Paska reformasi, perkembangan media di Indonesia cukup pesat. Dari media cetak, radio hingga televisi. Seiring masuknya internet secara luas, tahun 2000, media mulai hadir dalam multi platform. Para pengusaha media mulai menyesuaikan dengan tren digital untuk kepentingan bisnis mereka.
Lanskap media di Indonesia hanya didominasi oleh segelintir orang seperti: Chairul Tanjung (Trans Corporation), Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom), Eddy Sariaatmadja (Emtek), Keluarga Bakrie (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group), James Riady (Berita Satu), Dahlan Iskan (Jawa Pos) dan Jacob Oetama (Kompas Gramedia).
Para oligarki media berlomba untuk tetap eksis baik kepentingan bisnis dan politik. Bahkan pemiliknya menjelma menjadi bagian terpenting di partai politik. Menjadikan medianya berperan sebagai corong dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Pengusaha media yang sudah besar jadi makin besar karena digitalisasi memberikan kesempatan untuk memperluas jangkauannya. Mereka yang semakin kaya juga ‘memaksa’ perusahaan media kecil independen untuk bergabung atau tutup perlahan. Seiring perkembangan teknologi digital, para oligarki media menggunakan promosi silang dengan produk dan layanan usaha mereka yang lain.
Tahun 2004, sebenarnya media digital sudah dipakai untuk kepentingan politik di Indonesia. Meskipun tidak semasif dan separtisan saat ini dan disebut sebagai era pra digital. Pilpres 2014, media lebih partisan dan tidak malu-malu mendukung calon presiden saat itu. Hal itu juga ditandai dengan perlawanan dari gerakan masyarakat sipil media sosial dan platform digital lain dengan kekuatan oligarki dan bercokol dalam politik.
Buku ini juga dilengkapi wawancara langsung bersama para oligarki media, politisi, dan pelaku jurnalisme di lapangan.
Eko Faizin
AJI Pekanbaru