Opini Rehat

Diskriminasi Perlakuan Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan Konservasi: Perusahaan Satu Daur, Perorangan Serahkan Lahan

Oleh Made Ali, S.H*

*Eks Koordinator Jikalahari 2018-2024, Pendiri Senarai dan Aktivisme Hukum, Alumni Fakultas Hukum Unri dan bermastautin di Kota Pekanbaru.

Tulisan sebelumnya berjudul Penertiban Sawit Dalam Kawasan Hutan: Korporasi Dilegalkan, Masyarakat Dikriminalisasi? (Sabang Merauke News) khusus melihat pidana kehutanan periode 1999-2013 yang kemudian lahir UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hingga periode 2013-2020 atau 21 tahun berlakunya pidana kehutanan yang sudah pula memprediksi kejahatan terorganisir atau kejahatan kerah putih, tidak juga berhasil menghentikan perusakan hutan bahkan yang paling parah aparat penegak hukum (PPNS Kehutana, polisi dan kejaksaan) tidak berani mempidanakan korporasi atau taipan yang berkelindan dengan penguasa yang sedang berkuasa. Aparat penegak hukum hanya menyasar individu atau pelaku lapangan yang menanam sawit dalam kawasan hutan, korporasi sebagai penerima (pembeli) sawit dari kawasan hutan tidak pernah dipidana.

Periode kedua Presiden Jokowi menjabat, tiba-tiba mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang pada 2020 terbit menjadi UU Cipta Kerja. Publik kemudian menguji secara formal ke Mahkamah Konstitusi, yang ujungnya terbit UU No 6 Tahun 2023 Penetapan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU (UU CK 2022). Secara materi atau substansi tidak ada yang berubah terkait isu kehutanan.

UU CK 2022 terkait pidana memperkenalkan “ultimum remedium”, yaitu pengenaan pidana sebagai senjata terakhir setelah sanksi administratif tidak berjalan. Pemberlakuannya diberikan khusus terhadap “telah terbangun” dalam kawasan hutan bisa sawit, tambang, ternak atau aktifitas apapun tanpa izin dari pemerintah. Bahasa umunya: rezim yang sedang berkuasa hendak mengampuni penjahat dalam kawasan hutan baik itu individu maupun korporasi karena sawit menjadi andalan perekonomian Indonesia di luar tambang migas.

“Telah Terbangun”

Angka 20 Pasal 110 dan A dan B UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana diubah dengan UU No 6 Tahun 2023 Penetapan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Pasal 110 A berbunyi: (1). Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023. (2). Dalam hal Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan tidak menyelesaikan persyaratan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa: (a). pembayaran denda administratif; dan/atau (b). pencabutan Perizinan Berusaha. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 110 A Ayat (1) menyebut yang dimaksud dengan “memiliki Perizinan Berusaha” dalam ayat ini adalah setiap orang yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal 110 B berbunyi: (1). Setiap Orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan/atau huruf e, dan f atau Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf e, atau kegiatan lain di Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang dilakukan sebelum tanggal 2 November 2020 dikenai sanksi administratif, berupa: (a). penghentian sementara kegiatan usaha; (b). pembayaran denda administratif; dan/atau c. paksaan pemerintah. (2). Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektare, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 110 B Ayat (1) menyebut yang dimaksud dengan “tanpa memiliki Perizinan Berusaha” dalam ayat ini adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.

Penjelasan lebih detil tertera dalam PP No 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administratif di bidang Kehutanan, ada poin penjelasan halaman 1 dan 2 yaitu:

Pertama, Pasal 110A yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai Rencana Tata Ruang tetapi belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan Perizinan di bidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

Kedua, Pasal 110 B yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam kawasan Hutan Produksi.

Setelah memenuhi persyaratan, terhadap:

Pertama, kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai rencana tata ruang, setelah membayar PSDH dan DR maka: (a). Untuk di kawasan Hutan Produksi, diterbitkan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan; (b). Untuk di kawasan Hutan Lindung dan/atau Kawasan Hutan Konservasi, diterbitkan persetujuan melanjutkan usaha selama 1 (satu) daur maksimal 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam.

Kedua, kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lainnya, setelah melaksanakan Sanksi Administratif berupa Denda Administratif, maka: (a). Untuk di kawasan Hutan Produksi, diterbitkan persetujuan penggunaan Kawasan Hutan; (b). Untuk di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi, diwajibkan menyerahkan areal kegiatan usahanya kepada negara.

Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan Konservasi: Perusahaan Satu Daur, Perorangan Serahkan Lahan

Ringkasnya: tanaman sawit dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, hutan lindung atau konservasi, diberi sanksi, namun perlakuannya berbeda antara korporasi dan individu.

Untuk korporasi yang punya izin usaha perkebunan atau izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati tapi belum punya izin pelepasan kawasan hutan dari pemerintah diberi waktu tiga tahun (20 November 2020-20 November 2023) wajib ajukan izin pelepasan kawasan hutan dan sesuai dengan rencana tata ruang lalu bayar PSDH-DR. Jika lewat dari tiga tahun dikenai sanksi pembayaran denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. Bila membayar denda, diterbitkan persetujuan pelepasan kawasan hutan (berada dalam hutan produksi), dan persetujuan melanjutkan usaha selama 1 (satu) daur maksimal 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam (hutan lindung atau konservasi).

Untuk perorangan atau korporasi tanpa izin usaha perkebunan atau izin lokasi berada Kawasan Hutan dilakukan sebelum tanggal 2 November 2020 langsung dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif dan/atau paksaan pemerintah, kecuali perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektare tidak dikenai sanksi administratif. Setelah membayar denda administrative: Untuk di kawasan Hutan Produksi, diterbitkan persetujuan penggunaan Kawasan Hutan damn Untuk di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi, diwajibkan menyerahkan areal kegiatan usahanya kepada negara.

Bila disimpulkan, jelas terlihat, pertama, sawit illegal dalam kawasan hutan milik korporasi maupun perorangan diberi sanksi berupa dengan dengan degradasi yang berbeda-beda. Kedua, bila semua membayar denda administratif secara otomatis pidananya dihilangkan. Dan, kejahatan korporasi maupun individu yang selama lebih dari 20 tahun menanam sawit dalam kawasan hutan telah menikmati keuntungan, tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya untuk mengembalikan kerugian negara selama mereka menanam sawit illegal.

Namun, bila dibandingkan perlakukan antara individu dengan korporasi yang berada dalam kawasan hutan, terlihat jelas diskriminasinya, yang paling mencolok adalah: korpoasi dalan kawasan hutan lindung atau konservasi diberi satu daur, individu wajib menyerahkan lahan sawitnya pada pemerintah. Catatan lainnya, adalah hingga detik ini pemerintah belum juga membuka atau mempublikasi daftar korporasi atau individu yang telah mendapat penetapan permohonan pelepasan kawasan hutan atau persetujuan penggunaaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Paling kontroversial menurut saya, pertentangan antara UU CK dengan PP No 24 Tahun 2021 berkaitan dengan pemidanaan.

Dalam UU CK 2022 dalam Pasal 110 A dan 110 B maupun penjelasannya, hanya memberi Batasan tiga tahun untuk mengajukan permohonan pelepasan atau penggunaan kawasan hutan, tidak melarang dilakukan pemidanaan. Namun, dalam penjelasan PP No 24 Tahun 2021 justru menyebut Frasa “tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan Perizinan di bidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR)” untuk Pasal 110 A dan frasa “tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha”.

Saya menilai, munculnya frasa “tidak dikenai sanksi pidana” untuk menyelamatkan korporasi sawit maupun individu (cukong) yang selama 20 tahun lebih menikmati keuntungan sawit ilegal tanpa membayar denda pada pemerintah. Yang keuntungan ilegal atau pencucian uang tersebut mengalir jauh kemana-mana ke dalam dunia politik bisnis Indonesia. Kejahatan pencucian uang atau money laundering inilah yang hendak dihilangkan oleh rezim berkuasa saat itu.

Pelaku yang paling merasakan diskriminasi ini adalah terpidana Surya Darmadi. Dia terbukti korupsi dan melakukan pencucian uang karena melakukan korupsi berupa lima korporasi sawitnya berada dalam kawasan hutan sejak 2014-kini, meski dia sudah mendaftarkan perusahaan untuk memenuhi persyaratan Pasal 110 A.

Pada 19 September 2024, Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Surya Darmadi. Surya Darmadi pun tetap divonis 16 tahun penjara dalam kasus korupsi yang dilakukannya, dan denda Rp 2 Triliun.

Dalam pledoi Surya Darmadi berjudul Mengapa “Saya Diperlakukan Tidak Adil dan Tidak Manuasiawi, Sementara Perkara yang Saya Hadapi Sama Substansi Dengan 1192 Perusahaan Lainnya”. Surya Darmadi merujiuk SK Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 531 Tahun 2021 yang Mempublis 313 Perusahaan, 4 Perusahaan Saya Terdaftar Dalamnya masuk dalam kawasan hutan, namun paska terbitnya UU Cipta Kerja, korporasi salah satunya wajib mengurus perizinan pelepasan kawasan hutan yang memiliki izin lokasi atau izin Usaha Perkebunan.

“Mengapa hanya saya yang diproses padahal ada 1.192 perusahaan lain yang sama dan berusaha dalam kawasan hutan. Apakah saya hanya Martir?” Apalagi tuduhan telah merugikan perekonomian negara sebanyak Rp 78,9 Triliun, tidak punya dasar. Hingga 2022 saja baru menerima keuntungan dari kelima perusahaan sebanyak Rp 1,6 Triliun. Dan masiha ada perusahaan yang belum berikan dividen sebab masih memiliki hutang ke holding,” kata Surya Darmadi. ***

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube