Opini Rehat

Revisi Perda Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Riau: Wajib Membuka Partisipasi Publik Secara Bermakna dan Maksimal

Oleh Made Ali, SH***

Ketua DPRD Provinsi Riau Kaderismanto mendorong revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP). “Selama ini, tidak ada laporan terukur dari perusahaan terkait realisasi Corporate Social Responsibility (CSR). Padahal angka 2,5 persen dari dividen yang diatur dalam perda tersebut sangat potensial untuk membantu pembangunan daerah,” kata Kaderismanto pada Mei 2025 di media online riau tribune.

Partisipasi Publik Secara Bermakna dan Maksimal
Revisi Perda TJSP Riau perlu dilakukan partisipasi publik secara bermakna (meaningfull participation) dan optimal.
Merujuk pada putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 dan Undang Undang No 13 tahun 2002 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 3 prasyarat partisipasi masyarakat yang bermakna: hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Lalu, pada 16 Juni 2002 merujuk pada putusan MK di atas, terbit UU No 13 tahun 2022. Salah satunya memperjelas definisi “asas keterbukaan” yang bermakna: “pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).”

Merujuk pasal 96 ayat 1,2 dan 3 UU No 13 tahun 2003 yang berbunyi: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundanga-undangan. Pemberian masukan masyarakat dilakukan secara daring atau luring. Masyarakat merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi rancangan peraturan perundang-undangan.

Merujuk pada Pasal 8 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).

Perda TJSP Riau Bertentangan dengan PP TJSL

Peraturan Daerah (Perda) No 6 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) di Provinsi Riau bertentangan dengan produk hukum Perseroan Terbatas dan Materi Perda Bertentangan dengan Asas serta Perusahaan sebagai penentu utama pemberian TJSP.

Perda TJSP terbit pada 5 Oktober 2012 di era Gubernur Riau Rusli Zainal. Perda ini terbit merespon atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas yang terbit pada 4 April 2012 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

PP ini terbit untuk melaksanakan Pasal 74 Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: (1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) TJSL merupakan kewajiban perusahaan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangn. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai TJSL diatur dengan Peratura Pemerintah.

Menyandingkan judul antara Perda dan PP tidak sejalan. Padahal PP saja menyebut TJSL, sementara Perda hanya menyebut TJSP. Karena wajib, PP meletakkan TJSL sebagai judul. Ini menggambarkan prioritas TJSL sejajar dan prioritas. Perda hanya memprioritaskan sosialnya.

Prioritas TJS dalam Perda terlihat di dalam Pasal 11 yaitu bidang kerjasama TJSP meliputi 9 bidang termasuk pelestarian lingkungan hidup. Seharusnya bidang pelestarian lingkungan hidup dibuat pasal tersendiri yang khusus berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 7 dan 8 Perda TJSP terkait frasa “menentukan masyarakat sasaran setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” dan frasa “memperhatikan kebijakan pemerintah daerah dan peraturan perundangan” ini bertentangan dengan asas partisipasi dan aspirasi masyarakat.

Seharusnya, memperhatikan usulan dan masukan dari masyarakat, sebab yang paling terdampak dari operasional perusahaan adalah masyarakat di sekitar perusahaan. Dari usulan masyarakat hasil musyawarah desa atau adat, wajib dipenuhi oleh perusahaan. Jadi penentuan penerima program bukan atas koordinasi dan semaunya perusahaan dan pemerintah daerah.
Pemerintah hanya bersifat mengawasi implementasi dan memberi sanksi bila kewajiban TJSL bila tidak dipenuhi. Penentuan dari perusahaan ini juga membuka peluang pilih kasih oleh perusahaan terutama masyarakat yang setuju saja diakomodir, dan dapat menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Koordinasi dengan pemerintah juga rawan praktek suap, sebab ini pertemuan melibatkan perusahaan dengan segelintir pejabat di lingkungan Pemda.

Pasal 23 Perda TJSP bentuk kebaikan hati atau suka-suka perusahaan menetukan masyarakat sasaran, sebab kata “dapat” berarti pilihan, harusnya menjadi kata wajib, sebab TJSL memang kewajiban perusahaan buka sukarela.

Pasal 26 Perda TJSP: forum TJSP selayaknya berubah menjadi forum TJSL yang diisi oleh pemerintah, asosiasi perusahaan, dan masyarakat termasuk akademisi yang tugasnya independen bertanggungjawab pada Gubernur. Kewenangan utamanya memastikan kewajiban perusahaan dilaksanakan dan memastikan pula usulan dan masukan masyarakat menjadi prioritas perusahaan. Koordinasi TJSL dengan perusahaan sebatas memastikan kepatuhan perusahaan.

Yang juga perlu dirumuskan adalah dana entertain, dana menjamu pejabat dan dana untuk mentraktir kolega, apakah termasuk dana TJSP? Bila ini tidak dirumuskan dalam pasal, suap terhadap pejabat dan suap untuk membungkam suara kritis masyarakat yang menolak TJSL dianggap dana TJSP. Disinilah letak krusial dan lemahnya Perda TJSP: TJSP untuk membungkam suara kritis masyarakat desa dan adat.

Perubahan Perda TJSP wajib berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebab pada 2011 PBB menerbitkan Panduan Prinsip Bisnis dan HAM. Panduan ini memuat 31 prinsip yang wajib dipatuhi oleh perusahaan. Intinya adalah TJSL bukanlah sagu hati, kebaikan perusahaan atau suka hati perusahaan, tapi memang karena kewajiban perusahaan memenuhi prinsip Bisnis dan HAM.

Perda TJSP Riau namanya harus berubah menjadi Perda TJSL yang berlandaskan partispasi publik secara bermakna dan optimal, hak asasi manusia, dan penentuan TJSLnya berlandaskan pula hasil musyawarah desa dan masyarakat adat, bukan berlandaskan suka-suka perusahaan. ***

***Eks Koordinator Jikalahari 2018-2024, Pendiri Senarai dan AktivismeHukum, Alumni FH Unri dan Advokat bermastautin di Pekanbaru.

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube