PN Pekanbaru, Kamis 02 November 2017—Hakim Ketua Bambang Miyanto bersama anggota Sulhanudin dan Rahman Silaen, membuka sidang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Zaiful Yusri, Hisbun Nazar, Rusman Yatim, Edi Erisman, Abdul Rajab Nainggolan dan Subiakto. Semua terdakwa terjerat kasus penerbitan sertifikat hak milik dalam kawasan hutan, yang mengakibatkan kerugian negara lebih kurang Rp 14 miliar.
Agenda sidang mendengar keterangan dua orang saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum, Surya Tanjung dan Eko Supra Murbada. Sementara terdakwa didampingi enam penasihat hukum, Dalizatulo Lase, Dendi Triaputra, Mardivun Lase, Al Azis, Azmi Zakaria dan Merawati Suryagama.
Stephanus Hanny yang pertama diperiksa. Ia Kepala Sub Bagian Program dan Kerjasama Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Riau, sejak 2016. Stephanus turun ke lahan yang diterbitkan sertifikat oleh terdakwa pada 2012. Ceritanya, Gubernur Riau pada waktu itu membentuk tim terpadu meninjau areal yang jadi obyek perkara dalam persidangan ini.
Sebenarnya, Stephanus bukan anggota tim terpadu. Ia hanya diutus oleh atasannya untuk ikut bersama anggota tim lainnya melakukan pengukuran di lokasi. Ia mengambil 4 titik koordinat di tempat yang berbeda. Jarak masing-masing titik koordinat yang diambil 1 hingga 1,5 kilometer. “Kami mengambilnya di tengah-tengah kebun sawit,” kenang Stephanus.
Setelah pengambilan titik koordinat, dilakukan ploting. Hasilnya, areal tersebut berada dalam kawasan hutan dengan tujuan khusus. Ini adalah areal yang dikelola oleh Balai Penelitian dan Pengembangan di Kecamatan Kuok. Kata Stephanus, institusi tersebut di bawah naungan Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 173 tahun 1986, tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan, kata Stepahnus, areal yang telah diterbitkan sertifikat tersebut statusnya hutan produksi terbatas. “Seharusnya areal itu tak boleh diterbitkan sertifikat,” tegas Stephanus.
Keyakinan Stephanus pun semakin kuat setelah ia diperlihatkan lembaran persil sertifikat hak milik yang dibawa oleh Devi Melayadi pegawai BPN Kampar, saat pengambilan titik koordinat. Titik koordinat yang telah diambil tadi disesuaikan dengan warkah sertifikat yang dibawa. Hasilnya positif, bahwa kebun sawit yang telah diberikan sertifikat oleh terdakwa pada Johannes Sitorus berada dalam kawasan hutan.
Beda dengan Suwandi Idris, Kepala BPN Kampar yang diperiksa kemudian. Ia baru menjabat pada Maret 2017. Mengenai perkara ini ia tak tahu banyak. Penyidik pun memeriksanya 3 bulan setelah menjabat. Berkas atau dokumen terkait perkara ini pun tak sempat ia baca karena sudah disita penyidik sebelum ia menjabat.
Tapi, katanya, BPN Kampar tiap kali menerbitkan seritifikat atas tanah selalu berpedoman pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Kampar, atau Perda Nomor 11 tahun 1999. “Kalau mengacu pada aturan itu, status kawasan yang dikeluarkan sertifikatnya bukan kawasan hutan.”
Suwandi tak banyak ditanya. Pasalnya, ia tak tahu perkara ini dan baru menjabat. Ia pun tak sempat membaca dokumen apalagi turun ke lokasi yang jadi obyek perkara. Hakim kemudian menutup sidang pukul 15 kurang 10 menit. Sidang dilanjutkan kembali pada Kamis 9 November 2017.#Suryadi-rct