Kasus Rusli Zainal

Revisi Perda Harus Ada Uang Lelah?

 Video, rekaman suara dan lembar pemantauan:

Saksi Iwa Sirwani Bibra, Robin P Hutagalung, Tengku Muhazza dan Faisal Aswan (Mp3)
Lembar Pemantauan (Pdf)

–Catatan sidang ke dua puluh

PN PEKABARU, RABU 29 JANUARI 2014–Hadir di ruang sidang sejak pukul 09.20, duduk di kursi pengunjung yang masih kosong barisan terdepan sambil membaca berkas. Gunakan pakaian dan jilbab hijau tua, ia terus membaca berkas—sebagian tulisannya telah ditandai dengan stabilo. Lima menit kemudian ia dipersilakan petugas Jaksa Penuntut Umum dari KPK untuk menuju ruang tunggu saksi.

Ia adalah Iwa Sirwani Bibra. Saksi pertama pada sidang terdakwa Rusli Zainal. Ketua fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Riau dan juga anggota pansus revisi perda ini dimintai keterangannya pada pukul 09.45, setelah sebelumnya disumpah dengan Alquran di atas kepalanya.

Dalam kesaksiannya, Iwa jelaskan soal revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 untuk penambahan anggaran venue menembak. “Penambahan dananya Rp 20 Miliar,” ujarnya. Merevisi perda ini dibentuklah Panitia Khusus atau Pansus pada 7 Maret 2012. Tim beranggotakan utusan tiap fraksi bertanggungjawab terlaksananya revisi Perda No 6 tahun 2010 dan Perda Nomor 5 tahun 2008 memayungi pendanaan Main Stadion.

Tugas dari pansus secara garis besar membuat jadwal perencanaan, mulai dari studi banding ke Palembang tempat dilaksankannya PON XVII, diskusi dengan instansi terkait, mengunjungi venue untuk melihat pengerjaan, melaporkan ke fraksi dan meminta pandangan fraksi hingga terlaksananya paripurna revisi perda.

Dalam revisi kedua perda ini, jalannya tak mulus. Sebab perda No 5 tahun 2008 masa berlakunya sudah habis. “Untuk apa perda yang sudah mati direvisi lagi, kenapa tak dari kemarin,” ujar Iwa menirukan keluhan saat di rapat pansus.

Untuk perda Nomor 6 tahun 2010 tidak ada permasalah. Debat panjang terus terjadi bahas perda Nomor 5, akhirnya diambil keputusan untuk mendiskusikan hal ini ke Menteri Dalam Negeri atau Mendagri. 

Dari pertemuan dengan Mendagri didapatkan solusi untuk mengaudit kedua venue tersebut oleh BPKP barulah perda bisa di revisi. 

Sebelumnya, pembahasan soal revisi kedua perda ini telah terjadi di rumah Taufan Andoso pada akhir Desember 2011. Di sana Taufan ucapkan perlu dana sebesar Rp 1,8 Milyar. “Saya tidak terlalu mendengarkan,” jawab Iwa.

Iwa kembali ditanya soal uang, dikaitkan dengan keterangan Dunir bahwa setelah finalnya revisi perda tersebut akan ada sesuatu. Apa bentuknya tak dijelaskan dan berapa banyak. Namun Roem Zein dan Robin Hutagalung menanyakan soal angka Rp 900 juta atau Rp 1,8 Milyar. “Saya tidak tahu,” kembali ia menjawab.

Pertanyaan soal uang juga diberikan oleh T Muhazza ketika pansus kunjungi venue menembak. “Dananya Rp 900 juta atau Rp 1,8 Milyar? Saya tak tahu, tanya saja ke yang lain,” jelas Iwa.

“Apa memang biasa kalau mau revisi perda harus ada uang lelahnya?” tanya Bachtiar Sitompul, hakim Ketua. 

Iwa hanya menjawab tidak terlalu tahu soal itu. Ia lebih mengurus soal pekerjaan. Hakim kembali bertanya soal apakah di fraksi tidak ada meributkan soal uang yang mengganjal revisi perda. Iwa menjawab tidak ada. 

“Apa tidak ada pembahasan di pansus, sampai Dunir begitu kewalahan?” tanya hakim lagi. Iwa tetap menjawab tidak ada. Iwa terus menghindar dan mengatakan ia tidak mau tahu soal uang-uang tersebut.

“Kalau tidak jadi pembahasan ini tidak mungkin, saksi terus menghindar, kalau dengan tegas menolak soal ini, itu baru masuk akal,” tegas Bachtiar.

Pemeriksaan saksi pertama selesai. Saksi kedua Robin P Hutagalung anggota DPR Propinsi Riau Fraksi PDIP dan juga anggota pansus. Ia menceritakan soal tugas dari pansus dan rapat pertama di Redtop hotel. Rapat ini gagal karena Lukman Abbas tak dapat hadir pada 13 Maret. Kemudian diagendakan lagi rapat pada 21 Maret di lokasi yang sama. Dihadiri Biro keuangan, Bappeda, Biro Hukum dan Dispora diwakili Eka.

Selesai rapat koordinasi dengan instansi tersebut, Dunir meminta agar anggota pansus tidak bubar. “Pembahasannya apakah revisi perda dapat digabungkan antara perda No 5 dan 6,” tutur Robin. Dunir juga jelaskan bahwa teman-teman bilang perlu biaya. Murniati meninggalkan ruang sidang karena yang dibahas soal uang bersama anggota wanita lainnya.

Iwa menyatakan.“Nggak usahlah ribut-ribut soal uang. Yang penting bagaimana supaya selesai PON,” Robin menirukan ucapan Iwa.

“Jangan sampai perda ini disandera hanya karena uang,” ujar Robin, soal pertentangan adanya uang yang diminta.  Yang lain tidak banyak menanggapi lalu juga meninggalkan pertemuan karena beralasan lelah. Ia jelaskan secara keseluruhan, tak banyak terlibat rapat pansus, karena disaat bersamaan ia juga harus mempersiapkan atlit untuk ikuti PON.

Pukul 11. 56, saksi ketiga, Tengku Muhazza, Mantan Anggota DPR Propinsi Riau fraksi Demokrat yang juga anggota pansus—kini narapidana. Ia jelaskan soal pertemuan di rumah Taufan Andoso, di mana pertemuan pertama dihadiri oleh perwakilan fraksi bahas revisi perda.

Pertemuan kedua di rumah Taufan terjadi pada Januari minggu pertama dihadiri Lukman Abbas dan Eka. Yang dibahas soal presentasi perkerjaan yang belum selesai. Taufan katakan ada dana yang diperlukan sebesar Rp 1,8 M. “Nanti ini ada untuk anggota DPR,” ujar Taufan. Dari sini Muhazza tau soal ada uang lelah.

“Siapa saja yang dengar?” tanya Jaksa Penuntut Umum. 

Ia jawab bahwa perkataan ini seharusnya didengar oleh seluruh orang yang hadir, karena berada dalam satu ruangan yang tak terlalu besar.

Mengecek keterangan dari Dunir dan Eka, Muhazza menanyakan kejelasan soal uang lelah. Dari pernyataan keduanya, Muhazza mengatakan ini bisa saja ditunda karena perwakilan fraksi keras-keras. “Saya tidak ada tanyakan. Nggak tau juga saya,” jawabnya. 

Hakim menekankan bahwa ini dua-duanya yang beri keterangan sama. Ia tetap menjawab tidak ada. “Biar kami yang menilai,” ujar I Ketut Suarta, Hakim Anggota.

Saksi terakhir dihadirkan di ruang sidang. Faisal Aswan, mantan anggota DPR Propinsi Riau Fraksi Golkar. Ia ceritakan keterlibatannya dalam kasus ini. Pada 2 April, Faisal dari rumah menuju kantor DPR. Di kantin ia bertemu dengan Dunir.

“Dunir minta tolong supaya saya bisa menjamin sidang paripurna tetap berlanjut,” ujar Faisal. Dari cerita, Dunir, pada pukul 10 pagi harus sampaikan laporan soal uang, namun yang ada baru setengahnya. Dunir mendapatkan tekanan dari teman-teman jika uangnya tak ada, bisa saja paripurna ditunda.

“Kenapa anda bersedia membantu Dunir?” tanya hakim. Ia bersedia menolong Dunir, karena Dunir sering membantunya ketika ia kesulitan. “Merasa hutang budi, tak enak pula saya menolak permintaannya,” jawab Faisal. Terlebih lagi hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Alasan lainnya karena ini untuk pelaksanaan PON.

Dunir juga meminta agar Faisal mengkomunikasikan dengan Eka terkait uang yang kurang tersebut.”Untuk uang yang tinggal setengahnya lagi diusahakan sebelum jam 12 sudah terkumpul,” ujar Faisal. 

Saat memberi tahu Eka, Eka menceritakan ia merasa dibuntuti selama dua hari tersebut kepada Faisal.

Di Banleg Faisal punya tugas untuk meyakinkan seluruh anggota DPR agar tetap melanjutkan paripurna revisi perda. Ia meyakinkan bahwa uang tersebut akan dipenuhi, sehingga rapat paripurna tetap berjalan. “Siapa yang paling bersemangat untuk menunda sidang?” tanya hakim. “Roemzein dan Tengku Muhazza,” jawab Faisal.

Untuk mengantarkan uang sisanya, diadakanlah pertemuan di Lick Latte café Sudirman. Namun Faisal tak bisa ikut, ia mengirim dua rekannya, Sandy dan Dasril untuk bertemu dengan Rahmat dan Eka untuk mengambil uang sisa. 

Namun Rahmat merasa tak percaya, maka Faisal mempersilakan mereka untuk datang kekediamannya di Aur Kuning.

Setelah uang diantar ke kediamannya, Faisal dibantu oleh Sandy dan Dasril menghitung buang tersebut. “Pas Rp 900 juta, karena terburu-buru, ia segera memasukkan uang kedalam tas,” ujar Faisal. Uang tersebut akan dibawa ke DPR karena Dunir telah menunggu di sana. Ketika hendak keluar, ia ditangkap oleh petugas KPK.

Terkait perngurusan perda yang harus ada uangnya, hakim bertanya apakah sudah sering di DPR. “Tidak sering tapi ada. Saya tidak terlalu tahu dengan hal seperti itu karena masih anggota paling muda,” ujar Faisal. Hakim kembali menanyakan soal untuk urusan ini apa DPR ada anggaran khusunya. “Dari DPR, tidak tahu, tapi kalau saya ada,” jawab Faisal enteng. #rct-Yaya

 

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube