Pekanbaru, Kamis 27 Februari 2020—Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 2/2020 tentang, Tata Tertib Menghadiri Persidangan, tertanggal 7 Februari 2020. SE tersebut memuat 3 pokok pembahasan diantaranya, tentang tata tertib umum, tata tertib persidangan serta kewajiban pengadilan.
Pembahasan mengenai tata tertib umum terutama poin tiga tentang, pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus izin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dinilai akan menghambat proses pengawasan kinerja hakim. Ketua pengadilan akan menggunakan aturan ini untuk menutup proses peradilan yang semestinya terbuka untuk umum.
Menurut Peneliti Senarai Jeffri Sianturi, hakim akan semena-mena melanggar kode etik pedoman perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya. Lanjut Jeffri, bila masyarakat sipil atau pers dihambat melakukan pengawasan, itu akan menghilangkan bukti-bukti penting yang dapat dipakai untuk melaporkan hakim bermasalah. “Intinya, proses pengawasan kinerja hakim akan hilang bila ketua pengadilan melarang perilaku mereka diketahui publik.”
Pengalaman Senarai selama mengikuti peradilan korupsi dan lingkungan hidup di Riau, kegiatan merekam, mengambil video dan foto cukup memberitahu ke ketua pengadilan tanpa kalimat minta izin. Bila ada kewajiban seperti itu, ketua pengadilan bisa saja tidak memberi izin terutama untuk perkara yang jadi perhatian publik.
Padahal, persidangan itu bersifat terbuka untuk umum. Siapapun berhak untuk mengikuti dan mengetahuinya. Sebab itulah perlu pengambilan foto, rekaman dan video. Orang yang tidak sempat hadir dalam ruang sidang akhirnya dapat mengetahui proses perkara yang berlangsung lewat media sosial dan elektornik yang ditayangkan.
Sejak mengikuti perkara korupsi dan lingkungan hidup di pengadilan, Senarai mendapati masih ada hakim yang terkadang mengantuk selama pemeriksaan berlangsung bahkan menggunakan telepon selulernya saat di meja hijau. Di luar persidangan atau masih dalam lingkup pengadilan, Senarai beberapa kali juga melihat hakim bertemu pihak berperkara.
Kejadian itu juga pernah dilakukan oleh panitera. Misalnya, ketika Senarai mengikuti persidangan perkara pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di salah satu pengadilan di Riau, penasihat hukum terdakwa masuk dalam ruang panitera usai persidangan. Peristiwa itu berlangsung pada masa persidangan akan menghadapi putusan majelis hakim.
“Itu sebabnya, kita perlu mengawasi seluruh orang-orang yang hadir di pengadilan baik sebelum, sedang atau setelah persidangan selesai,” kata Jeffri. Bahkan, menurut Jeffri, pengawasan itu juga perlu dilakukan di luar persidangan sebab, transaksi atas suatu perkara dapat di lakukan di mana saja yang itu jauh dari pengawasan masyarakat.
Bagi Senarai, rekaman, foto maupun video juga penting untuk bukti ketika melaporkan majelis hakim yang melanggar kode etik sebagaimana pedoman perilaku hakim yang telah ditetapkan. Komisi Yudisial pun butuh bukti-bukti seperti ini untuk mengklarifikasi dan memeriksa hakim yang terlapor. Tanpa bukti ini, laporan masyarakat tidak akan ditanggapi.
Laporan seperti itu terbukti ampuh. Senarai pernah melaporkan majelis hakim yang menyidang perkara lingkungan hidup ke Komisi Yudisial. Laporan itu kemudian ditanggapi Mahkamah Agung dengan menghukum non palu enam bulan pada salah seorang hakim dan penundaan kenaikan gaji pada hakim lainnya.
“Kalau di persidangan di larang mengambil foto, rekaman dan video, bagaimana kita bisa memantau perilaku hakim? Jangan-jangan Mahkamah Agung hendak melanggengkan praktik mafia peradilan yang selama ini banyak terjadi dalam transaksi perkara,” jelas Jeffri.
Narahubung:
Suryadi—0852 7599 8923
Jeffri Sianturi—0853 6525 0049