Pekanbaru, Rabu 21 Maret 2018—Gerakan Riau Anti Korupsi atau Grasi mendorong Mahkamah Agung (MA) melakukan reformasi menyeluruh terhadap hakim di lingkungan peradilan yang ada di bawahnya. Upaya ini untuk mewujudkan dunia peradilan yang bersih dari segala bentuk suap dan korupsi.
Salah satu bukti kegagalan MA dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah, tertangkap tangannya seorang hakim Pengadilan Negeri Tangerang atas nama Wahyu Widya Nurfitri bersama seorang panitera pengganti Tuti Atika. Keduanya ditangkap komisi anti rasuah karena, ketahuan menerima suap dari dua orang penasihat hukum bernama Agus Wiratno dan HM Saipudin.
Wahyu Widya Nurfitri dan Tuti Atika menerima suap senilai Rp 30 juta, supaya perkara perdata mengenai wan prestasi yang ia tangani diputus bebas.
Asal muasalnya, pada 8 Maret 2018, Wahyu Widya Nurfitri seharusnya membacakan putusan atas perkara yang ia tangani. Namun, karena uang yang diminta baru diterima Rp 7,5 juta dari total yang disepakati, ia menunda sidang tersebut dengan alasan sedang ada tugas di luar. Pembacaan putusan direncanakan kembali pada 13 Maret 2018.
Satu hari sebelum sidang putusan itulah, Wahyu Widya Nurfitri tertangkap tangan saat menerima Rp 22,5 juta, pukul 5 sore. Ia ditangkap di luar pengadilan sementara Tuti Atika ditangkap di Pengadilan Negeri Tangerang. Bersama mereka juga ditangkap dua penasihat hukum tadi. Esoknya, 4 dari 7 orang yang ditangkap ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.
Pengadilan Negeri Tangerang sebenarnya sudah lama jadi incaran KPK. Terlebih lagi, Wahyu Widya Nurfitri sudah sering dilaporkan oleh masyarakat. Ia adalah hakim ke 19 yang sudah ditangkap KPK sepanjang lima tahun terakhir. Sementara itu, Tuti Atika adalah, panitera pengganti ke 10 yang ditangkap KPK sepanjang tahun yang sama.
Padahal, hakim Pengadilan Negeri Tangerang tergolong hakim senior yang pendapatannya tidak kurang dari Rp 25 juta. Ini disampaikan langsung oleh Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Komisi Yudisial, dihadapan awak media, usai mengunjungi PN Tangerang.
“Itu bukti bahwa MA tidak serius membina dan setengah hati memberi sanksi pada hakim-hakimnya yang melanggar kode etik,” kata Fandi Rahman, anggota Grasi yang juga staf Walhi Riau.
Walhi Riau punya pengalaman melakukan gugatan praperadilan atas SP3 yang diterbitkan Polda Riau terhadap PT Riau Jaya Utama, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia dan PT Rimba Lazuardi yang diduga membakar hutan dan lahan. Sayangnya, semua gugatan mereka ditolak oleh majelis hakim. Fandi menilai, itu bukti hakim belum berpihak pada lingkungan dan para korban asap.
Bukti lainnya yang menunjukkan MA tidak serius mengawasi para hakim, berdasarkan data yang disampaikan Farid Wajdi, juru bicara Komisi Yudisial, lembaganya kerap tidak sejalan dengan MA ketika memberi sanksi. Hakim yang terbukti melanggar etik dan direkomendasikan untuk diberhentikan secara tidak hormat, justru hanya diberi sanksi non palu selama dua tahun oleh MA.
KY dan MA memang kerap melakukan pengawasan bersama-sama. Sepanjang 2009 hingga 2016, sudah 48 kali melaksanakan sidang majelis kehormatan hakim. Sebanyak 22 mengenai kasus suap.
Kekecewaan KY tidak hanya sampai di situ. Sebanyak 58 rekomendisinya terkait sanksi pada hakim yang melanggar etik hanya 20 persen yang dijalani oleh MA.
“Bagaimana penegakan hukum kita bersih kalau sanksi yang diberikan setengah hati dan pandang bulu?” kata Aditia Bagus Santoso, anggota Grasi yang juga Direktur LBH Pekanbaru.
Pada 2017, LBH Pekanbaru memuat laporan kinerja hakim PN Tipikor Pekanbaru dalam menangani perkara korupsi. Ada 99 perkara dengan 112 terdakwa yang ditangani sepanjang tahun tersebut. Hasilnya, 53 perkara dari 67 terdakwa telah divonis. Rata-rata menerima hukuman ringan di bawah 2 tahun sebanyak 60 terdakwa. Sisanya, divonis bebas.
Dari keseluruhan terdakwa yang divonis bebas, kebanyakan perkaranya dipimpin oleh ketua majelis hakim Rinaldi Triandoko. Salah satunya, perkara suap APBD Riau yang melibatkan Suparman, bekas Ketua DPRD Riau. Tapi, pada tingkat kasasi, akhirnya Suparman dinyatakan bersalah.
Jika melihat modus yang dipakai oleh Wahyu Widya Nurfitri, sebenarnya tidak asing terjadi pada saat hakim menangani perkara dipersidangan. Di Riau misalnya, terutama di Pengadilan Negeri Pelalawan, Februari lalu, majelis hakim juga menunda sidang putusan terdakwa PT Peputra Supra Jaya.
“Meski belum ada bukti suap atas perkara tersebut, tapi modelnya sama,” kata Ahlul Fadli, Koordinator Senarai.
PT Peputra Supra Jaya adalah perusahaan perkebunan yang memiliki lahan seluas lebih kurang 3 ribu hektar, di Desa Segati, Pangkalan Gondai dan Penarikan, Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan. Perusahaan ini jadi terdakwa karena hanya memilki izin 1.200 hektar dari luas tanam 3 ribu hektar lebih.
Lebih kurang 6 bulan persidangan berlangsung, pada 12 Februari sebenarnya majelis hakim harus membacakan putusan atas perkara tersebut. Namun, karena alasan ketua majelisnya sakit, sidang dilanjutkan kembali pada 15 Februari. Akhirnya, terdakwa PT Peputra Supra Jaya dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan.
Grasi mendorong agar MA memberhentikan secara tidak hormat seluruh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik. Sanksi berat diberikan sebagai upaya efek jera dan menciptakan budaya peradilan yang bersih.
MA dan KY tidak lagi berbeda pendapat dalam hal pemberian sanksi. KPK juga menindak hakim di pengadilan yang jauh dari publikasi media atau di kota-kota kecil.
DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim yang isinya, melibatkan KY dalam seleksi calon hakim tingkat pertama. Tujuannya, untuk melahirkan calon hakim yang berintegritas dan bersih dari korupsi.
Narahubung:
Ahlul Fadli, 0852 7129 0622
Fandi Rahman, 0852 7160 3790
Aditia Bagus Santoso, 0812 7774 1836