Oleh Made Ali, S.H*
*Penulis adalah Eks Koordinator Jikalahari 2018-2024, pendiri Senarai dan Aktivisme Hukum, dan Advokat bermastautin di Pekanbaru
Dua hari sebelum Tim Satgas PKH “berkunjung” ke TN Tesso Nilo, ponsel saya tidak henti menerima pesan masuk berita dan pertanyaan dari kawan, kolega, kepala daerah, beberapa batin dan warga yang tak saya kenal. Pesan yang saya tangkap sama: “panik” dengan kabar perambah atau penggarap dalam TN Tesso Nilo akan digusur atau diusir. Sebagian saya jawab bercanda, sebagian saya kasih jawaban normatif, selebihnya saya ajak ngopi. Ṣebenarnya saya tidak tahu jawabannya.
Saya hendak mengajak menengok kembali “kebijakan dan tindakan pemerintah” yang peduli pada TN Tesso Nilo: ada penegakan hukum, ada penegakan non hukum, namun rumit menghentikan perambahan karena berkelindan dengan korporasi besar.
Cerita di bawa ini saya himpun dari media maupun ikut terlibat menyaksikan dari lapangan hingga masuk dalam tim.
Pertama, Era Presiden Prabowo Subianto, TN Tesso Nilo salah satu target penertiban kawasan hutan.
Pada 10 Juni 2025 Tim Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah bersama Letjen Richard TH Tampubolon, Kabareskrim Komjen Wahyu Widada, Kapolda Riau, Bupati Pelalawan hingga lintas kemenerian mendatangi Dusun Toro Jaya, memasang plang dan berdialog dengan masyarakat.
Pesannya tegas: Satgas PKH memberi tenggat wakt selama tiga bulan kepada para penggarap illegal yang selama ini menanam sawit dalam TN Tesso Nilo agar segera mengosongkan kawasan hutan seluas 81.793 hektar. Para penggarap diminta relokasi mandiri mulai dari 22 Mei 2025-22 Agustus 2025. “Dalam masa tenggat relokasi, warga masih diberikan kelonggaran untuk memanen kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari lima tahun. Namun, bagi kebun sawit di bawah umur lima tahun, langsung dikategorikan sebagai hasil perambahan baru dan dilarang untuk dilanjutkan.“Selama tiga bulan ke depan, aktivitas pembukaan lahan, penanaman baru, maupun perluasan kebun dilarang keras. Kami mengajak masyarakat untuk mematuhi aturan ini dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab,” kata Letjen Richard. .
Letjen Richard mengungkapkan (PPID Provinsi Riau), dari total luas awal 81.739 hektare, kini hanya tersisa sekitar 20 ribu hektare yang masih berbentuk hutan, yang terdiri dari 6.720 hektare hutan primer, 5.499 hektare hutan sekunder, dan 7.074 hektare semak belukar.“Ini kawasan konservasi milik negara. Segala aktivitas berkebun, tempat tinggal, membuka lahan, dan membakar hutan di sini adalah perbuatan melanggar hukum,” tegas Richard.
Jampidsus RI Febrie Adriansyah mengungkapkan, pihaknya menemukan indikasi pelanggaran hukum yang melibatkan tidak hanya masyarakat, namun juga diduga ada keterlibatan oknum aparat dan pejabat pemerintahan.“Ini tidak akan kami biarkan. Semua akan diproses sesuai hukum yang berlaku.”
Kedua, Era Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan HIdup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya berperan besar membentuk tim Revitalisi Ekosistem Tesso Nilo (2016) dan Tim Operasional RETN berbasis masyarakat.
Tim ini merevitalisasi Ekosistem Tesso Nilo, bukan saja TN Tesso Nilo. Tim ini terdiri atas pemerintah, TNI dan Polri, masyarakat sipil, akadamisi dan masyarakat adat dan tempatan. Selain melakukan penegakan hukum, tim ini juga melakukan pendekatan kehuntanan berupa perhutanan sosial, rehabilitasi dan restorasi termasuk pendekatan lain yang berasal dari masyarakat adat dan tempatan. Hasilnya ada cukong yang divonis, ada dua perhutanan sosial yang diberikan dan restorasi yang dilakukan.
Ketiga, Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, SBY memberi perhatian khusus TN Tesso Nilo merespon atas kegaduhan yang dibikin oleh Horrion Ford. SBY setelah bertemu Horrison Ford mengintruksikan Kapolri melakukan penegakan hukum terhadap perambah. Perhatian utama TN Tesso Nilo dilakukan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban dan Zulkifli Hasan.
Februari 2007, Menteri Kehutanan MS Kaban Menteri Kehutanan ingin TN Tesso Nilo dikelilingi hutan tanaman rakyat (HTR). Tujuannya terlindungi dari perambahan dan penebangan liar karena masyarakat pasti akan ikut menjaga keberadaan Tesso Nilo.
September 2010, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berkunjung ke TN Tesso Nilo. Dia menemukan perambahan masih berlangsung di TNTN. Tercatat sekitar 30 persen atau seluas 28.000 hektare lebih dari luas total 83.000 hektare kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo kini berada dalam kondisi yang rusak akibat dirambah, dan sebagian di antaranya beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.”Saya tadi menemukan kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo, untuk itu saya meminta bantuan aparat hukum untuk menangkap pelaku perambahan hutan konservasi itu,” tegas Zulkifli Hasan, di Kantor Gubernur Riau (Antara).
Pada 2014. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerima 3000 hektar lahan yang diserahkan masyarkat yang telah ditanami sawit di Bukit Apolo TN Tesso Nilo. Upaya lainnya dibangun parit sepanjang 2 km untuk mencegah para perambah masuk kembali ke dalam kawasan taman nasional, serta untuk menegaskan batas kawasan hutan.
Mei 2014, Tim Gabungan TNI/Polri, Dinas Kehutanan, Kejaksaan melakukan penertiban kebun sawit di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Tim juga bangun parit pembatas sepanjang 6 km dan ribuan batang sawit dipaksa dibongkar sepanjang parit pembatas.
Sejak era Presiden SBY dan Jokowi, ada penegakan hukum terhadap cukong maupun non cukong, juga ada tindakan restorasi dan rehabilitasi berupa penanaman pohon dan pemberian akses perhutanan sosial. Namun, perambahan belum juga berhasil dihentikan.
Bagaimana dengan era Presiden Prabowo? Setidaknya kita menunggu tiga bulan ke depan untuk mengetahui jawabannya.
Ada satu cerita penegakan hukum yang sukses dilakukan oleh tim RETN melalui Dirjen Gakkum KLHK saat menetapkan Sukhdev Sing sebagai tersangka perambahan TN Tesso Nilo.
Senarai (Senarai.or.id) memantau langsung dari ruang sidang. Hasilnya, pada 29 Januari 2019, majelis hakim PN Pelalawan memvonis Sukhdev Singh: 1 tahun penjara, denda Rp 1 Milyar karena terbukti menanam sawit di dalam TN Tesso Nilo seluas 70 hektar.
Menariknya kasus ini, selain cukong, Senarai bersama eyes on the forest (EoF) menemukan sawit produktif seluas 70 hektar itu dijual ke PT Sawit Mas Nusantara dan PT Usaha Kita Makmur. PT Sawit Mas Nusantara salah satu anak usaha Asian Agri Grup. Hasil investigasi rantai rantai pasok EoF sepanjang 20 tahun terakhir menemukan, sawit-sawit di TN Tesso Nilo ditampung oleh korporasi besar yaitu Wilmar Grup, Astra Grup, Ganda Grup, Indofood Grup, PTPN, Musim Mas, Duta Palma Grup dan non grup termasu Asian Agri.
Masuknya perambah di dalam kawasan hutan, salah satunya di TN Tesso Nilo, karena TN Tesso NIlo di kelilingi oleh perusahaan sawit atau pabrik kelapa sawit (pasar).
Ketimbang bikin penggarap illegal atau warga yang menjaga sawitnya di tengah TN Tesso Nilo yang hingga kini diliputi kepanikan dan ketakutan, mengapa Satgas PKH tidak memulai terlebih dahulu menindak para korporasi yang menerima sawit ilegal dari kawasan hutan tanpa membayar pajak ke negara? Mengapa selalu memulai penertiban kawasan hutan kepada masyarakat kecil yang mudah ditangkap di lapangan?
Saya kira, Era Presiden SBY dan Joko Widodo gagal menghentikan kejahatan di TN Tesso Nilo karena ada korporasi besar yang berperan besar menentukan politik di negeri ini.
Lantas, bagaimana dengan Presiden Prabowo Subianto, mengulang “kegagalan” SBY dan Jokowi? ***