Kasus KUD Pematang Sawit Pantau

Replik JPU dan Duplik PH, Intinya Sama dengan Tuntutan dan Pleidoi Sebelumnya

PN Pelalawan, Selasa 13 Maret 2018—majelis hakim kembali membuka sidang perkara pidana perkebunan, dengan terdakwa KUD Pematang Sawit yang diwakili Hairul Pagab, sebagai wakil ketua.

Sidang kali ini mendengar tanggapan JPU terhadap pembelaan penasihat hukum pada sidang sehari sebelumnya. Isi tanggapan ini tidak jauh dengan tuntutan JPU yang juga sudah disampaikan sebelumnya.

Yakni, mengenai pasal 105 yang dinilai penasihat hukum tidak dapat dipakai untuk menghukum terdakwa, karena KUD Pematang Sawit bukan perusahaan perkebunan, sebagaimana bunyi pasal tersebut.

Menanggapi hal itu, JPU Martalius kembali menegaskan, perusahaan perkebunan yang dimaksud dalam pasal tersebut ialah, dia yang berbadan usaha. Sementara KUD Pematang Sawit tergolong badan usaha yang didirikan berdasarkan akta notaris.

Kemudian, mengenai besaran tuntutan yang juga dipersoalkan oleh penasihat hukum. Tanggapan Martalius, keputusan denda Rp 7 miliar itu dinilai sudah sesuai dengan keadilan di tengah masyarakat dan memandang kemampuan KUD Pematang Sawit itu sendiri. Karena tuntutan maksimalnya adalah Rp 10 miliar.

Tanggapan berikutnya mengenai lahan yang dituntut untuk dikembalikan pada PT Nusantara Sentosa Raya, melalui pemerintah pusat yakni kementerian lingkungan hidup dan kehutanan serta dinas kehutanan.

“Itu sudah sesuai dengan fakta di lapangan. Karena PT NSR adalah pemegang izin areal yang telah ditanami sawit oleh KUD Pematang Sawit,” sebut Martalius.

Setelah mendengar tanggapan JPU ini, penasihat hukum meminta waktu 2 jam untuk segera menyusun tanggapannya pula atau duplik. Hakim pun menskors sidang.

Sekitar pukul 7 malam, sidang skor sidang kembali dicabut. Hakim memerintahkan penasihat hukum menyampaikan tanggapannya. Isi tanggapan ini juga tidak jauh beda dengan nota pembelaannya yang sudah disampaikan.

Masih mengenai bunyi pasal 105 UU Nomor 39 tahun 20014 tentang Perkebunan tersebut. “Orientasi pasal itu tetap merujuk pada perusahaan perkebunan sebagai subyek hukum. KUD Pematang Sawit bukan perusahaan perkebunan meski berbadan usaha,” kata Azis Fahri.

Meski KUD Pematang Sawit terbukti telah berbadan usaha, tapi tidak terbukti melakukan budidaya perkebunan dengan luasan skala tertentu yang dijelaskan dalam UU Perkebunan tersebut. Penasihat hukum menegaskan, KUD Pematang Sawit hanya badan usaha dengan skala kecil yang lahannya dimiliki oleh masyarakat.

Oleh karena itu, jika dituntut Rp 7 miliar, hal ini sangat tidak memandang rasa keadilan bagi masyarakat yang mengolah lahannya. “Lagi pula, JPU tidak memiliki dasar dalam menghitung besaran tuntutan tersebut,” tegas Azis Fahri kembali.

Kerugian PT NSR yang jadi rujukan JPU untuk menentukan besaran denda, sebagaimana keterangan saksi dari pihak  perusahaan, hanya asumsi semata dan tidak dapat dibuktikan dimuka persidangan.

Menanggapi tuntutan atas lahan yang harus dikembalikan pada PT NSR, penasihat hukum menegaskan, hal ini harus dibuktikan pada ranah perisdangan perdata. “Karena berkaitan dengan sengketa batas kepemilikan lahan,” tambah Azis Fahri.

Intinya, penasihat hukum tetap pada nota pembelaannya. Majelis hakim menutup sidang setelah semuanya selesai dibacakan. Mereka akan menyampaikan putusan atas perkara ini esok harinya, Rabu 15 Maret 2018.#Suryadi

About the author

Ahlul Fadli

Tertarik dunia multimedia sejak 2009 saat bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Univeristas Riau, selain itu terlibat dalam gerakan sosial, kebudayaan, pendidikan dan industri kreatif.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube