Opini

RKT BUKAN IZIN UNTUK MENEBANG HUTAN ALAM, TAPI HUTAN TANAMAN

Ahli (Soegeng Widodo) mengetahui dasar hukum UU yang mengatur tentang kehutanan berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Aturan yang mengatur tentang perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 tanggal 31 Januari 2001 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Usaha Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. 

 

Ia menerangkan jenis hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung, hutan konservasi sumber daya alam. Perbedaan antara hutan alam, hutan tanaman, hutan alam tumbuhnya secara alami tidak ada campur tangan manusia. Hutan tanaman sejak awal tumbuhnya pohon-pohon di hutan tersebut ada campur tangan manusia, atau ditanami oleh manusia. IUPHHKHT diberikan terhadap hutan tanaman yang sejak awal ditanami oleh manusia. Hutan alam tidak boleh diberikan IUPHHKHT. Karena diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001. 

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  BAB III. Kriteria Areal: kriteria yang dapat dimohon untuk hutan tanaman adalah areal kosong. Pasal 4: penutupan vegetasi di lahan yang dibolehkan untuk izin hutan tanaman adalah berupa hutan (semak belukar, alang-alang dan tanah kosong. Maksudnya, lahan yang akan dimohonkan untuk hutan tanaman terdiri dari hutan-hutan yang tidak ada pohonnya, isinya hanya semak belukar, alang-alang atau lahan kosong. IUPHHKHT diberikan oleh Bupati apabila area yang dimohon berada di Kabupaten. Bila area berada pada lintas kabupaten, izin diberikan gubernur. Bila area yang dimohonkan berada di lintas propinsi izin diberikan oleh Menteri Kehutanan.

Kronologis keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  pada medio 2000, karena ada arahan dari Pemerintah Pusat bahwa setipa perizinan hendaknya bisa dilimpahkan ke daerah guna memperkuat otonomi daerah. Terbitlah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000, yang mendelegasikan izin usaha hutan tanaman tersebut kepada Bupati atau Gubernur. Substansinya mendasarkan pada  UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam penjelasan pada alenia 9: untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan alam. Penjelasan Pasal 28 menyebut usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktifitas guna memperbaharukan hutan alam. Setelah mengacu pada butir UU Kehutanan ini. Lantas menteri khutanan menterjemahkan pengertian hutan yang tidak produktif. Menteri kehutanan waktu itu konsepnya disiapkan oleh Ditjen ahli pimpin, bahwa hutan yang tidak produktif itu adalah hutan kosong , semak belukar, alang-alang. Seandainya ada pohon-pohonnya volume kayunya tidak lebih dari 5 m3/ha. Apabila lebih dari 5m3/ha, tidak boleh sebagai calon hutan tanaman. 

Apabila terhadap hutan alam diberikan IUPHHKHT, hal itu melanggar ketentuan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001. Tapi tak ada sanksi yang dicantumkan dalam Kepmenhut itu. 

Bila telah terbit IUPHHKHT yang ternyata bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001, konsekuensinya adalah terhadap izin itu tidak boleh dioperasikan. Artinya pemegang izin tidak boleh melaksanakan kegiatan-kegiatan di lapangan, kegiatan pembukaan lahan. Seharusnya Bupati mencabut izin seandainya Bupati mengetahui atau diberi tahu kalau izin itu bertentangan dengan peraturan dimaksud. 

Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 saat itu sudah tidak berlaku lagi, peraturan itu berakhir Maret 2003, selanjutnya keluar peraturan baru yang menggantikan peraturan tersebut. Konsep Kepmenhut itu belum disosialisasikan. Biasanya disosialisasikan setelah terwujud Kepmennya. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 itu terbit Januari 2001, sedangkan pada Februari 2001 ahli memasuki pensiun. 

Dalam IUPHHKHT sepanjang tidak dilakukan penebangan, bila ada hutan alam tidak boleh ditebang dan harus dijadikan hutan alam lestari. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  pasal 6: Kalau ada hutan alam dalam izin hutan tanaman tersebut, maka tidak boleh ditebang, yang hanya boleh ditebang 1 %., hal itu untuk pembukaan jalan. Pada saat berlakunya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, ahli sudah pensiun. 

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001, penebangan terhadap hutan alam adalah melanggar aturan. Peraturan pemerintah mengenai hutan alam yang terbit pada 1990 yaitu PP tahun 1990 yang mengatur tentang hutan tanaman industri menyebut: hutan tanaman harus dilaksanakan pada lahan kosong dan lahan-lahan kosong tersebut sangat banyak dijumpai di kawasan. Ahli pernah empat tahun menjadi Kepala Dinas Kehutanan di Kalimantan Barat. Kalai terbang dari Kalimantan Timur ke arah Putusibau, kita akan melintasi daerah yang kosong sekitar ratusan ribu hektar, sehingga para pengusaha dapat memohonkan izin hutan tanaman di daerah kalimantan tersebut. 

Seandainya di Riau banyak hutan alamnya termasuk propinsi yang tidak bisa ada hutan tanaman, pengusaha seharusnya tidak memohonkan IUPHHKHT di daerah Riau, karena areanya tidak memungkinkan untuk izin hutan tanaman. Bila dengan banyaknya pabrik kayu di Riau, tidak mesti mengambil kayu dari Riau, tapi dapat juga mengambil kayu dari daerah lain dengan dibawa kapal laut. Apabila pada lahan itu terdapat hutan yang potensinya lebih dari 5m3/ha atau diameter di atas 10 cm, terhadap lahan itu jangan dimohonkan untuk IUPHHKHT, atau bila sudah domohonkan izin IUPHHKHT  telah diterbitkan dan Bupati mengetahui hal itu melanggar ketentuan maka terhadap IUPHHKHT harus dicabut dan sebelum dicabut izin itu tidak boleh dioperasionalkan oleh perusahaan. 

Enclave adalah suatu areal yang dibatasi dalam suatu kawasan izin usaha dan areal itu tidak bisa diberlakukan seperti lahan-lahan di luar areal enclave. 

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001, dijadikan acuan oelh Pemda untuk menjadi bahan Perda, sehingga aturan yang ada di pusat diterjemahkan lebih rinci dan lebih jelas dalam Perda masing masing di daerah. 

Dalam SK IUPHHKHT itu harus dibunyikan Enclavenya. IUPHHKHT itu merupakan suatu izin. 

RKT adalah izin menebang kayu. RKT bukan izin untuk menebang hutan alam, tapi hutan tanaman. Bila pemohon ajukan IUPHHKHT pada area bekas HPH, yang HPHnya belum selesai, hal itu terdapat dua kesalahan yang dilakukan pemohon. Pertama, seharusnya pemohon mengetahui bahwa IUPHHKHT di lahan yang sudah ada HPHnya itu melanggar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000  dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001. Kedua, dari sisi ketentuan tidak melebihi 5m3/ha, luas 1 ha seperti area seluas lapangan sepakbola, bila terdapat pohon sebesar pohon kelapa dan terdapat tiga buah pohon, maka lahan itu sudah tidak dapat dipakai calon IUPHHKHT. Karena pasti potensi kayunya melebihi 5m3/ha. Penerbit izin seharusnya menolak permohonan izin lahan tersebut. 

Area bekas HPH yang di dalamnya terdapat bekas tebangan, di mana masih ada tegakan di bawah 50 cm Up yang volumenya melebihi 5m3/ha tidak dapat diberikan IUPHHKHT. 

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 , tidak ada pengaturan tegas setiap pemohon IUPHHKHT untuk melakukan survei, sehingga untuk mengetahui kelayakan kondisi area itu untuk diberikan IUPHHKHT sesuai dilakukan dengan melihat sejarah areal tersebut. Kalau yang dimohonkan tersebut HPH, maka potensi kayunya sudah pasti di atas 5m3, sehingga sangat mudah dipastikan oleh petugas untuk memberikan atau tidak memberikan IUPHHKHT terhadap area yang dimohonkan. 

PP 7 tahun 1990 tentang HPH tanaman Industri pasal 7: HPH tanaman industri tidak dapat diberikan dalam areal hutan yang telah dibebani HPH. Dalam penjelasannya, bila suatu areal itu lebih dulu harus dibebaskan dari areal HPHnya hal ini sesuai dengan prinsip bahwa terhadap suatu areal hanya dibebani satu hak. Ketentuan dalam PP ini hampir sama denan ketentuan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 . Pada 1990-2000, izin diterbitkan Menteri Kehutanan. Setelah tahun 2000 sejak otonomi daerah izin diterbitkan oleh Bupati dan Gubernur. 

Yang berwenang mengoperasikan IUPHHKHT adalah perusahaan. Yang menerbitkan izin operasional IUPHHKHT adalah pejabat Pemda antara lain Bupati. 

Bupati masih punya kewenangan untuk menghentikan operasional atas dasar izin yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kehutanan, kalau kewenangan-kewenangan sudah dicabut Menhut maka penghentian pencabutan izin dilakukan Menhut. 

Hutan eks HPH menurut UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan termasuk kawasan hutan produksi. Seandainya ada kerusakan hutan di atas kawasan hutan produksi, ketentuannya mengacu pada UU No 41 tahun 1999. 

Terhadap calon areal yang bukan seluruhnya hutan alam tetapi ada di situ hutan alam dan di dalamnya juga ada alang-alang, semak belukar, boleh diajukan sebagai calon IUPHHKHT, tapi dalam penetapan IUPHHKHTnya termasuk di Enclave, tidak semuanya ditebang. 

Daerah rawa-rawa ataupun daerah lainnya sepanjang potensi kayunya di atas lahan itu lebih 5m3/ha, tidak boleh diberikan sebagai areal IUPHHKHT. (Sumber:  Halaman 92-95 Surat Tuntutan KPK Nomor:TUT-13/24/03/2012 dan catatan sidang rct) 

 

 


Oleh Ir  Soegeng Widodo
Ahli bidang peraturan perizinan kehutanan. 
Eks Direktur Jenderal Pengelolaan  Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan.