oleh Made Ali, S.H*
*Eks Koordinator Jikalahari 2018-2024, Pendiri Senarai dan AktivismeHukum, Alumni Fakultas Hukum Unri dan Advokat bermastautin di Pekanbaru.
Fenomena “aneh” tiga bulan ini (Maret-Juni 2025); Kapolda Riau Irjenpol Herry Heryawan tidak berhenti mengumandangkan green policing. Ringkasnya, polisi peduli pada penyelamatan ruang ekologis Riau. Dia menggunakan pendekatan dan simbol-simbol adat, agama, kesenian, dan kebudayaan Melayu mengkampanyekan green policing.
Green Policing ala Herry Heryawan, awalnya saya anggap angin lalu yang masuk ke rongga hidung, lalu keluar lagi dari rongga yang sama. Anginnya pergi sering tidak saya hiraukan atau rasakan.
Namun, setelah membuka kembali catatan advokasi Jikalahari periode 2016-2024, saya berani bilang, sejauh ini Kapolda Riau yang paling fenomenal dan layak dikenang sepanjang masa karena peduli pada makhluk ekologis adalah Irjen Pol Dr Herry Heryawan.
Era Kapolda Sutjiptadi (Desember 2016-Januari 2018) menetapkan 200 orang tersangka illegal logging periode 2016-2018. Pelakunya mulai dari operator lapangan hingga petinggi korporasi kehutanan tanaman industri atau IUPHHK HTI (sekarang BPBH HT). Di tengah jalan, intervensi kekuasaan rezim Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan langkah Sutjiptadi sebagai Kapolda Riau saat digantikan oleh Brigjen Pol Hadiatmoko (2008-2009), hingga Hadiatmoko menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 14 korporasi HTI.
Jelang diganti sebagai Kapolda, Sutjiptadi membawa kasus ini ke KPK, yang untuk pertama kali KPK era Antasari Azhar menetapkan 20 koprprasi HTI terlibat korupsi, dari 2008-2014 dua Bupati, Tiga Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau dan Gubernur Riau menjadi terpidana, sampai detik ini korporasi belum dijadikan tersangka oleh KPK.
Kapolda Brigjen Pol Condro Kirono (Juni 2013-September 2014) menetapkan korporasi pembakar hutan dan lahan: PT Adei Plantation Industry dan PT National Sagu Prima. Mulai dari korporasi, direktur hingga general manajer. Era Kapolda Condro Kirono untuk pertama kali korporasi akhirnya menjadi tersangka pembakar hutan dan lahan.
Cerita sukses ini dilanjutkan oleh Kapolda berikutnya yaitu Brigjen Pol Dolly Bambang (September 2014-Februari 2016), Brigjen Pol Supriyanto (Maret 2016-Agustus 2017), Irjen Pol Zulkarnain (Agustus 2017-Agustus 2018), hingga Irjen Pol Widodo Eko Prihastopo (Agustus 2018-September 2019), yang sepanjang 2014-2021 menetapkan korporasi sawit PT Langgam Inti Hibrindo, PT Palm Lestari Makmur, PT Wana Subur Sawit Indah, PT Triomas FDI, PT Sawit Sejahtera, PT Tesso Indah, PT Duta Sawit Indah dan PT Gelora Makmur menjadi tersangka.
Keberhasilan Era Condro Kirono yang diikuti Kapolda berikutnya menjadikan Polda Riau pencontohan Polda lainnya di Indonesia dalam penanganan perkara lingkungan hidup berkaitan dengan pembakaran hutan dan lahan.
Era Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi (September 2019-Desember 2021), Polda Riau menerbitkan aplikasi Dashboard Lancang Kuning untuk mendeteksi hotspot dan titik api secara realtime, sehingga Polda Riau bisa segera memantau karhutla yang sedang terjadi.
Keberhasilan Sutjiptadi, Condro Kirono hingga Setya Imam Effendi, hanya menggunakan pendekatan penegakan hukum untuk menunjukkan komitmen ekologisnya. Namun, Herry Heryawan bukan sekadar melakukan penegakan hukum, lebih jauh dari itu: hendak membudayakan green policing bukan saja dengan omongan, juga tindakan.
Saya mengikuti persis sejak awal Herry Heryawan menjadi orang nomor satu di Polda Riau hingga tulisan ini hadir dihadapan pembaca, saya mencatat, setidaknya, melalui media sosial instragram @herryheryawan, saya mencatat:
Pertama, perdana menanam pohon di Dumai dalam rangkaian acara Apel Siaga Karhutla. Dalam acara ini Polda Riau menghadirkan Rocky Gerung dan Civil Society Organisation (CSO). Penanaman melibatkan pula Gubernur Riau, Walikota Dumai dan aparat penegak hukum lainnya.
Kedua, pemberian bibit pohon kepada anggota Polda, Polres hingga Polsek yang sedang berulang tahun. Kapolda menyebut ini tradisi baru diinternal kepolisian menggantikan parsel. Pemberian bibit pohon juga diberikan kepada kolega Polda Riau yang berkunjung ke Polda Riau. Setidaknya bibit pohon diberikan kepada OJK Riau, Dandrem, dstnya. Siapapun yang berhubungan dengan Kapolda diajak menanam pohon.
“Pohon yang kuat bukan hanya tegak berdiri. Ia punya batang tempat kita bersandar, dahan tempat bergantung, daun untuk berlindung, dan akar tempat kita bersila dan merenung. Mari bersama jaga bumi. karena ia telah lebih dulu menjaga kita,” tulis Kapolda Riau.
Ketiga, mendiskusikan green policing di kampus-kampus. “Green Policing bukan hanya tentang menanam pohon, tapi tentang menghadirkan wajah kepolisian yang sadar lingkungan, cerdas dalam kebijakan, dan tanggap terhadap tantangan ekologis masa kini. Kita tidak hanya bergerak secara simbolik, juga membangun habit baru, mentransformasikan ide menjadi aksi nyata.
Sebagai Kapolda Riau, saya tegaskan institusi ini harus dihormati karena integritasnya, bukan ditakuti karena kekuasaannya. Setiap anggota harus memahami prinsip HAM dalam menjalankan tugas serta menegakkan hukum dengan adil dan bermartabat.”
Keempat, saat kunjungan kerja ke Polres-Polres di Riau, Kapolda bersama Bupati atau Walikota menanam pohon bersama-sama. Saya memperhatikan mereka yang ikut menanam bersama Kapolda Riau tampak “terpaksa” ikut menanam pohon.
Kelima, dalam kegiatan seremoni penanaman pohon di Dumai, di Polda Riau, Jambore Karhutla di Tahura, peringatan hari lingkungan hidup di Rimbang Baling Kampar hingga Rumah Singgah Cagar Budaya Melayu Tuah Kadi Pekanbaru, Polda Riau mengajak siswa-siswa se Riau, Ustad Abdul Somad, Rocky Gerung, Robertus Robert, Saras Dewi, CSO masyarakat adat dan tempatan hingga seniman dan budayawan. Khusus Rocky Gerung dan UAS, kehadiran mereka kerap muncul bersama Kapolda Riau.
Keenam, sempat viral saat diskusi Tim Satgas PKH bersama masyarakat. Kapolda tiba-tiba berujar saya mewakili gajah. Sejak saat itu, Kapolda Riau menunjukkan komitmennya hingga menjadi Bapak Angkat Gajah Domang-Tari, bahkan Kapolda sampai membuat sayembara untuk memilih salah satu dari tiga maskot Domang-Tari. Kapolda juga berkunjung langsung melihat Domang dan Tari di TNTN.
“Saya sudah mendaftarkan Domang dan Tari sebagai anak saya. Saya harap semua setuju agar mereka menjadi warga kehormatan Provinsi Riau. Domang dan Tari tidak bisa sampaikan puisi, tidak bisa menyuarakan satir, tidak punya pengeras suara untuk ungkap ketidakadilan yang mereka terima. Saya berdiri di sini sebagai perwakilan mereka, sebagai suara untuk gajah-gajah Tesso Nilo.”
Ketujuh, menghidupkan kembali bahasa melayu dengan tagline “Merawat Tuah, Menjaga Marwah”, dan menjelaskan maknanya. “Sebagai insan Bhayangkara dan manusia, kita punya tanggungjawab moral terhadap alam yang telah memberi kehidupan. “Tuah” adalah berkah dan kekayaan alam yang diberikan Tuhan: hutan, gambut, air dan keanekaragaman hayati. “Marwah” adalah identitas dan harga diri kita sebagai masyarakat Riau.”
Kedelapan, turun langsung menghadapi demonstran perambah TNTN bersama Gubernur Riau dan Bupati Pelalawan. Kesembilan, penegakan hukum terhadap perambah hutan konservasi di Kampar dan Pelalawan. Kapolda turun langsung ke kawasan hutan konservasi yang telah rusak.
Mendatangi Hutan lindung Balung di Kampar yang rusak karena dirambah dan menetapkan empat tersangka. Menurut Kapolda Riau, para pelaku mengklaim memiliki tanah ulayat seluas 6.000 hektare dan mengajak pihak lain menggarapnya dengan sistem bagi hasil. Total lahan dirambah mencapai 60 hektare. Sekitar 50 hektare telah ditanami kelapa sawit dengan umur sekitar enam bulan, 10 hektare lainnya baru saja dibuka dan dalam tahap penanaman bibit.
Para pelaku membuka, memperjualbelikan, dan menggarap lahan di kawasan hutan lindung Batang Ulak dan HPT Batang Lipai Siabu. Dengan modus yang cukup rapi dan terstruktur, memanfaatkan dokumen hibah dan surat adat untuk menyamarkan kegiatan ilegal mereka.”Mereka membuat dokumen seolah-olah legal, padahal lahan tersebut berada dalam kawasan hutan lindung yang dilindungi undang-undang.”
Kapolda Riau juga melakukan penegakan hukum di Taman Nasional Tesso Nilo. Polda Riau menetapkan tokoh adat atau ‘batin’ inisial JS yang memperjual belikan kawasan hutan lindung TNTN. JS, yang diduga menjadi aktor utama dalam praktik jual-beli ilegal lahan konservasi dengan dalih tanah ulayat.
Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengungkapkan penangkapan JS merupakan hasil pengembangan dari kasus sebelumnya, yang menjerat tersangka DY, pelaku yang telah lebih dulu diamankan dan kini telah dilimpahkan ke pihak kejaksaan.
DY menerima hibah lahan seluas 20 hektare dari JS, dengan membayar sejumlah uang. JS mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari tanah ulayat miliknya seluas 113 ribu hektare
Herimen menjelaskan, setelah dilakukan verifikasi oleh ahli kehutanan dan tim penyidik, klaim tanah ulayat tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum. JS pemangku adat atau Batin Puncak Rantau. Dia tidak hanya menjual kepada DY, tapi telah membagikan dan memperjualbelikan lahan kepada lebih dari 100 orang.
Kapolda melaporkan sepanjang 2025, telah menangani 21 kasus kehutanan dengan total lahan terdampak mencapai 2.360 hektare.
Kapolda Riau menegaskan, “pengungkapan ini merupakan bagian dari implementasi Green Policing, strategi Polri dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui pendekatan preemtif, preventif, dan represif yang terintegrasi. Melindungi tuah, menjaga marwah. Ini semangat kami dalam menjaga kelestarian lingkungan Bumi Lancang Kuning,” tegas Kapolda.
“Perambahan hutan bentuk karena dampaknya tidak hanya merugikan secara materi, juga menciderai warisan ekologis untuk generasi mendatang. Saya beri peringatan keras. Satu tersangka di belakang saya ini, perannya penting. Dan kasus ini akan berkembang ke tersangka lain, termasuk mereka yang telah menerima dan memperjualbelikan kawasan konservasi untuk kepentingan pribadi.”
Ketegasan Polda Riau juga terlihat saat, satu pagi sedang berlari pagi dan menemukan tumpukan sampah. “Pagi ini, saat lari pagi sekaligus patroli, saya menemukan tumpukan sampah dibiarkan menumpuk selama sebulan. Ini bukan hal sepele. Jika dibiarkan, bisa menjadi sumber penyakit, merusak lingkungan, dan menandakan lemahnya tata kelola. Saya tegaskan, tidak boleh ada lagi pembiaran seperti ini. Saya perintahkan jajaran Polda Riau segera berkoordinasi dengan pihak terkait, baik pemda maupun instansi tekhnis, agar persoalan seperti ini segera ditangani tuntas.” Walikota Pekanbaru, hari itu juga langsung membenahi tata kelola sampah Pekanbaru.
Dari sembilan catatan di atas, bila diringkas setidaknya, tiga bulan ini Kapolda Riau menunjukkan komitmen konkritnya berupa, pertama, konsep green policing yang jelas hingga menginternalisasikan ke dalam institusi Polda Riau termasuk mengajak forkopimda untuk terlibat. Kedua, membuka ruang partisipasi publik dalam aktivitas green policing. Ketiga, menghidupkan kembali budaya melayu dan menggunakan pendekatan kearifan lokal untuk mewujudkan green policing. Keempat, untuk pertama kali suara gajah diberi ruang hingga menjadi bapak angkat gajah.
Menanam pohon, membagi bibit pohon, mewakili suara gajah dan harimau, melakukan penegakan hukum terhadap tokoh adat dan cukong yang merambah hutan alam hingga memberi ruang akademisi, ustad dan masyararakat sipil. Kesemua itu adalah salah satu “tuah dan marwah” masyarakat adat Melayu yang selama ini dirusak dan dirampas oleh persekongkolan taipan-politisi.
Tuah dan Marwah masyarakat adat Melayu salah satunya ada di hutan-tanah atau wilayat adat.
Taufik Ikram Jamil (Buku Biar Mati Anak, Asal Jangan Mati Adat) menyebut tanah untuk kehidupan dan hutan-tanah sebagai rumah atau marwah. Hutan-tanah bagi masyarakat Melayu Riau adalah ruang hidup komunal, yaitu pertama Penanda Eksistensi dan Marwah: sebagai lambang tuan dan marwah, harkat dan martabat suatu kaum.
Masyarakat yang tak memiliki hutan tanah dianggap sebagai masyarakat terbuang. Konsekuensinya orang Melayu wajib membela-pelihara hutan-tanahnya sebagai wujud dari penjagaan harkat, martabat, tuah dan marwah. Ungkapan adat berbunyi: barangsiapa tidak berhutan-tanah-hilang tuah habislah marwah; Apabila hutan-tanah sudah hilang-hidup hina marwah terbuang.
Kedua, Sumber Falsafah dan Dinamika Kebudayaan: hutan-tanah dengan segala isinya adalah sumber etika dan nilai-nilai yang mewujudkan tunjuk ajar dalam kehidupan sebagai penanda orang memegang adat-alam dijaga, petuah diingat; tanda orang memegang amanah-pantang merusak hutan-tanah; tanda orang berpikiran panjang-merusak alam ia berpantang.
Ketiga, Sumber Nafkah dan Dinamika Kebudayaan: hutan-tanah dan segala isinya dijadikan sumber pemenuhan nafkah setiap makhluk. Pemanfaatan hutan tanah dilakukan dengan arif dan bijak, cermat dan hemat, supaya manfaatnya dapat berlanjut turun-temurun. Secara etik, ungkapan adat mengatakan: makan jangan menghabiskan-minum jangan mengeringkan; kalau makan berpada-pada-kalau minum berhingga-hingga; apabila mengolah hutan-tanah-jaga-pelihara jangan memunah.
Alm Tenas Effendy (Buku Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah) menarasikan kondisi dampak hancurnya hutan-tanah yang bersebati dengan kehancuran tuah dan marwah. Sejak dibukanya kawasan hutan untuk pengusaha HPH, secara berangsur hutan tanah yang semula terpelihara itu menjadi rusak. Dan, puncak kebinasaan itu dengan dibukanya IUPHHKHT, perkebunan besar dan industri, yang bukan saja menghabiskan hutan tanah masyarakat tempatan, juga membawa kerusakan lingkungan dan pencemaran, sekaligus menghabiskan berbagai jenis flora dan faunanya.
Keadaan ini bukan saja berdampak pada kehidupan perekonomian tempatan, juga menyangkut martabat, tuah dan marwah, serta sumber nilai dan kegiatan budayanya dan sumber kesehatan masyarakat. Akibatnya masyarakat tempatan bukan saja merasa kehilangan tuah dan marwah, kehilangan hak milik, hak usaha dan hak hidup, tapi juga kehilangan sumber falsafah dan nilai budaya, bahan obat tradisional dan kayu bahan perumahan/ bangunan.
Banyak sudah perkampungan penduduk tempatan sebagian besar menjadi pulau-pulau kecil di tengah samudera perkebunan besar dan industri, lahan yang tersisa nyaris tidak ada lagi. Kalaupun ada, amatlah sedikit dan jauh dari mencukupi keperluan hidup mereka. Apalagi untuk generasi berikutnya, jangankan untuk usaha, untuk lahan perumahan pun nyaris tak ada lagi.
Dalam Buku Tunjuk Ajar Melayu (2015) Tenas Effendy lebih lanjut menerangkan alam merupakan sumber nafkah sekaligus sumber unsur budaya. Secara tradisional, mereka secara turun-temurun hidup dari hasil laut dan hasil hutan atau mengolah tanah. Secara turun-temurun pula mereka memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai keperluan, seperti membuat alat dan kelengkapan upacara adat dan tradisi, membuat bangunan, membuat alat dan kelengkapan rumah tangga, alat dan kelengkapan nelayan, alat berburu, alat Bertani dan sebagainya, termasuk untuk ramuan obat tradisionalnya.
Menyadari erat kaitannya kehidupan manusia dengan alam, menyebabkan orang Melayu berupaya memelihara serta menjaga kelestarian dan keseimbangan alam lingkungannya. Dalam adat istiadat ditetapkan “pantang larang” berkaitan dengan pemeliharaan serta pemanfaatan alam, mulai dari hutan, tanah, laut dan selat, tokong dan pulau, suak dan sungai, tasik dan danau, sampai kepada kawasan yang menjadi kampung halaman, dusun, ladang, kebun dan sebagainya.
Artinya, pandangan orang Melayu terhadap siapa saja yang merusak alam lingkungan, mencemarkan kelestarian dan tanpa memikirkan akibatnya bagi kehidupan masa kini dan anak cucunya di kemudian hari.
UU Hamidy menyebut begitu pentingnya adat untuk mengawal kehidupan masyarakat sehingga orang Melayu sampai mengatakan “biar mati anak asal jangan mati adat”, bermakna, anak atau siapa saja tentunya akan mati, tapi kematian seseorang itu janganlah membuat adat tidak berlaku. Sebab kematian adat (hukum) dapat merusak kehidupan. Jadi, janganlah adat hendaknya bergantung kepada hidup mati seseorang, tapi terpeliharalah oleh masyarakat yang memerlukannya (Buku Kearifan Puak Melayu Memelihara Lingkungan Hidup, 2001).
Saya mengusulkan kepada Kapolda Riau, pertama, bibit tanaman dan bibit pohon yang ditanam sepanjang tiga bulan ini, perlu dipastikan benar-benar ditanam dan hidup, oleh karenanya perlu memastikan ada yang merawat dan menjaganya. Melibatkan masyarakat adat dan tempatan untuk menjaganya menjadi salah satu langkah kolaborasi, dan tentu saja masyarakat perlu diberi insentif untuk menjaganya. Termasuk salah satu menghidupkan adopsi pohon bersama masyarakat di desa dan kampung-kampung.
Kedua, Kapolda Riau perlu membuat aplikasi “pantau pohon” berbasis titik koordinat—selain dashboard lancing kuning. Jadi, bibit pohon yang sudah ditanam dengan mudah diketahui kondisinya dari jarak jauh, dan secara berkala Kapolda berpatroli untuk memastikan bibit itu menjadi pohon dan hidup. Ketiga, ke depan menanam bibit pohon di lokasi yang lahannya yang rusak (deforestasi dan degradasi), bisa dimulai di kawasan hutan konservasi. Keempat, jangan lupakan masyarakat adat dalam helat yang berkaitan dengan hutan-tanah, sebab mereka yang paling terdampak dalam kehancuran ekologis di Riau.
Bila kelak, ada yang bertanya pada saya dalam diskusi formal maupun di kedai-kedai kopi, apa contoh konkrit pemimpin peduli ekologis?
Sembari tersenyum atau menyeruput kopi, saya akan jawab dengan santai,”herry heryawan, dalan tiga bulan menjabat Kapolda Riau menunjukkan peduli ekologis bukan saja dengan omongan juga perbuatan. Bukan hanya itu, bila seseorang menggunakan jabatan untuk kebaikan ekologis, pemimpin lainnya “terpaksa” ikut berbuat baik.”
Saat pertunjukan pentas “Syair Kera” diadaptasi dari 137 Syair Kerya karya Tenas Effendy di halaman kantor Gubernur Riau pada 2020, di hadapan Wakapolda Riau, alm Al Azhar berkata,”Sesungguhnya kelestarian alam negeri ini amatlah bergantung pada tuah kita, tuah aparat keamanan, tuah TNI, tuah NGO, tuah kawan-kawan jurnalis, tuah pelajar dan tuah siapa saja dan kelompok masyarakat mana saja.”
Tuah bermakna sakti, keramat, berkat (pengaruh) yang mendatangkan keuntungan (kebahagiaan, keselamatan dan sebagainya). Salah satu tuah itu ada pada Kapolda Riau Herry Heryawan. Kita wajib menjaga tuah tersebut bersama masyarakat adat agar tidak padam atau dimatikan oleh persebatian jahat antara pengusaha dan oligarki, sembari berharap tuah tersebut mengembalikan hutan tanah masyarakat adat kembali ke pangkuannya. “Kita harus bergerak bersama. Kolaborasi adalah kunci agar persoalan lingkungan tidak menjadi bom waktu,” kata Kapolda Riau.