kedai Kopi Jambi daerah Pelalawan. Mereka membahas lagi soal kepemilikan tanah dan menuliskan peruntukannya di atas peta. “Petanya masih kosong saat itu,” kata Azmi di depan persidangan.

Azmi mengaku tidak tahu proses pembagian tanahnya. “Saat itu saya sedang di luar. Waktu masuk, tanahnya sudah dibagi-bagi. Pak Mukhlis dan Pak Syahrizal yang tahu persisnya,” sambung Azmi.

Usai pertemuan, Syahrizal meminta Azmi untuk menyimpan peta tersebut. Ia melihat peta sudah dibagi-bagi peruntukan lahannya, ditulisi nama-nama orang beserta luas lahannya. Antara lain Marwan Ibrahim 3 hektar, T. Azmun Jaafar 7 hektar, Syahrizal Hamid 2 hektar, Lahmudin 3 hektar, Al Azmi 3 hektar, dan lain-lain.

“Karena ada nama Pak Marwan makanya uang Rp 1,5 miliar saya berikan kepada Pak Marwan atas perintah Pak Syahrizal Hamid,” ujarnya. Uang diberikan pada tahun 2008. Setelah diperiksa penyidik, ia baru tahu tidak pernah ada sertifikat tanah atas nama Marwan Ibrahim.

Di dalam BAP Al Azmi yang dibacakan majelis hakim, tertulis bahwa ia memberikan uang dua kali kepada Marwan Ibrahim. Satu lagi tahun 2009 sebesar Rp 1,115 miliar.

Di depan persidangan, Al Azmi membantah keterangan dalam BAP tersebut. Ia bilang dipaksa penyidik untuk mengakui bahwa ia memberikan uang Rp 1,115 miliar untuk Marwan Ibrahim, padahal kenyataannya tidak ada.

“Dalam BAP, Anda berulang kali menyatakan bahwa Anda memberikan uang kepada terdakwa sebanyak dua kali. Apa benar Anda dipaksa penyidik untuk mengatakan itu?” selidik hakim ketua.

Azmi terdiam, mencoba berkelit. Ia katakan penyidik memeriksanya hingga larut malam sehingga ia capek. Lantas ia bilang lagi kalau saat itu ia melihat coretan catatan yang dibawanya. “Karena barang lama, saya lupa. Kemudian penyidik menyuruh saya menulis lagi tentang kemana saja saya memberikan uang. Tertulislah Rp 1,115 miliar tahun 2009 untuk Pak Marwan Ibrahim,” jelasnya.

“Tapi itu hanya catatan saja. Di lapangan tidak ada saya berikan,” kelit Azmi mulai gugup.

Al Azmi mengakui punya tanah atas namanya seluas 3 hektar di lahan perkantoran Bhakti Praja, sesuai peta peruntukan lahan dari Syahrizal Hamid.

“Tahun 2001 saya pernah keluarkan uang Rp 25 juta, patungan bersama teman-teman di kantor, terkumpul Rp 125 juta, terbeli lahan 5 hektar,” ceritanya.

Tahun 2004 Pemerintah Daerah Pelalawan mengganti rugi lahannya seharga Rp 967 juta.

“Enak dong, keluar uang Rp 25 juta, dijual lagi dapat Rp 967 juta,” celetuk hakim ketua.

“Iya, enak,” kata Lahmudin.

Tak cukup sampai di situ. Berdasarkan dakwaan jaksa, tahun 2007 Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan kembali membebaskan tanah Al Azmi seluas 3 hektar tersebut. Ia membenarkan hal itu dan mengaku menerima uang Rp 1,193 miliar.

Al Azmi mengetahui kalau uang yang diterimanya kurang. Berdasarkan harga tanah per meter saat itu, seharusnya Azmi menerima uang Rp 3,3 miliar lagi. “Tapi saya tidak terima Rp 3,3 miliar itu dan tidak tahu uangnya kemana,” katanya.

Ia juga tidak pernah bertanya kepada Syahrizal Hamid. “Itu wujud loyalitas kami terhadap pimpinan,” ujarnya.

Tahun 2008 kembali dilakukan pembebasan lahan Bhakti Praja untuk luasan 30 hektar oleh Pemerintah Daerah Pelalawan. Pencairan uang dilakukan bertahap. Al Azmi dapat jatah lagi, namun ia bilang tidak ingat berapa jumlahnya. “Sebenarnya saya diminta tolong Pak Syahrizal Hamid untuk mengelola tanah-tanah ini,” akunya.

Pada pencairan tahap kedua, Al Azmi menerima Rp 4,93 miliar, seperti keterangan dalam berita acara pemeriksaannya. Uang tersebut dibawanya ke rumah dinas Syahrizal Hamid. Uang itu dibagi-bagi, Rp 2,209 miliar untuk Syahrizal Hamid, Lahmudin Rp 1,5 miliar, Marwan Ibrahim Rp 1,5 miliar.

“Benar BAP ini?” tanya tim penasehat hukum.

“Iya benar.”

“Kalau ditotalkan, uangnya lebih dari Rp 4,93 miliar. Jangan-jangan ini ada rekayasa. Kami semakin yakin terdakwa tidak ada menerima uang,” lanjut penasehat hukum. Mereka menduga uang tersebut sebenarnya diberikan untuk T. Azmun Jaafar di LP Cipinang saat ia terjerat kasus korupsi kehutanan dan harus membayar uang ganti rugi kepada KPK.

“Benar kan Anda pernah membawa uang berkali-kali ke Jakarta lewat jalur darat, sampai berjumlah Rp 8 miliar, kemudian diserahkan kepada mantan Bupati Azmun Jaafar?” tanya tim penasehat hukum lagi.

“Iya benar, tapi hanya sekali, bukan berkali-kali,” bantah Azmi.

Sebelum Al Azmi mengakhiri keterangannya di persidangan, ia mengakui lahan atas namanya seluas 3 hektar pernah dibebaskan Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan sebanyak tiga kali: tahun 2007, 2008 dan 2011. Pembebasan tanah itu dilakukan untuk membangun perkantoran Bhakti Praja Pelalawan.

Karena waktu sudah larut, majelis hakim memutuskan pemeriksaan saksi Syahrizal Hamid ditunda minggu depan, 22 Oktober 2014. “Saya minta kita mulai lebih pagi, pukul 09.00. Dari keterangan saksi-saksi sebelumnya, kami melihat peran Syahrizal Hamid cukup besar untuk kasus ini,” tutup Achmad Setyo Pudjoharsoyo sembari mengetuk palu pertanda sidang ditutup. #RCT-Lovina