Gugatan PTPN 5 vs Masyarakat Pantai Raja Kabar Pantau Siaran Pers

Tolak Gugatan PTPN V dan Kembalikan Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja

Pekanbaru, Selasa, 13 Juli 2021—Jikalahari dan Senarai mengusulkan Ketua Majelis Hakim Riska Widiana menolak gugatan PT Perkebunan Nusantara V. Lebih baik majelis berpihak pada masyarakat adat Pantai Raja, yang hampir 40 tahun kehilangan lahannya, sejak dirampas perusahaan negara tersebut atasnama program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) untuk membangun kebun sawit skala luas. “Negara hadir mestinya untuk sejahterakan masyarakat, bukan sebaliknya, memaksa kehendak apa lagi menindas dan merampas hak-hak masyarakat,” kata Koordintaor Umum Senarai Jeffri Sianturi.

Sekitar Agustus 2020, masyarakat adat Pantai Raja berbondong-bondong mengangkut peralatan rumah ke lahan inti PTPN V Kebun Sei Pagar. Mereka bangun tenda darurat dan tinggal di sana, selama hampir satu bulan. Masak, makan, ibadah hingga tidur mereka lakukan di kebun. Masyarakat juga sempat menahan mobil tangki minyak mentah keluar masuk kebun, bahkan melarang adanya pemanenan sawit di sekitar kebun inti yang diklaim.

Aksi masyarakat adalah imbas dari sikap direksi PTPN V yang tak kunjung mengembalikan lahan mereka yang telah dirampas. Termasuk respon atas ingkarnya PTPN V terhadap beberapa perjanjian yang pernah disepakati.

Menurut Gusdianto, perwakilan masyarakat, PTPN V haruslah bertanggungjawab atas sengketa lahan yang tak kunjung selesai tesebut. Hal itu dapat dibuktikan dari sejarah yang disampaikan oleh para saksi, sebagai pelaku utama yang masih hidup sampai saat ini.

Sekitar 1971, Pikno dan suami membuka hutan di Pantai Raja. Mereka tanam padi, ubi dan pisang. Selanjutnya diganti dengan pohon-pohon karet yang semakin hari kebunnya semakin luas. Selain Pikno, Rohani dan suaminya juga buka hutan buat kebun, dimulai sekitar 1975. Rata-rata, masyarakat adat Pantai Raja sudah berkebun sejak tahun 70-an. Sebelum tanam karet, mereka selalu memulainya dengan bertanam padi dan tanaman kehidupan lainnya.

Namun, memasuki tahun 80-an. Kehidupan masyarakat adat Pantai Raja mulai dirundung kecemasan bahkan pertikaian. Pasalnya, PTPN V membabat kebun karet masyarakat yang sedang menuai hasil, untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Luas yang diperintahkan negara 21 ribu hektar, namun PTPN V hanya sanggup menyelesaikan pekerjaannya sekitar 8 ribu hektar lebih.

Selanjutnya, sekitar 6 ribu hektar kebun sawit yang sudah terbangun dibagi-bagi ke masyarakat transmigrasi dan masyarakat asli sekitar yang bersedia bergabung dengan program pemerintah. Sisanya, diperuntukkan bagi PTPN V sebagai kebun inti. “Padahal, lahan-lahan yang dibagikan termasuk yang dikelola PTPN V di dalamnya terdapat lahan masyarakat adat Pantai Raja yang dirampas sedari awal,” kata Gusdianto, juga kuasa hukum masyarakat.

Sampai saat ini, sebagian masyarakat termasuk ahli warisnya masih terus menuntut PTPN V mengembalikan lahan tersebut, meski hanya ratusan hektar dari ribuan yang dicaplok. Bukti-bukti perampasan lahan oleh PTPN V juga ditinjau langsung oleh majelis saat sidang setempat. Waktu itu, majelis melihat sisa-sisa tegakan pohon karet milik almarhum Marso, salah seorang masyarakat yang berjuang sejak awal melawan PTPN V.

Selama bersengketa, PTPN V pertama kali akhirnya mengakui keberadaan lahan masyarakat yang mereka rampas secara paksa. Tepat pada 6 April 1999, Dikretur Produki SN Situmorang akhirnya menyatakan, bahwa dalam lahan inti mereka terdapat 150 hektar lahan karet masyarakat adat Pantai Raja. Sayangnya, pengakuan ini tidak pernah direalisasikan oleh PTPN V, meski masyarakat terus menerus menuntut pengembalin lahan tersebut.

Selanjutnya, setelah berbagai upaya mediasi dan laporan tertulis yang dilayangkan ke sejumlah instansi pemerintah daerah maupun pusat, akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun langsung menengahi konflik lahan yang sudah berpuluh tahun ini. Pada 11 April 2019, tercapai lagi kesepakatan baru. PTPN V diperintahkan membangun kebun sawit untuk masyarakat seluas 400 hektar dengan pola KKPA. Sumber lahannya berasal dari 150 hektar yang pernah diakui sebelumnya, ditambah 250 hektar lahan baru yang harus dicari bersama-sama oleh kedua belah pihak dalam jangka sembilan bulan.

Sayangnya, sampai tenggat waktu berakhir, perjanjian itu lagi-lagi tak menjadi berarti. Tak ada wujud pengembalian lahan dari PTPN V pada masyarakat. Sementara, upaya masyarakat untuk meminta kejelasan kembali juga tak pernah digubris oleh perusahaan. Akhirnya masyarakat memutuskan melakukan pendudukan lahan inti PTPN V pada Agustus 2020.

“Bukannya mencari solusi terbaik bagi masyarakat, PTPN V justru menggugat kami, 14 perwakilan masyarakat yang dianggap sebagai provokator ke Polda Riau dan digugat di PN Bangkinang,” kata Gusdianto.

Catatan Jikalahari, temuan Pansus monitoring evaluasi perizinan DPRD Riau 2015 menemukan PTPN V menanam sawit secara illegal dalam kawasan hutan dan di luar HGU) seluas 60.665 Ha. Diduga ada ketidakwajaran yang menimbulkan kerugian Negara. Total potensi pajak P3 yang tidak dibayarkan (PPn, PPh, dan PBB) kurang lebih Rp 1 T tiap tahunnya. DPRD menyerahkan temuan pelanggaran PTPN V bersama 32 perusahaan perkebunan kelapa sawit kepada Koalisi Rakyat Riau (KRR).

KRR melaporkan dugaan 33 korporasi dengan dugaan tindak pidana penggunaan kawasan hutan dan lahan secara illegal ke Direskrimsus Polda Riau. Pada 26 Juli 2017, Polda Riau Tetapkan PT Hutahean tersangka perambahan hutan dan Penyelidikan atas PTPN V. Pada 25 September 2017, status PTPN V naik penyidikan.

“Polda Riau mestinya segera tetapkan PTPN V sebagai tersangka, bukan malah menuruti kemauan PTPN V dan mengkriminalisasi masyarakat adat,” kata Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo.

“Apa yang dilakukan Direktur PTPN V, jelas melanggar nawacita pemerintahan presiden Jokowi yang hendak mewujudkan negara hadir untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat. PTPN V justru menggunakan uang negara untuk menggugat masyarakat sebesar Rp 14,5 M dan melaporkan warga negara ke pengak hukum,” kata Okto.

Rekomendasi kepada majelis Hakim:

  1. Menyatakan gugatan PTPN V tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaar/NO).
  2. Memerintahkan Bupati Kampar dan Gubernur Riau: segera memfasilitasi penyelesaian konflik masyarakat Pantai Raja dengan PTPN V, memetakan kembali tanah ulayat Masyarakat adat Patai Raja di dalam HGU PTPN V, dan mendistribusikan ke masyarakat sebagai tanah objek reforma agraria (TORA).

Narahubung:

Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari—0812 6111 6340

Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai—0853 6525 0049

About the author

Jeffri Sianturi

Sejak 2012 bergabung di Bahana Mahasiswa. Menyukai Jurnalistik setelah bertungkus lumus mencari ilmu di lembaga pers mahasiswa ini. Menurutnya, ia telah 'terjebak di jalan yang benar' dan ingin terus berada di jalur sembari belajar menulis memahami isu lingkungan, korupsi, hukum politik, sosial dan ekonomi.
Siap 'makan' semua isu ini, ayo bumikan minum kopi.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube