Karya: Pradikta Andi Alvat
Juara 2 Lomba Menulis Opini
Opini sepenuhnya tanggungjawab penulis
Tiap 9 Desember, masyarakat seluruh dunia peringati Hari Antikorupsi Internasional (HAKI) berdasarkan Resolusi PBB Nomor 58/4 tanggal 31 Oktober 2003. Momentum itu hendaknya menjadi refleksi untuk memperkuat sinergitas dalam melawan korupsi, baik secara internal (dalam negeri) maupun kolektif-eksternal (internasional). Bukan sekadar perayaan simbolis-repetitif yang kehilangan makna substantifnya.
Dalam tataran internal, korupsi hendaknya mendapat atensi serius seluruh elemen bangsa. Mengingat, hingga detik ini korupsi masih jadi virus akut bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Korupsi telah merayap dalam segala lini, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga auxiliary organ.
Begitupun dalam bingkai vertikal, baik di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, hingga pemerintahan desa pun tidak luput dari korupsi. Fenomena korupsi di Indonesia seakan menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968), bahwa perkembangan korupsi pada awalnya dimulai secara sporadis kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri.
Faktanya, di Indonesia awalnya korupsi juga bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama.
Fenomena korupsi masih tumbuh secara masif. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, sepanjang semester I 2020 (Januari hingga Juni 2020), terdapat 169 kasus korupsi di Indonesia yang disidik penegak hukum. Tersangka 372 orang dengan total kerugian negara mencapai Rp 18,1 triliun rupiah. Yang mencengangkan, 44 dari 169 kasus korupsi tersebut terjadi pada sektor anggaran dana desa. Hal ini menjadi sebuah realitas, bahwa korupsi kini telah menjamah hingga sekup negara terkecil, desa.
Selain itu, sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat 1008 perkara korupsi yang telah disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan jumlah terdakwa 1043 orang. Jumlah perkara dan terdakwa korupsi yang disidangkan pada semester I tahun 2020 meningkat dibanding 2019 lalu, yang hanya 497 perkara dengan terdakwa 504 orang.
Semakin masifnya praktik korupsi dewasa ini, hendaknya menjadi alarm bagi seluruh elemen bangsa untuk lebih peduli terhadap semangat antikorupsi dan pemberantasan korupsi. Ekses dari pada korupsi sendiri sangat luas dan merusak sendi-sendi fundamental kehidupan negara.
Korupsi bidang pendidikan misalnya, membuat anak-anak dan pemuda Indonesia tidak dapat menikmati fasilitas dan daya dukung pendidikan yang optimal. Korupsi di bidang kesehatan, membuat masyarakat tidak dapat menikmati fasilitas kesehatan yang layak. Korupsi di sektor infrastruktur, membuat infrastruktur menjadi rapuh dan secara tidak langsung bisa mengancam nyawa. Korupsi di bidang sosial ekonomi, membuat kemiskinan dan ketimpangan sosial semakin tinggi. Konkretnya, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus kita lawan dan perangi bersama.
Akar Penyebab Korupsi Secara Teoritik
Akar penyebab korupsi pada prinsipnya dapat ditelaah berdasarkan teori-teori ilmiah yang telah diakui dalam wacana akademis. Secara teoritik, banyak teori-teori yang dapat menelaah dan menjelaskan perihal sebab musabab terjadinya praktik korupsi. Berikut saya beberapa teori-teori yang menjelaskan perihal sebab-musabab terjadinya korupsi.
Pertama, teori GONE yang dipopulerkan oleh Jack Bologne. Menurut teori GONE, akar penyebab dari korupsi terbagi atas 4 elemen, yakni keserakahan (greed), kesempatan (oportuniy), kebutuhan (needs), dan minim pengungkapan (exposure).
Kedua, teori cost-benefit. Menurut teori ini korupsi akan terjadi manakala mafaat dari melakukan korupsi (benefit) lebih besar dari pada biaya/resikonya (cost). Konkretnya, apabila hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan jumlah korupsi yang telah dilakukan.
Ketiga, teori CDMA yang dipopulerkan oleh Robert Klitgaard. Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (Corruption Directionary + Monopoly – Accountability).
Keempat, teori fraud triangle yang dipopulerkan oleh Donald R Cressey. Menurut teori ini, korupsi terjadi akibat adanya kesempatan, motivasi, dan rasionaliasi. Ketiga factor tersebut memiliki hubungan respirokal yang sama derajatnya.
Kelima, teori willingness and oportunity to corrupt. Menurut teori ini, korupsi terjadi ketika terdapat kesempatan (kelemahan sistem pencegahan, lemahnya pengawasan, rendahnya awareness masyarakat) dan niat (didorong oleh kebutuhan atau keserakahan).
Mengingat dampak dan penyebab korupsi begitu luas, maka diperlukan sebuah semangat sinergitas dari seluruh elemen bangsa sesuai dengan peran dan porsinya masing- masing, untuk melawan praktik korupsi dan segala manifestasinya. Salah satu elemen penting yang harus mengambil peran dalam rangka perang melawan korupsi adalah para pemuda. Menurut saya, pemuda memiliki segala sumber daya (semangat, idealisme, determinasi, kooperatif) yang dapat dimobilisasi untuk memperkuat perang melawan korupsi.
Peran Pemuda dalam Melawan Korupsi
Secara retrospektif, pemuda Indonesia selalu mengambil peran penting dan krusial dalam perjalanan bangsa ini. Dimulai dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Peristiwa Rengasdengklok yang menentukan proklamasi kemerdekaan, Peristiwa Malari 1974, hingga peristiwa reformasi 1998, pemuda Indonesia selalu menjadi penentu dinamika sejarah bangsa.
Oleh sebab itu, values yang telah ditorehkan generasi pemuda pendahulu, hendaknya bisa direfleksikan oleh para pemuda Indonesia saat ini, untuk memperkuat soliditas dan relasi sosio-nasionalisme, guna melawan musuh aktual bangsa. Jika generasi pemuda dahulu memiliki lawan penjajahan dan otoritanisme, maka musuh aktual bagi generasi muda saat ini adalah korupsi. Pemuda memiliki beberapa peran penting yang bisa dijalankan dalam rangka perang melawan korupsi.
Pertama, agen anti korupsi. Pemuda identik dengan idealisme, semangat, keterbukaan, dan determinasi. Modal alamiah yang dimiliki oleh kaum pemuda ini hendaknya mampu diejawantahkan dalam sikap dan prinsip anti korupsi. Konkretnya, para pemuda harus bisa menjadi agen anti korupsi yang mampu menginternalisasi nilai dan menginfluence semangat anti korupsi dalam setiap tataran lingkungan di mana dia berada. Baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan, hingga lingkungan masyarakat.
Para kaum muda harus mampu menjadi suri tauladan bagi lingkungan dan relasinya dengan perbuatan maupun tindakan yang mencerminkan semangat antikorupsi. Di sekolah misalnya, para pemuda (siswa) hendaknya mampu berlaku jujur dan adil, contohnya dengan tidak mencontek ketika ujian.
Selain itu, para pemuda hendaknya juga mampu memanfaatkan platform media sosial yang dimilikinya untuk mempromosikan atau menyebarluaskan nilai- nilai positif antikorupsi. Sikap-sikap antikorupsi yang sederhana namun dilakukan secara repetitif dan masif tentunya akan memiliki ekses signifikan dalam rangka menekan praktik korupsi di kemudian hari.
Kedua, stabilitator anti korupsi. Pemuda harus mampu menjadi entitas yang konsisten dan responsif untuk melakukan perang melawan korupsi. Misalnya, melakukan demonstrasi secara masif terhadap kebijakan negara yang bernuansa koruptif. Demonstrasi melawan kebijakan negara yang koruptif sendiri merupakan wujud sustanaible values to fight corruption (semangat keberlanjutan melawan korupsi), sekaligus bentuk shock therapy bagi negara agar tidak melakukan praktik-praktik koruptif kembali di kemudian hari. Dengan adanya konsistensi dan responsibilitas dari pemuda dalam melawan korupsi, maka ruang sosial akan terkondisikan dan terinfluence untuk merawat semangat itu tetap menyala.
Ketiga, panglima perang anti korupsi. Dalam arti, pemuda harus mampu menjadi pihak yang berada di garda terdepan untuk melawan praktik-praktik korupsi yang terjadi.
Contoh konkretnya adalah,responsibilitas dan keberanian untuk melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang apabila terdapat praktik-praktik korupsi dilingkungannya.
Keberanian untuk melaporkan praktik korupsi merupakan salah satu sarana untuk menekan praktik korupsi, hal ini sejalan dengan teori GONE bahwa salah satu aspek penyebab korupsi adalah karena minimnya pengungkapan (exposure).
Keempat, advokasi anti korupsi. Para pemuda hendaknya membangun sebuah relasi dan jejaring yang luas baik dengan sesama kelompok pemuda maupun dengan akademisi hukum dan civil society. Misalnya, Lembaga Bantuan Hukum guna menunjang optimalisasi dan fungsionalisasi kerja-kerja advokasi anti korupsi. Advokasi anti korupsi adalah kegiatan untuk memberikan pendidikan, pemahaman, penghetahuan, wawasan, strategi, sekaligus membangun soliditas untuk mencegah dan melawan korupsi.
Masyarakat perlu mendapatkan advokasi anti korupsi mengingat masih banyaknya masyarakat yang belum memahami arti, sebab, bahaya, dan implikasi dari korupsi bagi dirinya, masyarakat, maupun secara luas bagi eksistensi kehidupan bangsa. Jika advokasi anti korupsi dapat tumbuh secara masif, maka kesadaran masyarakat terhadap sikap anti korupsi akan tumbuh secara luas, dan hal ini akan berimbas positif dan bermuara pada berkurangnya secara signifikan praktik-praktik korupsi.#