Opini Rehat

Sawit Dalam Kawasan Hutan: Korporasi Tidak Pernah Dipidana bahkan Dilegalkan, Warga Dikriminalisasi (2)

Oleh Made Ali, S.H*

Hadirnya UU Nomor 41 tentang Kehutanan salah satunya karena “untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit” (penjelasan Umum) atau maraknya deforestasi.

Untuk mencegah kerusakan hutan, UU Kehutanan mengatur khusus mengenai
Tindak Pidana Kehutanan berupa kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal 78, ditujukan untuk setiap orang, baik individu maupun badan hukum.

Tindak Pidana Kehutanan sudah memprediksi kejahatan di sektor kehutanan.

Tindak pidana kejahatan berupa: Pertama, Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 Ayat (1) dan diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2). Penjara, 10 tahun, denda paling banyak Rp 5 miliar. Kedua, Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau kawasan hutan secara tidak sah, merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak (Pasal 50 ayat (3) huruf a, b dan c). Penjara paling lama 10 tahun, denda paling banyak Rp 5 miliar. Ketiga, Sengaja membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d), penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Karena kelalaiannya membakar hutan, penjara 5 tahun, denda Rp 1,5 miliar.

Keempat, Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dan menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f). Penjara paling lama 10 tahun, denda Rp 5 miliar. Kelima, Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan ddngan pola pertambangan terbuka (Pasal 38 ayat (4). Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri (Pasal 50 ayat (3) huruf g). Penjara paling banyak 10 tahun, denda Rp 5 miliar.

Keenam, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf h). Penjara paling lama 5 tahun, denda paling banyak Rp 10 miliar. Ketujuh, membawa alat-alat berat dan atau alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf j). Penjara paling lama 5 tahun, denda paling banyak Rp 5 miliar.

Kedelapan, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Penjara paling lama 3 tahun, denda paling banyak Rp 10 miliar. Kesembilan, mengeluarkan, membawa, dan menyangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf m). Penjara paling lama 1 tahun, denda paling banyak Rp 5 miliar.

Tindak pidana pelanggaran, berupa Pertama, menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf i). penjara paling lama 3 bulan, denda paling banyak Rp 10 miliar. Kedua, membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l). Penjara paling lama 3 tahun, denda paling banyak Rp 10 miliar.

Tindak pidana kejahatan atau pelanggaran bila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

Namun dalam perjalanan, aparat penegak hukum (PPNS Kehutanan, Polisi dan Kejaksaan) tidak berhasil menghentikan kejahatan kehutanan, bukan karena lemahnya pidana kehutanan, tapi karena rezim yang berkuasa lemah berhadapan dengan korporasi dan taipan yang berkelindan dengan politik, pemilihan umum dan sumber uang korupsi penyelenggara negara. Bilapun penegakan hukum kehutanan ditegakkan, hanya menyasar individu di lapangan, bukan aktor intelektualnya.

Bahkan, ketika korporasi sawit berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan, bukan penegakan hukum pidana yang diterapkan oleh pemerintah, malah diberi ampunan atau kesempatan oleh pemerintah. Bahkan pemerintah menerbitkan produk hukum yang bertentangan dengan UU Kehutanan.

Bermula di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba pada 6 Juli 2012 menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Salah satu satunya, menyisipkan dua pasal yaitu pasal 51 A dan Pasal 51 B.

Pasal 51A ayat (1) dan (2) berbunyi: (1) Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan permohonan Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan.

Pasal 51B ayat (1), (2) dan (3), berbunyi: Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2004 areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan kepada Menteri. Tukar menukar dilakukan dengan menyediakan lahan pengganti dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak permohonan disetujui. Dalam hal pemohon telah menyediakan lahan pengganti, Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan.

Sederhananya: Bupati yang telah menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) sebelum UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berlaku tapi merujuk UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan fungsi Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK), pemegang izin dalam waktu enam bukan wajib mengajukan pelepasan kawasan hutan. Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan. (Pasal 51 A)

Bupati menerbitkan IUP sebelum UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang berlaku, merujuk UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan fungsi hutan produksi tetap (HP) dan atau Hutan Produksi Terbtas (HPT), pemegang izin dalam waktu enam bulan wajib ajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan. Tukar menukar dilakukan dengan menyediakan lahan pengganti dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak permohonan disetujui. Dalam hal pemohon telah menyediakan lahan pengganti, Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan. (Pasal 51 B)

Anda bayangkan, pemerintah daerah yang menerbitkan Izin Usaha Perkebunan untuk korporasi namun berada dalam kawasan hutan tidak langsung dipidana oleh pemerintah, namun diberi ampunan (diskresi) rentang waktu enam bulan.

Namun, enam bulan kemudian, tepatnya 6 Januari 2013, tidak pernah ada publikasi dari pemerintah, berapa korporasi sawit dalam kawasan hutan yang punya IUP tapi tak punya pelepasan kawasan hutan, yang dilepaskan oleh pemerintah. Data EoF menunjukkan, bahkan tidak ada korporasi yang mengajukan pelepasan kawasan hutan sepanjang 6 Juli 2012-6 Januari 2013.

Merujuk Pasal 78 UU Kehutanan, semestinya korporasi yang berada dalam kawasan hutan tersebut langsung dipidana, meskipun dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Setahun sebelum masa jabatan SBY berakhir, terbit UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan yang terbit pada 6 Agustus 2013. UU ini terbit karena untuk mengungkap modus kejahatan yang lebih canggih dan mutakhir di era modern.

Salah satu pertimbangan UU ini terbit karena, pertama, masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin. Kejahatan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional. Kedua, perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa.

Namun, sejak terbitnya UU ini, belum ada satupun korporasi sawit yang menerima sawit dari kawasan hutan ditetapkan tersangka di Propinsi Riau. Yang dijerat justru individu perambah di lapangan.

Sepanjang, Presiden SBY menjadi presiden dua periode 2004-2014, perambahan sawit kian marak dan meluas, sepanjang itu pula korporasi menikmati sawit ilegal yang masuk dalam pabrik mereka yang berasal dari salah satunya Taman Nasional Tesso Nilo.

SBY digantikan Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi mengikut langkah Presiden SBY kembali melabrak UU Kehutanan dengan menerbitkan PP No 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang terbit pada 28 Desember 2015. Korporasi kembali diberi ampunan atau kesempatan.

Pasal 51 yang intinya: pertama, IUP dalam kawasan hutan, menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir merupakan kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, diproses melalui Pelepasan Kawasan Hutan; atau merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas diproses melalui Tukar Menukar Kawasan Hutan. Dalam waktu satu tahun dapat mengajukan permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau Tukar Menukar Kawasan Hutan kepada Menteri. Kedua, IUP dalam kawasan hutan, menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi konservasi dan/atau lindung, diberikan kesempatan untuk melanjutkan usahanya selama 1 (satu) daur tanaman pokok.

Publikasi dari pemerintah juga tidak ada setahun kemudian, jumlah perusahaan yang mengajukan pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan atau satu daur tanaman pokok.

Perambahan kian marak di kawasan hutan di Propinsi Riau, bahkan lokasi-lokasi karhutla tertinggi berada di areal perambahan termasuk di areal korporasi. Korporasi masih menikmati sawit ilegal dari kawasan hutan tanpa membayar pajak ke negara.

Puncak pengampunan kejahatan korporasi diberikan oleh rezim Jokowi dengan menerbitkan UU Cipta Kerja pada 2020, bukan saja korporasi yang hendak diselamatkan dari kejatahatan kehutanan, cukong (lahan di atas 25 hektar) dan individu (perambah di bawah 25 hektar) juga turut diberi ampunan selama tiga tahun dengan cara membayar denda admnistratif.

Pengampunan kejahatan tersebut menjadi legal dengan terbitnya UU Cipta Kerja, tentu saja tidak legitimate karena tidak diakui oleh masyarakat.

Namun, hadirnya UU Cipta Kerja, juga tidak menyelesaikan kejahatan sawit dalam kawasan hutan dan menghentikan kerusakan hutan.***

*Penulis Eks Koordinator Jikalahari 2018-2024, Pendiri Senarai dan AktivismeHukum, Alumni FH Unri dan Advokat bermastautin di Kota Pekanbaru.

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube