Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis 16 Juni 2022—Tiga dari empat saksi yang dihadirkan penuntut umum KPK, kompak mengatakan Annas Maamun, mantan Gubernur Riau, minta sejumlah uang untuk pengesahan anggaran di DPRD tingkat 1.

Mereka antara lain, Kepala Biro Keuangan, Jonli; Bendahara BPBD Riau, RM Eka Putra dan Ketua PMI Riau, Syahril Abubakar. Kecuali Zaini Ismail, kala itu Sekretaris Daerah Riau. Dia mengaku banyak lupa terutama mengenai waktu pertemuan-pertemuan krusial.
“Kadang saya ingat peristiwanya cuma lupa tanggalnya,” ungkap Zaini Ismail.
Annas dilantik jadi Guberur Riau, Februari 2014. Cerita Jonli, Annas pernah curhat mengenai APBD Riau 2014 yang tidak sesuai dengan visi misinya. Oleh sebab itu, Annas mengusulkan perubahan anggaran.
Tidak hanya itu, Annas juga ingin RAPBD 2015 dibahas sekaligus oleh anggota DPRD Riau yang akan berakhir masa tugasnya pada 6 September 2014.
“Kalau dibahas pada anggota dewan periode berikutnya, butuh waktu lama. Karena tidak semuanya terpilih kembali. Jadi harus ada penyesuaian lagi,” sebut Jonli.
Lanjut Jonli, anggaran pendapatan dan belanja Riau harus segera dievaluasi ke Kementerian Dalam Negeri pada November. Setidaknya satu bulan setelah itu, rancangan tersebut telah disetujui, sehingga pada awal tahun sudah dapat digunakan.
Hanya saja, keinginan Annas tidak mulus begitu saja. Anggota DPRD Riau, kala itu, sempat menyoal realisasi anggaran yang masih sangat rendah, usulan Annas merubah beberapa susunan satuan kerja perangkat daerah serta peralihan anggaran pembangunan rumah layak huni.
Perdebatan tersebut tidak berlarut terlalu lama. Karena ternyata ada tawar nenawar.
Annas menyetujui keinginan anggota DPRD Riau memakai kendaraan dinas melebihi batas waktu, bahkan akan mereka miliki ketika dilelang. Selain itu, Annas juga berjanji akan memberika uang Rp 1.010.000.000 untuk anggota Banggar DPRD Riau.

Untuk memenuhi janji yang kedua, Annas mengumpulkan anak buahnya di Rumah Dinas Gubernur, Jalan Diponegoro pada 1 September. Mereka merupakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah atau TAPD yang diketuai Zaini Ismail.
Zaini membantah hadir dalam pertemuan itu. Tapi sejumlah anggota TAPD seperti, Asisten II Wan Amir Firdaus dan Kepala Bappeda M Yafiz, mengungkapkan sebaliknya.
Zaini, berdalih tidak dilibatkan sepenuhnya dalam penyusunan dan pembahasan anggaran karena mendengar isu jabatannya akan diganti. “Wan Amir lebih banyak tahu, Yang Mulia. Bahkan dia bisa menyuruh saya. Itulah hebatnya dia.”
Tapi ketika penuntut umum memperdengarkan percapakan antara Zaini dan Jonli, keduanya jelas-jelas membahas hasil pertemuan awal September tersebut. Jonli menelpon Zaini, karena saat itu sudah berangkat ke Mekah.
Sayangnya, percakapan itu dibuka penuntut umum pada sesi pemeriksaan Jonli. Saat Zaini diperiksa sendirian, rekaman tersebut tidak dibuka.
Pada pertemuan itulah, Annas meminta anak buahnya mengumpulkan uang agar DPRD Riau segera mengesahkan anggaran yang sudah diujung peralihan tugas anggota dewan.
Uang pertama bersumber dari BPBD Riau. Kepala, Said Saqlul Amri memerintahkan RM Eka Putra mencairkan uang Rp 500 juta. Itu sisa anggaran operasional. Mestinya dikembalikan ke kas daerah tapi masih tertahan di rekening instansi penanggulangan bencana tersebut.

Said juga memerintahkan Eka mengemas uang tersebut dalam amplop dengan pecahan Rp 20-Rp 30 juta. Keduanya sempat menyerahkan uang itu ke Kasubbag Anggaran, Suwarno, tapi diperintah antar langsung ke rumah dinas gubernur.
Kata Eka, uang itu telah dikembalikan ke kas daerah, tapi tidak disebutkan dari mana sumber pengembaliannya.
Zaini bilang, Wan Amir Firdaus pernah meminjam uang padanya sebesar Rp 200 juta. Katanya, untuk menggantikan uang Said Saqlul Amri.
Zaini hanya mampu memenuhi Rp 110 juta. Kekurangannya dicukupi oleh anak buahnya, Ayub Khan. Dia berharap, uang itu dikembalikan. Tapi sampai saat ini belum diganti.
Uang selanjutnya datang dari Jonli. Pada 31 Agustus, ketika hendak menunaikan ibadah haji, sebelum terbang ke Madinah via Batam, Suwarno menghubunginya agar menyiapkan uang Rp 110 juta untuk diberikan ke DPRD Riau.
“Suwarno bilang, itu perintah Annas. Kalau perintah Annas langsung ke saya tak ada,” kata Jonli yang juga Sekretaris TAPD, kala itu.
Jonli, kemudian memerintahkan Suwarno mengambil uang tunjangan kerjanya selama lima bulan yang cair pada awal September. Sisanya Rp 30 juta dilengkapi oleh Amiruddin, bendahara Jonli.

Jonli juga perintahkan Suwarno konsultasi terlebih dahulu ke Asisten III, Hardi Djamaluddin, yang juga menggantikan posisinya sementara waktu.
Sebelum cuti, Jonli mengaku Annas pernah memerintahnya keluarkan uang. Itu, sekitar awal Agustus.
“Saya tak ada uang.”
“Ah. Payah kau ni,” kata Jonli, menceritakan ulang percakapannya dengan Annas.
Setelah perkara ini terungkap pada 2015, Jonli mengaku uangnya belum diganti. Termasuk uang Suwarno dan Bendahara. Dia tak pernah menagih ke Annas dan mengaku ikhlas.
Beda dengan Syahril Abubakar. Meski turut membantu Rp 500 juta, Annas dan keluarganya telah mengembalikan uang tersebut. Sebelum dan setelah ditangkap KPK.
PMI memang bukan bagian dari struktur pemerintah daerah. Tapi, karena Annas saat itu minta bantuan, Syahril pun bergegas menyediakan uang pada 1 September. Sebagiannya atau Rp 195 juta diambil dari operasional PMI. Sisanya merupakan uang pribadi dan anggotanya.
Syahril mengantar langsung uang itu ke rumah dinas gubernur. Sore itu, dia memindahkan uang dari mobilnya ke kendaraan Wan Amir Firdaus.
“Kenapa anda mau bantu?” tanya penuntut umum
“Saya menganggap Annas sebagai ayah. Dia banyak membantu saya, sejak sama-sama di Golkar.”
“Apakah anda takut dicopot jadi Ketua PMI?”

“Ketakutan itu memang ada. Apalagi saya baru dilantik. Saya hanya ingin menjaga komunikasi. Waktu itu Pak Annas juga janji akan memberikan 2 helikopter untuk operasional PMI,” jelas Syahril yang saat ini jalani periode kedua di PMI Riau.
Sidang ini akan dlanjutkan kembali, Rabu 22 Juni 2022.#Suryadi M Nur