Opini Rehat

Beda Demokrasi Sama-sama Tak Adil

#1000DukunganUntukNovelBaswedan

Satu ketika, seorang sahabat sedang berkabung. Bait-bait yang ia sampaikan terdengar jelas sebelum melepas sahabatnya ke tempat peristirahatan terakhir. Terbayang,betapa ia sangat kehilangan sahabat yang pernah merasakan pedihnya hidup dalam pembuangan.Melawan ketidakadilan.

Tjipto Mangunkusumo, yang meninggal dalam usia 58 tahun,sejarah hidupnya mudah diterangkan dengan beberapa kata saja: jujur, setia, ksatria, berjuang, berkorban, pembuangan dan penyakitan.”

Hatta mengakui,Tjipto Mangunkusumo seorang pahlawan. Seperti untaian kata-kata Hatta, Pahlawan setia itu berkorban bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita[1].

Hatta tidak merendahkan Tjipto juga tidak berlebihan tentang sahabatnya itu. Apa yang dikatakan Hatta tentang Tjipto,membenarkan Iwan Fals dalam lirik lagunyaBung Hatta.Jujur, lugu dan bijaksana.

Berkorban bukan untuk dikenal namanya, tapi semata-mata membela cita-cita. Ketika sang sahabat yang jujur, lugu dan bijaksana juga pergi, saat itujuga kita semua merasa kehilangan. Seperti Hatta kehilangan Tjipto.

Hujan air mata dari pelosok negeri

Saat melepas engkau pergi

Berjuta kepala tertunduk haru

Terlintas nama seorang sahabat

Yang tak lepas dari namamu

Hujan air mata yang pernah melanda pelosok negeri ini juga pernah ‘membasahi’ Athenaketikamelepas Socrates—seorang sahabat, guru, bidan[2]atau seorang warga negara yang dipaksa berpisah karena ketidakadilan yang menimpanya.

Kata Plato, Socrates seorang sahabat paling baik, paling bijaksana dan paling jujur[3]. Manusia yang paling adil dari seluruh zamannya.[4]

Tragedi menimpa Socrates terjadi setelah warga Athena menjatuhkan pemerintahan30 Tyrannoi. Keadilan yang diharapkan jauh panggang dari api. Seperti Leon yang hendak dihukum di era 30 Tyrannoi melalui persekongkolan jahat, seperti itu pula terjadi pada Socrates.

Plato lahir dan dibesarkan di keluarga politisi.Dia bercita-cita melanjutkan tradisi keluarga. Semangat itu mulai pudar ketika sahabat lainnya hendak menjadikan Socrates alat mewujudkan keinginan dengan cara jahat.Sampai akhirnya cita-cita itu mati ketika seorang pemimpin demokrasi mengemukakan tuduhan terhadap Socrates yang menyebabkannya mati.

Padamnya cita-cita Plato paska kematian Socrates mengisyaratkan kekecewaan, duka amat mendalam,kemarahan yang membara serta keinginan luhur,agar ketidakadilan jangan terjadi lagi pada orang lain.

Sesuatu yang wajar jika Plato merasakan hal itu.Saat temannya didudukan sebagai tersangka, ditawan dan dipaksa meregang nyawa karena,persekongkolan oknum merekayasa yang tidak adil menjadi tampak adil.

Dalam sidang pengadilan rakyat Athena itu, Socrates mengungkapkan pledoinya.Ia mematahkan seluruh argumen tuduhan padanya. Tapi kebenaran bukanlah sebuah kebenaran di dalam demokrasi saat itu.

Kebenaran tidak cukup membelanya. Untuk membebaskan diri, kebenaran itu harus diakui mayoritas orang banyak. Buktinya, setelah penghitungan suara pengadilan memutus Socrates bersalah.[5]

Demokrasi pada era Socrates memang sedikit berbeda dengan saat ini[6]. Tapi,ketidakadilan di era Socrates juga terjadi sekarang. Seperti yang dialami Novel Baswedan.Bahwa perbuatan baik tidak selalu berbalas kebaikan.

Ketika Novel Baswedan hendak berantas korupsi untuk kesejahteraan rakyat, ada saja oknum tertentu yang ingin menggagalkan semangatnya dengan cara melukainya.

Satu subuh, kaki-tangan musuh negeri ini menyiramair keras ke wajah Novel Baswedan.  Hari dan tahun berganti.Kaki-tangan, otak maupun pelakunya masih saja bebas berkeliaran.

Barangkalimereka terbahak-bahak melihat kejahatan itu tidak sanggup diselesaikan penegak hukum.Prestasi kepolisian menangkap teroris seolah kehilangan pamor karena belum ditangkapnya pelaku.

Selama mereka bebas, selama itulah pemerintahan ini tercoreng.Penegakan hukum kelam ini tercatat dalam lembaran sejarah.

Apa yang terjadi pada demokrasi ini? Bukankah ia tidak sepenuhnya sama pada era Socrates? Apakah kita harus membakar lumbung padi karena beberapa tikus di dalamnya? Atau, apakah kita akan membiarkan ketidakadilan bermekaran di negara hukum ini?

Semoga kita tak lagi melihat ketidakadilan yang menimpa Socrates dan Novel Baswedan. Semoga tak ada lagi pidato belasungkawa menyayat hati.Seperti pidato Hatta melepas Tjipto Mangunkusumo.Seperti Iwan Fals yang mengingatkan kita akan Hatta.

Pekanbaru,4 Desember 2019

  1. Sunarto

Seorang frealancer. Berdomisili di Pekanbaru, Riau. Peminat filsafat, sastra, filmdanbuku.Juga kopi dan air. Kadang menuangkan pikiran dan perasaan dalam tulisan.

[1]Jagokata.com, kata-kata mutiara Muhammad Hatta

[2]bidan pemikiran karena ia berfilsafat menggunakan maieutike tekhne (seni kebidanan)

[3]Baca Plato, kata-kata terakhir dalam dialog Phaidon

[4]Baca Plato (Surat VII, 326 E) atau baca K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani BAB IV Plato

[5]Baca K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani Tentang Plato dan Socrates dalam soal ketidakadilan yang menimpa Socrates

[6]Diantara perbedaanya, pengadilan dalam demokrasi Yunani dikelola rakyat Yunani itu sendiri. Demokrasi Murni. Demokrasi saat ini ada orang-orang tertentu yang berperan sebagai hakim, jaksa dan pengacara

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube