–Sidang Perdata Kebakaran Hutan dan Lahan PT Bumi Mekar Hijau
- Video : Keterangan Ahli Atja S
- Audio : Atja S Audio
PN Palembang, 6 Oktober 2015 – Kabut asap menyelimuti Palembang sehari sebelum persidangan. Jarak pandang Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II tak lebih dari 300 meter. Kabut disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, salah satunya dari perusahaan hutan tanaman industri PT Bumi Mekar Hijau, anak usaha pabrik kertas Asia Pulp and Paper (APP).
Sejak awal tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menuntut ganti rugi kepada PT BMH sebesar Rp 7,9 triliun. Terdiri dari biaya ganti rugi kerusakan lahan dan pemulihan lingkungan.
Acara sidang kini kembali lagi pada pemeriksaan saksi ahli dari pihak penggugat (KLHK). Sebelumnya, pihak penggugat sudah menghadirkan dua ahli, yakni kebakaran lahan dan ahli gambut. Pada 6 Oktober lalu, KLHK hadirkan ahli hukum perdata, Atja Sondjaja. Sedangkan pihak tergugat (PT BMH) sudah menghadirkan 3 saksi fakta dan 6 saksi ahli.
Atja Sondjaja merupakan pensiunan Ketua Muda Mahkamah Agung RI. Ia kini habiskan masa tuanya di Bandung. Berikut keterangan Atja Sondjaja di persidangan.
“Apabila ada perundang-undangan yang dilanggar, maka itu sudah disebut Perbuatan Melawan Hukum (PMHP. Syarat PMH yakni adanya perbuatan, baik berbuat atau tidak berbuat, melawan hukum, kerugian, serta diakibatkan oleh kesalahan.”
Pertanggungjawaban mutlak merupakan salah satu syarat PMH. Artinya seseorang atau badan usaha harus menanggung kesalahannya meski ia tidak berbuat. Tanggung jawab mutlak tidak berlaku pada semua perbuatan melawan hukum. Ia hanya berlaku pada perkara lingkungan hidup, listrik, penerbangan, nuklir. Karena ada kekhususan. Jadi, penggugat tidak usah membuktikan, kalau sudah jelas pelakunya, berarti dia sudah pasti salah. Namun tergugat juga bisa membuktikan bahwa itu bukan perbuatannya, tapi force major.
Force major itu seperti apa? Di luar kemampuan manusia. Misalnya, hari ini saya harus menyerahkan seekor kuda. Sebelum kuda diserahkan, sudah mati disambar petir. Saya tidak bisa menyerahkan. Itu bukan kesalahan saya. Jadi ada unsur dari luar yang menyebabkan saya tidak bisa menyerahkan. Tapi kalau perbuatan saya sendiri, yang menyia-nyiakan, itu kesalahan saya sendiri, bukan force major. Jadi merupakan kesengajaan atau kelalaian.
Pertanggung jawaban mutlak juga berlaku untuk kasus kebakaran hutan dan lahan. Ia menimbulkan kerusakan yang serius. Ada kerusakan lingkungan yang tidak mungkin diperbaiki lagi, menimbulkan suatu dampak yang meresahkan. Seperti sekarang ini, di Riau, Jambi, Kalimantan. Kita resah dan menimbulkan ketidak nyamanan umum. Jadi, menurut saya, itu kejadian yang serius. Berarti pertanggung jawaban mutlak. Tidak perlu dibuktikan, asal pelakunya sudah jelas, tangkap saja.
Jika lahan konsesi terbakar, yang harus bertanggung jawab adalah pelaku, antara kontraktor maupun sub kontraktor, tergantung perjanjian. Kalau dalam perjanjian sub kontraktor bertanggung jawab, maka ia harus bertanggung jawab.
Majelis hakim yang memeriksa perkara harus bersertifikat lingkungan. Ini merupakan suatu acara. Ia tak hanya berlaku dalam hukum lingkungan, tapi juga pada perkara korupsi, niaga, PHI. Perkara yang sifatnya khusus. Bila hakim yang memeriksa perkara ini tidak bersertifikat lingkungan, berarti ada hukum acara yang dilanggar. Karena itu pemeriksaan harus batal.
Apabila di suatu pengadilan tidak ada hakim yang memiliki sertifikasi lingkungan, harus dipinjam dari pengadilan lain, karena itu hukumnya wajib. Saya analogikan dalam perkara korupsi. Misalnya di sini tidak ada hakim tipikor, di tempat lain ada, bisa dipinjam, dan tetap pakai hakim tipikor. Mungkin MA lalai di sini tidak ada hakim bersertifikat lingkungan, namun bukan berarti ditolerir perkara lingkungan diadili oleh majelis hakim tanpa sertifikat lingkungan. Apabila tidak ada, bisa dikirim dari pengadilan lain. Apabila tidak dilakukan, berarti ada pelanggaran hukum acara. Hukum acara bersifat mengikat, apabila tidak dilaksanakan, berarti batal. Pemeriksaan batal, putusan batal juga. Ketentuan itu sudah berlaku saat ini.
Sidang dilanjutkan minggu depan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari pihak penggugat.
PT BMH Harus Ganti Kerugian
Kerugian akibat perbuatan BMH sudah diatur dalam PermenLH No. 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Kebakaran lahan yang berupa tanah gambut telah merusak struktur lahan gambut sehingga kehilangan fungsinya sebagai penyimpan air. Dengan begitu, BMH harus mengganti kerugian ekologis sebesar Rp 1.398.500.000.000 (Rp 1,3 triliun), terdiri dari pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air, pengendalian erosi, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, dan pengurai limbah.
Masih harus ditambah dengan kerugian hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika akibat kebakaran, senilai Rp 62.200.000.000 (Rp 62,2 milyar). Kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara karena kebakaran, berupa biaya pemulihan akibat pelepasan karbon dan memulihkan daya rosot karbon sebesar total Rp 16.402.500.000 (Rp 16,4 milyar).
Untuk kerugian ekonomis, rincian biaya yang harus dikeluarkan BMH yakni hilangnya umur pakai lahan selama 11 tahun sebesar Rp 1.210.000.000.000 (Rp 1,2 triliun).
Upaya pemulihan lahan gambut yang rusak akibat kebakaran dilakukan dengan kompos. Biaya pembelian, angkut, penyebaran, hingga pemulihan total mencapai Rp 5.299.502.500.000 (Rp 5,2 triliun).
Dengan demikian, total biaya yang harus dikeluarkan BMH untuk mengganti biaya akibat kebakaran yang dilakukannya serta biaya pemulihan di lahan seluas 20 ribu hektar tersebut yakni Rp 7.986.605.000.000 (Rp 7,9 triliun). (RCT/Lovina)