HAKI Opini

Korupsi: Persepsi dan Akvitisme Digital Anak Muda di Indonesia

Muhammad Fakhri

Juara 1 Lomba Menulis Opini

Opini sepenuhnya tanggungjawab penulis

 

Sejarah panjang umat manusia tidak luput dari daftar praktik korupsi di berbagai belahan dunia. Hassan El-Saady (1998), mencatat praktik korupsi dapat dilacak kembali pada Dinasti Pertama dari Mesir Kuno (3100-2700 SM).

Dalam mitologi Tiongkok, tiap rumah memilki ‘Dewa Dapur’ yang mengawasi prilaku orang di rumah tersebut. Mereka akan mempersembahkan ‘nian gao’ kepada Dewa Dapur seminggu sebelum Tahun Baru Tiongkok—hari ketika dewa ini naik ke surga memberi  laporan kepada Kaisar Langit. Nian Gao semacam suap untuk ‘menutup mulut’ Dewa Dapur agar laporan kepada Kaisar Langit berisi kebaikan saja.

Sejarawan Yunani Herodotus menggambarkan bagaimana keluarga Alcmaenoid menyuap peramal dari Delphi, yaitu Pythia. Phytia disuap dengan renovasi Kuil Apollo menggunakan marmer Parian. Sebagai gantinya, Phytia meyakinkan Sparta membantu keluarga Alcmaenoid menaklukan Atena.

Dari kisah-kisah di atas, korupsi tidak hanya menunjukkan secara praktik ia sudah berlangsung lama, Aristoteles melanjutkannya: “bahkan dewa sekalipun dapat disuap!”

Di Indonesia, menurut sejarawan Peter Carey, tindakan korupsi ini dapat ditelusuri kembali dari masa Diponegoro (1785-1855). Bahkan, ia mengatakan korupsi di Keraton Ngayogyakarta pada masa itu menjadi salah satu pemicu Perang Diponegoro.

Maju satu abad kemudian, masa kolonialisme juga tidak luput dari korupsi. Pada masa ini, menurut Dekan FIB UGM Pujo Semedi hargo Yuwono, korupsi terjadi hampir semua level kepegawaian: dari mulai kuli yang memperberat timbangan, mandor yang memperkejakan kuli ‘hantu’ hingga manajer yang membuat anggaran belanja bengkak.

Di dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, karya Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi, sejarah korupsi di negeri ini terungkap secara historis.

Dengan begitu, melekatnya korupsi secara historis di Indonesia, apa saja yang bisa kita lakukan baik sebagai bangsa moderen cum beradab? Lebih khusus lagi, bagaimana peran pemuda yang dianggap memegang kunci kemajuan bangsa dalam melawan prilaku korupsi?

Pertanyaan di atas tidak akan bisa dijawab tanpa menelusuri terlebih dahulu, sejauh mana persepsi pemuda Indonesia terhadap korupsi. Hal ini penting sebab, persepsi pemuda mempengaruhi bagaimana perannya dalam melawan atau bahkan sebaliknya, mensponsori korupsi.

Sabrina Sihombing (2018), dalam Youth Perceptions Toward Corruption and Integrity: Indonesia Context, meneliti bagaimana persepsi pemuda Indonesia mengenai korupsi. Dengan sampel dari pelajar perguruan tinggi (16-21), 500 kusioner open-ended disebar dengan 454 dijawab dan enam wawancara mendalam dilaksanakan. Hasilnya, 235 responden (51,76%) tidak dapat mendefinisikan integritas.

Dari wawancara, tiga dari enam responden juga tidak dapat mendefinisikannya secara benar. Tetapi, lebih dari setengah responden dapat menyebutkan karakteristik integritas (kejujuran, konsitensi, dapat dipercaya, dan komutmen). Ketika ditanya mengenai definisi korupsi, mereka menjawab “mengambil hak orang lain” atau “mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi”. Beberapa yang lain menjawab “mengambil uang orang lain”.

Terakhir, menyoal contoh koroupsi, 48% responden menjawab “mengambil harta orang lain” dan penyuapan. Dari wawancara, semua responden menjawab beberapa contoh korupsi. Bahkan, semua responden terlibat korupsi (menyuap) ketika berurusan dengan polisi.

Penelitian di atas menunjukkan secara umum pemuda di Indonesia familiar dengan konsep korupsi, tetapi tidak dengan konsep integritas. Ini bisa jadi karena kata ini jarang didengar dan dijadikan pembahasan publik. Dengan pemahaman diatas, pertanyaan lanjutannya, apa yang bisa dilakukan pemuda Indonesia masa kini untuk melawan korupsi?

Pemuda masa kini mungkin tidak seheroik ketika Soeharto muda berpidato di lapangan atau Tan Malaka yang dikejar-kejar PID (intel Belanda). Tapi, pemuda saat ini sebagian besar mempunyai ponsel pintar berikut akses internet. Dengan kedua alat tersebut, suatu gerakan aktivisme baru muncul: aktivisme digital.

Berdasarkan survei comscore 2016, pengguna internet Indonesia menghabiskan 91% waktu online-nya di telepon pintarnya. Kemudian, sekitar 97,4% diantaranya adalah pengguna media sosial.

Sekolompok peneliti dari Universitas Islam Indonesia dan UiTM Malaysia menulis artikel berjudul, “The New Face of People Power: An Exploratory Study on the Potential of Social Media for Combating Corruption in Indonesia” (2018). Dengan menggunakan Social Network Analysis (SNA), penelitian tersebut menunjukkan berbagai peran yang bisa dilakukan melalui media sosial dalam mendukung gerakan anti korupsi.

Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuatan potensial dari citizen journalism dalam menyebar pesan soal korupsi di ranah publik. Selain itu, ia juga menjadi alat pengawasan untuk membatasi kesempatan pejabat publik dalam menyalahgunakan sumberdaya negara untuk kepentingan pribadi.

Gerakan anti korupsi lain yang menggunakan aktivisme digital sebagai instrumen yakni gerakan #SaveKPK. Fiona Suwana (2019) dalam What Motivates Digital Activism? The Case of the Save KPK Movement in Indonesia. Studi kasus Save KPK ini berlangsung pada 2015 ketika Ketua KPK Bambang Widjojanto ditahan polisi, dan sehari setelahnya, KPK mengumumkan Budi Gunawan kandidat kuat Kapolri sebagai tersangka skandal suap. Para aktivis mendukung dengan jargon Save KPK lewat Facebook dan Twitter untuk mengorganisir massa di markas KPK.

Hasil studi ini menunjukkan budaya mencari dan menyebarkan informasi yang kredibel antara anak muda menjadi bagian penting dari aktivisme digital. Aktivitas ini mulai dari menemukan informasi daring yang relevan hingga mencari bantuan dari orang lain menjadi ketertarikan sendiri bagi anak muda.

Dari studi ini, motivasi anak muda bergabung dalam gerakan Save KPK sebagian besar dipenharuhi oleh factor internal: (1) menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat, (2) mempertahankan keberadaan KPK sebagai institusi yang kredibel, (3) percaya akan perubahan sosial dan politik, dan (4) mencapai system politik Indonesia yang lebih baik.

Dari dua penelitian di atas, semakin terang peran pemuda di era informasi dan komunikasi teknologi yang luar biasa cepat ini. Pemuda Indonesia saat ini dapat berpartisipasi melalui aktivisme digital untuk melawan prilaku korupsi yang menjadi fenomena historis sejak lama.#

 

 

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.