Opini Rehat

Kisah Sukses Korupsi Surya Darmadi dan Abdul Wahid di Riau

Oleh Made Ali, S.H

Senja nan teduh awal November 2025. Dari balik jendela pesawat, saya memotret Kota Pekanbaru dari atas; ribuan rumah, gedung tinggi, jalan dan kendaraan yang bergerak meliuk-liuk. Ada warna hijau pepohonan akasia, sawit dan hutan alam yang berbaris berjejer. Ada jalur sungai yang memanjang berkelok-kelok.

Saya potret asap putih memanjang segaris dari cerobong asap pabrik kelapa sawit yang jauh dari pemukiman, namun dekat dengan jalan raya.

Perjalanan ke Jakarta kali ini ada kaitan dengan sawit yang di tanam di dalam kawasan hutan. Saya bersama akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Riau (Unri) Syaifullah Yophi hendak membentang hasil kajian bertajuk ‘Perampasan Aset Putusan Surya Darmadi’ yang difasilitasi oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). 

Pesawat berbelok, terus menanjak naik, lalu terbang stabil di atas awan, pepohonan dan sungai mulai mengecil, dan menghilang, yang tampak guratan awan putih.

Selain menampilkan hasil kajian, khusus untuk presentasi yang akan saya sampaikan, saya mengaitkan isu kontemporer politik sawit dalam kawasan berupa penguasaan kembali Satgas PKH dan skema KSO PT Agrinas Palma Nusantara. Sebab, putusan korupsi-pencucian uang terpidana Surya Darmadi menghasilkan terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, satu diantaranya dalam proses peradilan, lima perusahaan Surya Darmadi diambil alih oleh Kejagung dan dikelola oleh BUMN sehingga tidak menimbulkan konflik sosial berupa ancaman PHK besar-besaran yang bakal dilakukan Surya Darmadi selama proses persidangan. Dan ini, tampaknya menjadi inspirasi Presiden Prabowo membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan pada Januari 2025. 

Kerumitan itu saya sampingkan sejenak. Saya ambil buku dari dalam tas berjudul ‘Matinya Seorang Penulis Besar’ karya non fiksi Mario Vargas Llosa, seorang novelis, penulis dan politikus asal Peru yang tinggal di Spanyol.  

Saya melanjutkan membaca halaman 100, dua naskah berjudul Zaman Tukang Obat (1997) dan Peradaban Tontonan (2012). Dalam buku yang diterjemahin oleh Ronny Agustunis ini merupaka kumpulan 10 naskah pilihan berbentuk esai dan pidato Llosa: Nona dari Somerset (1983), Sastra itu Api (1967), Benarnya Kebohongan (1989), Menjenguk Karl Marx (1966), Matinya Penulis Besar (1994), Epitafuntuk Sebuah Perpustakaan (1997), Sastra dan Eksil (1968), Pujian untuk Membaca dan Karya Fiksi (2010).

Khusus dua naskah terakhir yang saya baca, dalam Zaman Tukang Obat, berisi cerita Llosa hadir di untuk konferensi Jean Baudrillard di Institute of Countemporary Arts berupa toko buku. Sebelum konferensi dia melihat toko buku itu meski kecil. Ia terkejut karena toko buku itu telah mengalami revoluasi klasifikasi. Dan itu mengganggunya. Pikiran Jean Baudrillard di bandingkan dengan Foucault, Rolland Barthes dan Derrida. Llosa berpandangan perkembangan teknologi audiovisual dan revoluasi komunikasi telah menyapu habis kemampuan manusia untuk membedakan kebenaran dan kebohongan, sejarah dan fiksi, dan membuat kita, makhluk berkaki dua dengan daging dan tulang ini tersesat ke dalam labirin media zaman kita, menjadi hantu-hantu otomatis semata, potongan-potongan mesin yang dilucuti kemerdekaan dan pengetahuannya dan dikutuk untuk kedaluwarsa tanpa pern hidup.

Saya melanjutkan naskah terakhir Peradaban Tontotan. Peradaban tontonan adalah dunia di mana tempat teratas dalam skala nilainya diisi oleh hiburan, di mana bersenang-senang, lari dari kesuntukan, menjadi hasrat universal. Ini tentang hadirnya yang modernitas, menurut Llosa ruang kosong yang ditinggalkan oleh menghilangnya kritisisme telah diisi, secara tidak sadar, oleh iklan, membuat periklanan pada zaman kita ini bukan cuma sebagai komponen pembentuk kehidupan budaya, melainkan juga vektor penentunya. Iklan memberi pengaruh besar pada selera, kepekaan, imajinasi, dan kebiasaan-kebiasaan.

Salah satu peradaban tontotan dalam dunia politik. Menurut Llosa politik mengalami banalisasi seperti yang terjadi dalam sastra, film, dan seni rupa, yang artinya slogan iklan, klise, trivia, dan tren atau fesyen teranyar kini mengisi nyaris seluruh ruang yang dulu diisi dengan cita-cita program, gagasan, dan doktrin. Bila ingin tetap populer, politisi zaman ini wajib mencermati gestur dan tampilan, yang jauh lebih penting ketimbang nilai, keyakinan, dan prinsip yang mereka anut. Mengurusi kerut, kebotakan, uban, ukuran hidung, atau putihnya gigi serta pakaian mereka sama pentingnya, atau bahkan lebih penting, bagi politisi ketimbang menjelaskan kebijakan mereka saat terpilih.

Dia juga mengamati bahwa juga bukan kebetulan bila dulu para politisi yang sedang berkampanye ingin tampil difoto bersebelahan dengan ilmuwan dan dramawan terkemuka, sekarang ini mereka mencari dukungan dari para penyanyi rock, bintang film, serta pemain bola atau olahraga lainnya. Sosok-sosok ini telah menggantikan kaum intelektual sebagai pengarah kesadaran politik sektor-sektor kelas menengah dan masyarakat awam. Mereka memimpin pembacaan manifesto di panggung, dan tampil di televisi mengkhotbahkan apa yang baik dan buruk di bidang ekonomi, politik dan sosial.

Ini semua terjadi karena kebutuhan akan hiburan ini, motor penggerak padaban tempat kita hidup, bersumber dari keinginan kita untuk kabur dari kehampaan dan kegelisahan yang timbul dari kebebasan, dan juga kabur dari kewajiban untuk mengambil keputusan tentang apa yang perlu diperbuat dengan diri kita dan dunia sekitar kita, terutama yang penuh tantangan dan drama. “Ciri khas masyarakat kontemporer adalah memudarnya signifikansi kaum yang selama berabad-abad hingga relatif beberapa tahun lalu masih memainkan peran penting dalam kehidupan bangsa: kaum intelektual.” 

Selain penulis, Llosa juga melawan kediktatoran di negara asalnya, Peru–dalam naskah ceramah Pujian untuk Membaca dan Karya Fiksi (2010)–bahkan menudingnya sebagai pengkhianat hingga nyaris kehilangan kewarganegaraannya karena selama masa kediktatoran, dia meminta negara-negara demokratis sedunia menghukum rezim tersebut dengan sanksi diplomatik dan ekonomi, seperti yang dia lawan dengan segala kediktatoran seperti PInochet, Fidel Castro, Taliban di Afghanistan, Imam di Iran, apartheid di Afrika Selatan, penguasa-penguasa berseragam di Burma. “Saya akan melakukannya lagi esok bila Peru sekali lagi menjadi korban kudeta yang menghabisi demokrasi kami yang masih rapuh. Ini bukan tindakan emosional yang gegabah dari seseorang yang sakit hati seperti ditulis beberapa pengulas, yang terbiasa menilai orang lain dari sudut pandang mereka sendiri yang kerdil.”

Llosa menegaskan sikapnya atas kediktatoran,”Ini tindakan yang segaris dengan keyakinan saya bahwa kediktatoran menghadirkan kedurjanaan absolut untuk sebuah negeri, sumber brutalitas dan korupsi serta luka-luka mendalam yang butuh waktu lama untuk menutup, meracuni masa depan bangsa, dan membentuk kebiasaan dan praktik-praktik mudarat yang bertahan selama sekian keturunan dan menghalangi rekonstruksi demokratis. Itu sebabnya kediktatoran harus diperangi tanpa ragu, dengan segala cara yang bisa kita pakai, termasuk sanksi ekonomi.”

Saya selesai membaca kumpulan naskah itu di atas pesawat. Di luar jendela gelap terlihat. Saya tutup lalu sejenak berpikir esai Llosa, lantas mengingat rezim saat ini yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Saya mengambil headset lalu mendengar musik pop Indonesia. Sedang asik mendengar musik, pesawat landing. Pesawat belum berhenti, Pak Yopi menunjukkan berita yang membuat saya tersentak; KPK OTT Gubernur Riau!

Setelah menghidupkan ponsel, pesan berseliweran dan tak hentinya mengabarkan; Gubernur Riau Abdul Wahid di OTT KPK bersama 9 lainnya di Dinas PUPR Provinsi Riau. Semua bertanya karena KPK belum mengabarkan detail hasil OTT. Di dalam grup-grup WA yang saya ikuti, peserta terbagi pendukung, bukan pendukung dan bukan keduanya.

Saya juga ikut nimbrung dalam grup WA. Saya kirimkan ulang naskah yang pernah saya tulis sepekan setelah  dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Riau bertajuk (https://www.sabangmeraukenews.com/berita/24311/menghentikan-tabiat-korupsi-20-tahun-terakhir-di-riau-adakah-harapan-pada-abdul-wahid-sf-hariyanto.html)

Bila benar OTT KPK terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid, sebenarnya sudah bisa ditebak. Saya sudah ingatkan Februari 2025 saat Wahid resmi menjabat Gubernur Riau. Nukilannya berikut ini; Masa lalu atau tabiat korupsi kepala daerah dua puluh tahun terakhir, tentu menjadi refleksi dan aksi bagi Abdul Wahid-SF Hariyanto: hendak melanjutkan tabiat korupsi atau menghentikan korupsi lima tahun memimpin Riau?

Untuk menjawab akan kemana arah pemberantasan korupsi 2025-2030, setidaknya perlu melihat komitmen anti korupsi di dalam visi-misi dan program kerja yang ditawarkan keduanya saat kampanye Pilkada 2024 lalu. Publikasi Senarai pada 28 Oktober 2024 atau jelang debat pertama calon Gubernur Riau, mencatat pasangan Abdul Wahid-SF Hariyanto tidak punya komitmen anti korupsi. Yang paling mengkhawatirkan dalam salah satu program prioritas bernama Riau Mantap yang berisi pembangunan (proyek) yang rentan dikorupsi, yaitu: penyiapan jalur kereta barang penunjang industri dan perekonomian masyarakat, pembangunan Hotel Riau Slipi Jakarta, pembangunan Riau Tower, pembangunan jembatan Dumai-Pulau Rupat, relokasi bandara SSQ II Pekanbaru, fly over Simpang Panam, pembangunan jembatan Sei Pakning-Bengkalis, pembangunan Islamic Center Provinsi Riau. Termasuk proyek infrastruktur lainnya mulai dari peningkatan jalan, air bersih, rumah layak huni hingga pengelolaan limbah berupa TPST. Bukan projeknya yang disoalkan, tentu proyek ini ditunggu masyarakat Riau, namun proses pengerjaan, berkaca tabiat 20 tahun terakhir, rentan dikorupsi.

Masih ingat waktu Abdul Wahid sebagai Gubernur Riau, 15 Oktober 2025 menanggapi publikasi ICW soal Riau Nomor 1 Korupsi di Indonesia, Wahid menjawab,”itukan tahun 2024. Pasti akan kita benahi, jangan sampai hal serupa terulang di tahun yang akan datang.”

Eh, rupanya, benar-benar Wahid Korupsi di Riau!

Saya mengomel di depan Pak Yopi, Okto dan Aldo, sembari mencibir dan mencemooh karena ini Gubernur keempat yang ditangkap KPK! sebagai warga Riau malu rasanya turun dari pesawat dapat stigma daerah juara dan penghasil koruptor.

Malam itu selepas maghrib, kami naik taksi menuju petamburan. Sepanjang jalan, selain merasa malu, saya lelah sebenarnya, sejak mahasiwa di Fakultas Hukum Unri terlibat dalam dunia aktivisme hingga kini, melawan rezim yang korup adalah suara perlawanan yang tak banyak dilakukan oleh mahasiswa di era saya. Lelah terus menerus mengingatkan rezim untuk berhenti korupsi.

OTT KPK, menambah daftar pelaku korupsi sejak tren 25 tahun lebih di Riau. Itu artinya, korupsi sudah membudaya di Riau, sebab bukan lagi faktor ekonomi semata, ada faktor menggejala bahwa gengsi, butuh kemewahan dan butuh kekayaan agar dipandang hebat dan kaya.

Malam itu, informasi yang pasti 10 orang di OTT KPK, termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid. Ada yang mengecam KPK. Ada yang mendukung KPK. Bahkan Ustad Abdul Somad sampai bikin video menjelaskan situasi yang terjadi bahwa Abdul Wahid bukan ditangkap KPK tapi dimintai keterangan. Video Abdul Somad menyebar di grup-grup WA di Riau. Video Abdul Somad ada yang mendukung. Ada yang mengecam ngapain Ustad ngurusin OTT Gubernur Riau. Ada saja yang buat suasana makin keruh; ada yang berisi selamat kepada Wakil Gubernur Riau SF Hariyanto sebagai Gubernur Riau.

Malam itu, informasi mulai sedikit terang; Benar yang di OTT Gubernur Riau. Besok pagi akan diterbangkan ke Jakarta bersama pelaku lainnya.

Hingga dini hari, 4 November 2025, informasi Abdul Wahid menghiasi media sosial. KPK mengumumkan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam menyerahkan diri kepada lembaga antirasuah tersebut. KPK juga sudah menetapkan tersangka pasca-OTT tersebut.

Pagi hari saat terbangun, sebuah foto Abdul Wahid berbaju putih bercelana hitam berjalan berbaris menuju pesawat. Dia terbang untuk diperiksa lebih lanjut di Gedung KPK Kuningan.

Usai sarapan bersama Pak Yopi, Okto dan Aldo, saya meminta waktu untuk buat presentasi, saat sarapan topik OTT KPK masih menjadi perbincangan dengan serius maupun dengan cemoohan. 

Awalnya saya hendak memasukkan ke dalam ppt OTT Gubernur Riau Abdul Wahid. Wajah korupsi Riau: korupsi pengadaan barang dan jasa APBD, juga korupsi perizinan kehutanan. Saya urungkan. Saya fokus saja pada hasil kajian Surya Darmadi; korupsi perizinan kehutanan Riau.

Korupsi Perizinan Kehutanan Surya Darmadi

Bermula pada 31 Desember 2021, Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kejaksaan terbit (diundangkan). Salah satu pertimbangan perubahan UU Kejaksaan, yaitu, “Perubahan dalam Undang-Undang ini juga mengonsolidasikan beberapa kewenangan Jaksa Agung, Kejaksaan, dan Jaksa yang diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga lebih komprehensif dan dapat dilaksanakan secara lebih optimal, seperti kewenangan menggunakan denda damai, melakukan intelijen penegakan hukum, dan pemulihan aset. Untuk mengoptimalkan penegakan hukum, pelaksanaan wewenang dilakukan secara koordinatif dan terpadu dengan instansi dan/atau lembaga lain sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Salah satu kewenangan terbaru Kejaksaan adalah pemulihan aset. Dalam Pasal 30A UU No 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kejaksaan menyebut: “Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.” Yang dimaksud dengan “aset perolehan tindak pidana” adalah aset yang diperoleh dari tindak pidana atau diduga berasal dari tindak pidana, aset yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan aset yang terkait dengan tindak pidana.”

Lima bulan kemudian, Kejaksaan Agung menerapkan pemuliha aset dalam perkara Surya Darmadi.

Kejagung mulai menyidik perkara dugaan tindak pidana korupsi PT Duta Palma Grup di Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-25/F.2/Fd.2/05/2022 pada 17 Mei 2022 dan 4 Juli 2024 terkait dugaan tindak pidana korupsi penerbitan izin lokasi dan izin usaha perkebunan PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Kejagung telah memeriksa 17 saksi dan 5 ahli serta menggeledah 10 lokasi, termasuk menyita sejumlah dokumen perizinan, operasional dan keuangan perusahaan, 1 unit handphone, 6 unit hardisk dan 8 bidang lahan perkebunan maupun bangunan atas nama PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu, PT Banyu Bening Utama dan PT Kencana Amal Tani. Dari 8 bidang lahan perkebunan ini menghasilkan keuntungan Rp 600 miliar dalam sebulan.

“PT Duta Palma Grup melakukan pengelolaan lahan seluas 37.095 hektare secara tanpa hak, melawan hukum yang menyebabkan kerugian terhadap perekonomian negara. Selain itu, PT Duta Palma Grup telah membuat dan mendirikan lahan seluas itu tanpa dilandasi oleh hak yang melekat atas perusahaan itu dan lahan tersebut tidak memiliki surat-surat lengkap,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Agustus 2022, Kejagung menetapkan Surya Darmadi sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang penggunaan total 37.095 hektar kawasan hutan untuk kebun sawit sejak 2003 hingga saat ini tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Lima perusahaan sawit tergabung dalam Darmex Agro tanpa izin dari Menteri Lingkunan Hidup dan Kehutanan berada dalam kawasan hutan sehingga negara mengalami kerugian Rp 78 triliun. Awal penghitungan Kejagung menduga kerugian negara dan perekonomian mencapai Rp 104,1 Triliun merujuk pada perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ahli lingkungan hidup, dan ahli perekonomian dari Universitas Gadjah Mada.

Penyidik langsung memblokir aset dan rekening Surya Darmadi. Dalam kasus ini juga menjerat Raja Thamsir Rahman Eks Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008 yang berperan sebagai pemberi izin.

Singkat cerita, karena punya kewenangan penelusuran aset, Kejagung menyita aset Surya Darmadi yang terkait dengan perkara berupa Penyidik Kejagung telah menyita 32 aset: 18 di Jakarta, 12 di Riau dan 2 di Bali. Aset berupa hotel, bangunan, tanah, kebun sawit, kapal tongkang dan lainnya.

September 2022, Surrya Darmadi menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Jaksa mendakwa Surya Darmadi: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1)

Pada 23 Februari 2023, Menjatuhkan pidana kepada Surya Darmadi,  pidana penjara selama 15 tahun, dan denda sebesar Rp 1 miliar, pidana tambahan sebesar Rp 2,2 triliun, dan membayar kerugian perekonomian sebesar Rp 39 triliun.

Pada 24 Mei 2023, Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 18/PID.SUS-TPK/2023/PT DKI memutuskan menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pusat tanggal 23 Februari 2023 Nomor : 62/Pid.Sus-TPK/2022/PN Jkt Pst. yang dimintakan banding tersebut. 

Pada 4 September 2023, Majelis hakim peninjauan kembali menjatuhkan pidana kepada Surya Darmadi  penjara selama 16 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 1 miliar, pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2.2 triliun. 

Terakhir, pada 19 September 2024, Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Surya Darmadi. Surya Darmadi pun tetap divonis 16 tahun penjara dalam kasus korupsi yang dilakukannya. Putusan PK nomor 1277 PK/Pid.Sus/2024 dibacakan pada Kamis (19/9).

Dari kajian menemukan terkait Kejaksaan Agung dan Disparitas Putusan Majelis Hakim.

Terkait Kejaksaan Agung. Pertama, Terobosan perampasan aset. Terkait penyitaan dan perampasan aset saat penyidikansaat menjadi tersangka, Surya Darmadi berstatus buron, namun dengan cepat menyerahkan diri kepada Kejaksaan Agung sebab aset Surya Darmadi dibekukan. Ternyata sejak 31 Desember 2021, Kejaksaan Agung berwenang melakukan perampasan aset. Pasal 30A Undang Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berbunyi,”Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.” Yang dimaksud dengan “aset perolehan tindak pidana” adalah aset yang diperoleh dari tindak pidana atau diduga berasal dari tindak pidana, aset yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan aset yang terkait dengan tindak pidana.

Lima bulan kemudian, Kejaksaan Agung menyidik Surya Darmadi dan langsung menyita aset Surya Darmadi. Sejak Surya Darmadi ditetapkan tersangka pada 1 Agustus 2022, sejak saat itu hingga jelang pembacaan dakwaan, Kejaksaan Agung menyita aset-aset milik Surya Darmadi.

Kedua, Kejaksaaan Ambil Alih Perusahaan Surya Darmadi Tanpa Konflik dengan karyawan. Selama menangani perkara Surya Darmadi, bahkan hingga putusan Peninjauan Kembali, tidak terjadi gejolak konflik dari internal perusahaan berupa pemutusan hubungan kerja karyawan Darmex Agri Grup. Korporasi kerap mengancam pemutusan hubungan kerja pada karyawan bila tesandung perkaran hukum pidana.

Kejaksaan bukan saja melakukan litigasi pada perkara Surya Darmadi, juga menyiapkan non litigasi berupa pengamanan aset-aset perusahaan. Harta Surya Darmadi yang disita Kejaksaan Agung telah dititipkan ke Badan Usaha Milik Negara. kalau perkebunan diawasi dan dikelola asetnya oleh PT Perkebunan Nusantara V dan aset (tanah, gedung dan lainnya) dikelola oleh Wika Royalty. Ini dilakukan supaya nilai barang dan aset terjaga dan tetap memberikan keuntungan buat negara.

Para pengurus Darmex Plantation di lapangan, menerangkan selama penyitaan dilakukan Kejaksaan Agung, kegiatan kebun dan pabrik tetap berjalan. Para pekerja masih lancar menerima gaji dari manajemen perusahaan. Hanya tangki penyimpanan minyak mentah mulai penuh sebab penjualan lambat.

Penyitaan aset lalu ditiipkan pada lembaga negara lainnya oleh Kejaksaan Agung karena kewenangan Kejagung dapat melakukan perampasan aset.

Ketiga, bukan hanya Surya Darmadi. Dalam pledoi Surya Darmadi berjudul Mengapa “Saya Diperlakukan Tidak Adil dan Tidak Manuasiawi, Sementara Perkara yang Saya Hadapi Sama Substansi Dengan 1192 Perusahaan Lainnya”. Surya Darmadi merujiuk SK Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan  Nomor 531 Tahun 2021 yang Mempublis 313 Perusahaan, 4 Perusahaan Saya Terdaftar Dalamnya masuk dalam kawasan hutan, namun paska terbitnya UU Cipta Kerja, korporasi salah satunya wajib mengurus perizinan pelepasan kawasan hutan yang memiliki izin lokasi atau izin Usaha Perkebunan.

Surya Darmadi mengklaim, sebagai pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tidak pernah bermasalah, terbaik, tidak penah dapat teguran dan tidak ada cacat perilaku tiba tiba dikatakan terkena kasus mega korupsi dengan kergian negara dan perekonomian negara sebanyak Rp 86 Triliun.Apalagi dituduh, bahwa  keuntungan yang diterima dari PT Kencana Amal Tani, PT Banyu Bening Utama, PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur digunakan untuk melakukan pencucian uang. Lima perusahaannya masih legal dan belum terjadi pembatalan izin.

Kini produksi crude palm oil tidak berjalan, tangki penampungan penuh, produksi pabrik berhenti. Kini kami hanya menunggu bangkrut dan pemutusan hubungan kerja saja. Dari awal ingin bangun usah di Indragiri Hulu dengan niatan memanfaatkan lahan terlantar. Bukan merusak lingkungan, ambil kayu apalagi merusakan lingkungan.

Korupsi yang dituduh selama ini, lalu perusahaan disita, rekening diblokir dan aktivitas penjualan berhenti karena Kejaksaan Agung.  Sewaktu ia masih di luar negeri dan berniat kembali  ke Indonesia atas inisiatif pribadi untuk menghadapi proses hukum dan memikirkan kelanjutan perusahaan. Langsung diperiksa 15 dan 18 Agustus 2022 lalu empat hari kemudian berkas langsung dinyatakan p21 (lengkap).

Semua ini hanya karena benturan aturan antara Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173 tahun 1986 tentang Tata Guna Hasil Kesepakatan dan Peraturan Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau yang membuat proses pemberian izin pelepasan kawasan hutan.

Padahal ada surat yang dikirim Jaksa Agung Hendarman Supandji kepada Menteri Kehutanan untuk mencarikan solusi yang win-win solution terhadap investor yang sudah menanam sawit dalam kawasan hutan. Pun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 531 tahun 2021 dimasukkan dalam daftar perusahaan yang berusaha dalam kawasan hutan dan diberi tenggat waktu hingga 2023 untuk selesaikan persyaratan. Saat masih melengkapi dokumen ternyata sudah diproses hukum pidana. Seharusnya perusahaan hanya dikenakan denda administratif.

“Mengapa hanya saya yang diproses padahal ada 1.192 perusahaan lain yang sama dan berusaha dalam kawasan hutan. Apakah saya hanya Martir?” Apalagi tuduhan telah merugikan perekonomian negara sebanyak Rp 78,9 Triliun, tidak punya dasar. Hingga 2022 saja baru menerima keuntungan dari kelima perusahaan sebanyak Rp 1,6 Triliun. Dan masiha ada perusahaan yang belum berikan dividen sebab masih memiliki hutang ke holding,” kata Surya Darmadi.

Kesaksian Surya Darmadi adalah benar. Di Riau saja, hasil temuan Eyes On The Forest (EoF) dan Jikalahari, ada 1,2 kawasan hutan telah ditanami, salah satunya oleh korporasi.

Pernyataan Surya Darmadi dan temuan-temuan EoF dan Jikalahari adalah bukti, bukan hanya Surya Darmadi yang menanam sawit dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kejaksaan segera memproses tanpa melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum.

Keempat, Dampak Jaksa boleh ajukan Peninjauan Kembali. Pada 14 April 2023, Mahkamah Konstitusi melalui outusan No 20/PUU-XII/2023 menyatakan Jaksa tidak berwenang mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Penghapusan kewenangan Kejaksaan mengajukan PK dalam konteks perkara Surya Darmadi, tentu menguntungkan Surya Darmadi sebagai terpidana. Fakta menunjukkan, putusan Kasasi yang menguntungkan Surya Darmadi, tak bisa lagi dilakukan upaya hukum oleh Kejaksaan Agung. Peluang ini tentu saja dimanfaatkan oleh Surya Darmadi. Dalam putusan PK yang menguatkan putusan Kasasi, Kejaksaan kembali mengalami kekalahan dengan tidak diakui oleh majelis hakim kasasi perihal perhitungan perekonomian negara yang mencakup kerugian ekologis.

Terkait Disparitas Putusan. Pertama, putusan kasasi tergolong cepat hanya 11 hari. Putusan Kasasi tergolong cepat yaitu hanya 11 hari. Putusan ini janggal. Majelis hakim tergolong cepat memutus perkara terpidana yang kompleks dan butuh kehati-hatian. Bukan hanya sekedar mengutip memori kasasi penasehat hukum terpidana.

Merujuk KMA No. 214/KMA/SK/XII/2014 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung, maksimal 250 hari penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Dalam poin D tertulis untuk majelis hakim untuk membaca dan memeriksa berkas dan memberikan pendapat dalam lembar pendapat butuh waktu 60 hari untuk perkara menarik perhatian publik.

Bahwa asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, bukan terarti mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam perkara yang berkaitan dengan atau ada kaitannya dengan korupsi sawit dalam kawasan hutan secara ilegal yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan.

Kedua, perbedaan penghitungan kerugian ekologis beririsan dengan kerugian negara dan perekonomian negara.

Majelis hakim tidak teliti dalam mengambil kesimpulan perihal penghitungan perekonomian negara (di dalamnya termasuk penghitungan kerugian ekologis) adalah potensial loss bukan actual los.

Merujuk pada Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, setidaknya menerangkan dua hal:

Pertama, penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK mendefiniskan, “Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual.

Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan penjelasan kalimat “secara nyata telah ada kerugian negara” dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

Selain itu, agar tidak menyimpang dari semangat Konvensi PBB Anti Korupsi, ketika memasukkan unsur kerugian negara dalam delik korupsi, kerugian negara tersebut harus benar-benar sudah terjadi atau nyata. Delik korupsi yang terdapat dalam Konvensi PBB Anti Korupsi telah diuraikan secara jelas meliputi suap, penggelapan dalam jabatan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan jabatan, pejabat publik memperkaya diri secara tidak sah, suap di sektor swasta, penggelapan dalam perusahaan swasta, pencucian uang hasil kejahatan, menyembunyikan adanya kejahatan korupsi, dan menghalang-halangi proses peradilan.

Kedua, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menurut Mahkamah berbeda dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena merupakan rumusan yang bersifat alternatif dalam rangka untuk menjangkau juga modus tindak pidana dalam hal hasil korupsi misalnya disembunyikan kepada orang lain atau suatu korporasi.

Oleh karena itu, walaupun pelaku tidak memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri namun apabila melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara dan dalam hal ini orang lain atau suatu korporasi diuntungkan atau bertambah kekayaannya, dikenai tindak pidana korupsi.

Terkait hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa terlepas dari pada penggunaan hasil korupsi untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, akan tetapi nyatanya korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh terhadap terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah, oleh karenanya setiap tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra ordinary crime.

Pertimbangan MK jelas di atas bahwa “penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional”.

Intinya, putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 menegaskan, MK tidak mempersoalkan model penghitungan, yang penting model penghitungan tersebut menggunakan konsepsi actual lost.

Penghitungan perekonmian negara yang dihitung oleh Ahli FEB UGM, Prof Bambang Hero Sahrdjo adalah penghitungan actual bukan potensial. Prof Bambang Saharjo dalam penghitungannya merujuk pada Permen LHK No 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup dan atau kerugian ekosistem. Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan atau valuasi ekonomi lingkungan hidup.

Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan

Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.

Pembayaran kerugian lingkungan hidup merupakan penerimaan negara bukan pajak dan seluruh penerimaan negara bukan pajak dari pembayaran kerugian lingkungan hidup wajib disetor ke kas Negara.

Dalam penjelasan menyebut…”Pembangunan ekonomi pada umumnya menyisakan permasalahan eksternalitas berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup dan/atau masyarakat. Berbagai kegiatan seperti, penggundulan hutan, pembukaan lahan, pembuangan sampah, penambangan telah menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup seperti pencemaran wilayah pesisir dan laut, pencemaran air permukaan, emisi debu, asap serta gas rumah kaca ke udara. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang hanya memenuhi permintaan pasar, pada akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan hidup. Manakala lingkungan hidup telah terdegradasi, keberadaannya akan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi serta menimbulkan berbagai konflik sosial yang berkelanjutan dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, pengusaha dan pemerintah.”

…”Penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup merupakan pemberian nilai moneter terhadap dampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Besaran nilai moneter kerugian ekonomi lingkungan hidup sekaligus merupakan nilai ekonomi kerugian lingkungan hidup yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan oleh pihak yang melakukan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”

…”Konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 2.1 terlihat bahwa sumber daya alam barang dan jasa yang dapat dioleh menjadi barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan lingkungan hidup dalam jangka panjang akan menghasilkan barang dan jasa yang diinginkan (desirable outputs) maupun yang tidak diinginkan (non desirable outputs) seperti tercemarnya dan/atau rusaknya lingkungan hidup sehingga mempengaruhi tingkat kesehatan, produktifitas maupun kualitas material lainnya. Berdasarkan perubahan yang terjadi akan dapat dilakukan estimasi terhadap nilai moneter sebelum dampak yang akan timbul. Hasil penghitungan nilai moneter ini merupakan nilai kerugian lingkungan hidup yang selanjutnya akan menjadi umpan balik bagi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.”

Salah satu yang masuk dalam komponen penghitungan kerugian lingkungan hidup adalah berkaitan dengan hak ekonomi dan sosial.

Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat sebagai individu atau perorangan dan masyarakat sebagai kelompok orang-orang. Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup seperti diuraikan di atas akan menimbulkan dampak berupa kerugian masyarakat akibat rusaknya aset seperti peralatan tangkap ikan, rusaknya perkebunan dan pertanian, rusaknya tambak ikan, serta hilangnya penghasilan masyarakat, dan sebagainya. Akibat kerusakan peralatan tangkap ikan dan tambak ikan berarti bahwa sebagian atau seluruh sumber penghasilan masyarakat di bidang perikanan terganggu sebagian atau seluruhnya. Demikian pula bila ada pertanian atau perkebunan atau peternakan yang rusak sehingga benar-benar merugikan petani dan peternak, semua kerugian tersebut harus dihitung dan layak untuk dimintakan ganti ruginya.”

Dikaitkan dengan perkara terpidana Surya Darmadi yaitu menanam sawit dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri LHK berdampak pada perusakan kawasan hutan berupa pembukaan lahan dan penggundulan hutan.

Penegasan perusakan hutan dalam Putusan MK Nomor 98/PUU-XIII/2015, dalam pertimbangannya menyebut bahkan yang memiliki izin di sektor kehutanan pun harus berhati-hati dalam mengelola izinnya “….Pihak yang diberi izin dan hak pengelolaan hutan bukan berarti memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi hutan tanpa batas. Justru pihak yang memiliki izin dan hak pengelolaan hutan harus mengikuti aturan perundang-undangan agar kegiatan pengelolaan hutan tidak menimbulkan kerusakan hutan.”.

Kasus Surya Darmadi sangat jelas menanam sawit dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri LHK berdampak pada perusakan hutan yang berakibat pada kerugian perekonomian negara merujuk pada putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 dan Nomor 98/PUU-XIII/2015 yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh terhadap terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup atau kerugian ekologis yang dapat dihitung (aktual).

Dalam penjelasan umum UU No 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) menyebut tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional.

Oleh karenanya, tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi.

Dunia internasional mengakui korupsi sangat merugikan dan memiliki dampak buruk yang luar biasa. Dari sudut pandang ekonomi, korupsi dapat menyebabkan pemborosan dalam penggunaan sumber daya alam, menghalangi masuknya investasi asing, menghambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan standar hidup, menaikkan belanja negara, membuat sistem pajak tidak efisien, medorong modal keluar, membengkaknya deficit anggaran belanja negara. Dari sudut pandang sosial dan ekonomi, korupsi dapat melemahkan aturan hukum dan demokrasi, membahayakan asas-asas pemerintahan yang baik dan administrasi publik yang efektif, merusak pasar, mengancam hak asasi manusia, dan menggerogoti institusi-institusi yang menjamin stabilitas, keamanan dan pembangunan berkelanjutan.

Kerusakan ekologis berupa penghancuran hutan untuk ditanami kelapa sawit berpengaruh pada kehidupan global atau pembangunan berkelanjutan.  

Korupsi Kontemporer Sawit Dalam Kawasan Hutan

Barangkali, prestasi Kejagung menangani perkara Surya Darmadi salah satunya berupa mengambil alih perusahaan dan aset Surya Darmadi lantas diserahkan pengelolaannya ke BUMN, begitu putusan berkekuatan hukum tetap, perkebunan sawit milik Surya Darmadi dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara seluas 221.868,4 hektar tersebar di Sumatra dan Kalimantan, menginspirasi Presiden Prabowo membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan berdasarkan Perpres No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan yang terbit pada 21 Januari 2025.

Kurang dari 10 hari sebelum Perpres No 5 Tahun 2025 terbit, Presiden Prabowo Subianto pada memanggil Jaksa Agung beserta seluruh Jaksa Agung Muda di Istana Negara Jakarta. Agenda terutup itu membahas isu pemberantasan korupsi serta penanganan perizinan ilegal yang dianggap merugikan negara dan menghambat pembangunan nasional.

Presiden Prabowo menegaskan komitmen penegakan hukum terhadap praktik-praktik korupsi di sektor perizinan. Prabowo memberi arahan pada Kejaksaan mempercepat proses penyelidikan dan penindakan terhadap praktek ilegal. Presiden juga menekankan pentingnya memperkuat sistem pengawasan di instansi pemerintah agar proses perizinan berjalan transparan.

Namun, hadirnya Perpres No 5 Tahun 2025, justru melahirkan penyalahgunaan wewenang berupa memasukkan PT Agrinas Palma Nusantara mengelola sawit dalam kawasan hutan yang disita oleh Satgas PKH hingga dugaan korupsi di dalam tubuh Satgas PKH yang dalam pelaksanaannya di lapangan didominasi oleh militer (selengkapnya lihat tulisan berjudul https://www.sabangmeraukenews.com/berita/29688/melegalkan-pemain-baru-dalam-kawasan-hutan-satgas-pkh-penguasaan-kembali-hingga-bumn-dengan-skema-ks.html?page=1).

Untuk memudahkan, saya hadirkan fakta berikut:

Tuan A tanam sawit dalam kawasan hutan sejak 20 tahun terakhir seluas 100 hektar. Sawit dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan merujuk UU Kehutanan adalah tindak pidana. Namun, sejak terbitnya UU Cipta Kerja 2021, sawit dalam kawasan hutan diberi waktu tiga tahun untuk urus perizinan dengan membayar denda. Bila lewat tiga tahun diberi sanksi administratif. Pengusaha ilegal itu tentu saja mengurus permohonan perizinan. Hingga September 2024, daftar nama-nama individu dan perusahaan diterbitkan oleh KLHK untuk diverifikasi kemudian membayar denda. Tuan A menunggu pembayaran denda.

Lalu, terbitlah Perpres 5/2025. Oleh Satgas PKH semua sawit dalam kawasan hutan di inventarisasi dan diverifikasi ulang. Semua sawit dalam kawasan hutan dikuasai kembali oleh Satgas PKH. Lalu, lahan yang dikuasai kembali, tiba-tiba diberikan kepada PT Agrinas. PT Agrinas membuat skema Kerja Sama Operasional (KSO) menggandeng badan usaha berbadan hukum koperasi, CV maupun perusahaan untuk kelola sawit dalam kawasan hutan. Lalu, badan usaha tersebut setelah mendapat izin dari PT Agrinas langsung memanen sawit tanpa memiliki perizinan dari Kementerian Kehutanan bahkan tidak punya perizinan lingkungan dan AMDAL. KSO menyetor dana tertentu kepada PT Agrinas. Semua lahan-lahan yang dikelola PT Agrinas dengan skema KSOnya dijaga oleh militer. Bahkan militer melakukan tindakan intimidasi terhadap buruh pemilik kebun sebelumnya.

TIndakan tidak punya dasar hukum dan menyalahi peraturan UU Kehutanan, bukan dianulir oleh Presiden Prabowo, justru Prabowo memberi dasar hukum dengan menitkan PP 45 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas PP No 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak  yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.

Intinya, PP Ini melegalkan tindakan Satgas PKH mengambil alih kewenangan Kementerian Kehutanan dan melegalkan PT Agrinas dan KSOnya kelola sawit dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan.

Saya menilai, era Presden Prabowo memaksakan militer masuk mengurus sawit dalam kawasan hutan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Potensi korupsinya tinggi sekali, sebab militer maupun purnawirawan mengelola sawit dalam kawasan hutan tanpa diketahui publik atau tidak transparan dan akuntabel.

Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa APBD Riau Gubernur Abdul Wahid

Pada 5 November 2025, KPK mengumumkan menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid (AW), Kepala Dinas PUPRPKPP Riau M. Arief Setiawan (MAS), serta Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam (DAN) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

Saat pengumuman berlangsung saya sedang di Bandara Soetta terminal 3 menunggu terbang ke Pekanbaru. Kasusnya mulai terang.

Dalam siaran persnya, KPK menjelaskan perihal OTT. KPK mengamankan barang bukti berupa sejumlah uang dalam bentuk pecahan rupiah dan mata uang asing senilai Rp 1,6 miliar. Terjadi tiga kali pemberian fee dengan total Rp 4,05 miliar yang disebut dengan istilah “jatah preman”, rinciannnya:

Mei 2025, Ferry Yunanda (FRY) mengadakan pertemuan dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-IV Dinas PUPR PKPP untuk membahas pemberian fee sebesar 2,5 persen kepada AW atas penambahan anggaran yang telah dialokasikan pada UPT jalan dan jembatan Wilayah I-IV dari semula Rp 71,6 miliar menjadi RP 177,4 miliar. FRY menyampaikan hasil pertemuan itu kepada MAS. Namun, MAS meminta fee 5 persen dan mengancam akan memutasi siapapun yang tidak mematuhi perintahnya. Seluruh Kepala UPT dan Sekretaris Dinas PUPR PKPP kembali bertemu dan menyepakati pemberian fee 5 persen (setara Rp 7 miliar) kepada AW dengan kode “7 batang”.

Juni 2025, FRY sebagai pengepul uang dari Kepala UPT telah mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar untuk diberikan kepada AW melalui DAN sebesar Rp 1 miliar kepada kerabat MAS.

Agustus 2025, FRY kembali mengumpulkan uang sebesar Rp 1,2 miliar. Atas perintah MAS, FRY mendistribusikan kepada sopir MAS sebesar Rp 300 juta, untuk proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan FRY Rp 300 juta.

November 2025, pengumpulan uang tahap ketiga dilakukan oleh para kepala UPT total Rp 1,2 miliar. Lalu diberikan kepada AW melalui MAS sebesar Rp 450 juta dan diberikan langsung kepada AW Rp 800 juta.

KPK juga menceritakan AW diamanakan di salah satu cafe di Pekanbaru. Rumah AW juga digeledah di Jakarta Selatan dan mengamankan uang pecahan asing. Rencananya uang itu untuk digunakan Wahid ke luar negeri. Ketiga tersangka dikenakan pasal pemerasan yaitu Pasal 12 huruf e UU No 31 Tahun 1999 jo Pasal 64 aya (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Di atas pesawat, saya tidak betah. Gelisah memikirkan Abdul Wahid menambah daftar Gubernur Riau keempat terlibat korupsi: Gubernur Saleh Djasit (1998-2003) korupsi pengadaan damkar, Gubernur Rusli Zainal (2003-2013) korupsi suap PON dan penerbitan izin BKT-RKT Hutan alam untuk korporasi HTI, Gubernur Annas Mamun (2014-2016) korupsi pengadaan barang jasa APBD dan alif fungsi hutan untuk sawit dalam RTRWP Riau.

Keempat Gubernur Riau korupsi pengadaan barang dan jasa serta penerbitan izin dan tanpa izin kehutanan untuk HTI dan sawit. Jadi, APBD Riau dan perizinan sektor kehutanan (sawit dalam kawasan hutan, izin HTI di atas hutan alam) adalah wajah korupsi Riau. Dua sumber pendanaan ini (APBD dan perizinan) menjadi sumber pendanaan utama dalam pemilihan umum nasional dan daerah. Aktor utamanya para taipan berkoalisi dengan politis korup hingga berhasil menguasai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah Djasit, Rusli Zainal dan Annas Mamun adalah kader partai Golkar–Rusli dan Annas perna jabat ketua Golkar Riau. Abdul Wahid Ketua PKB Riau. Tidak mungkin korupsi yang mereka lakukan tidak mengalir ke partai politik dan elit politik nasional. 

Mengapa mereka korupsi? Sampai detik ini, bahkan saat sidang Rusli Zainal dan Annas Mamun, tidak mengakui mereka melakukan korupsi dan tidak menyesali perbuatannya, meski bukti menunjukkan mereka korupsi. Bagaimana menghentikan korupsi di Riau? Rumit sekali menjawabnya. Serumit pikiran saya selama sejam lebih memikirkan korupsi empat Gubernur Riau di atas pesawat.

Pesawat mendarat senja itu, maghrib berkumandang. Saya hidupkan ponsel. Pesan berantai masuk di semua grup dan pribadi: rilis KPK menghias media sosial dengan nada sama, Wahid minta jatah preman alias japrem. Japrem digunakan untuk plesiran ke luar negeri.

Publik terpecah: ada yang mendukung KPK. Ada yang menuding KPK tebang pilih. Ada yang mendukung Abdul Wahid. Ada yang tidak. Ada juga tidak keduanya. Tapi, tidak ada yang mengutuk dan berusaha menghentikan korupsi di Riau.***

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube