Pengadilan Tipikor Pekanbaru, 22 Juni 2022—Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menghadirkan sejumlah saksi, untuk membuktikan fakta korupsi perpanjangan RAPBD P 2014 dan RAPBD 2015 Provinsi Riau.
Para saksi tersebut antara lain, mantan Kepala Pelaksana BPBD Riau, Said Saqlul Amri; Kepala Biro Administrasi Perlengkapan Setda Riau, Ayub Khan; Kepala Bagian Aset Setda Riau, Indriyadi; Kepala Bagian Pengadaan dan Penyimpanan Barang Setda Riau, Ahmad Fadillah serta Staf Perlengkapan Setwan DPRD Riau, Emrizal.
Penuntut umum, kembali menggali fakta sumber uang yang dikumpulkan Annas buat menyuap anggota DPRD Riau 2009-2014. Setelah saksi sebelumnya—Syahril Abubakar dan Jonly—mengakui ikut mengumpulkan uang yang diminta Annas, Said juga membenarkan hal tersebut.
Pagi, 1 September 2014, saat hendak menuju kantornya di Jalan Sudirman, ajudan atau protokoler Annas—Said lupa namanya—menelponnya untuk datang ke rumah dinas Gubernur Riau. Said baru meluncur ke Jalan Diponegoro, tengah hari.
Di sana, Annas sudah menunggu bersama Kasubbag Anggaran Setda Riau, Suwarno dan Sekretaris Daerah Zaini Ismail. Ada juga beberapa Kepala Dinas dan Asisten II Wan Amir Firdaus. Kata Said, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) itu baru saja membahas rencana pengesahan anggaran.
Cerita Said, saat itu, Annas hendak meminjam uang dari anggaran BPBD Riau.
“Saya tengok dulu, Pak Gub. Saya tidak tahu sisanya,” kata Said.
Said langsung menghubungi Bendaharanya, Raja Eka Putra. Ternyata ada sisa anggaran penanggulangan kebakaran hutan dan lahan sebesar Rp 1,5 miliar. Siang itu, Said langsung memerintahkan Eka mencairkan Rp 500 juta di Bank Riau Kepri.
Kata Said, anggaran karhutla yang tergolong dana tak terduga paling mudah dan cepat dicairkan. Bahkan pada hari Minggu atau di luar jam kerjapun bisa dikeluarkan dari rekening instansinya. Waktu itu, memang lagi musim asap.
Setelah mengambil uang, sekitar pukul 3 sore, Said dan Eka membawanya ke Kantor Gubernur Riau. Tiba di lokasi, masih di dalam kendaraan, Said menghubungi Suwarno. Rencananya uang tersebut hendak diserahkan, tapi Suwarno menolaknya karena belum dimasukkan dalam amplop.
Said kemudian menelpon Wan Amir Firdaus dan diperintahkan untuk membawa uang tersebut ke rumah dinas gubernur. Dalam percakapan itu, Said menyebut uang yang dibawanya dengan kata ‘kue apem’. Keduanya juga akrab karena menyapa dengan sebutan, kanda-dinda.
Sebelum itu, Said meminta Eka dan sopirnya membeli amplop di kedai sekitaran belakang kantor gubernur. Mereka kemudian memasukkan uang tersebut dengan pecahan Rp 10 juta sampai Rp 40 juta.
“Waktu dipanggil di kediaman dinas gubernur, Pak Annas sudah kasih catatan jumlah uang yang harus dimasukkan dalam amplop,” ungkap Said.
Cerita Said juga dibenarkan Eka, saat diperiksa, minggu sebelumnya.
Said menyebut, uang itu telah dikembalikan Annas. Hanya saja tidak sesuai dengan besaran yang dipinjam. Annas menyerahkan kembali Rp 300 juta dan Zaini menambah Rp 100 juta. “Info dari Wan Amir memang hanya Rp 400 juta.”
Uang itu sempat beberapa hari di tangan Said, sampai akhirnya ditalangi Rp 100 juta lagi dengan uang pribadinya. “Saya tidak mau kembalikan ke rekening BPBD kalau masih kurang. Nanti saya dituduh menilap Rp 100 juta lagi sama anak buah saya.”
Cerita pengembalian ini berbeda dengan kesaksian Zaini, minggu lalu. Zaini, bilang Wan Amir pernah meminjam uang padanya Rp 200 juta untuk gantikan uang Said. Hanya saja, Zaini hanya mampu menyediakan Rp 110 juta. Sisanya diminta ke Ayub Khan untuk mencukupinya.
Sementara, Ayub Khan, bilang hanya bisa menambah Rp 50 juta lagi. Itupun dari uang insentif atau tunjangan kinerjanya dan istri, selama tiga bulan. Jika dijumlah uang dari Zaini dan Ayub, maka totalnya Rp 160 juta. Sementara Wan Amir hanya menyerahkan Rp 100 juta ke Said.
***
Suap ke anggota DPRD Riau sebesar Rp 1.010.000.000, baru satu dari cara Annas meminta anggota dewan mengesahkan anggaran perubahan dan rencana anggaran satu tahun ke depan.
Di balik itu, Annas punya keinginan untuk merombak Dinas Pekerjaan Umum menjadi Dinas Cipta Karya dan Dinas Bina Marga. Kemudian, hendak mengalihkan anggaran pembangunan rumah layak huni dari Dinas Pekerjaan Umum ke Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa.
Agar kemauannya disetujui, Annas pun memenuhi permintaan anggota DPRD Riau untuk memperpanjangan pinjam pakai kendaraan dinas, setelah masa jabatan mereka berakhir pada 6 September 2014.
Emrizal, mengakui diperintah atasannya—dia lupa nama kasubbag dan kabag waktu itu—membuat permohonan pada 21 Juli 2014. Dia tak ingat lagi balasan surat dari pemerintah daerah setelah mengantarkan surta itu ke biro umum Setda Riau.
Selain hendak memakai lebih lama lagi kendaraan, dalam surat itu, anggota DPRD Riau 2009-2014, juga berharap memiliki kendaraan tersebut ketika dilelang nantinya.
Menurut Ayub Khan, proses itu tidak dibenarkan. Merujuk Permendagri 17/2007, katanya, hanya pegawai negeri sipil yang diperbolehkan mengikuti lelang kendaraan dinas. Sementara anggota DPRD Riau tidak tergolong dalam status tersebut.
Ayub belum menduduki posisinya, ketika surat permohonan anggota DPRD Riau itu masuk ke sekretariat daerah. Tapi, dia sudah membaca surat yang telah didisposisi Annas tersebut. Ayub menolak menindaklanjutinya.
“Prosesnya tidak seperti itu,” kata Ayub, menceritakan keberatannya ke Zaini, atasannya, kala itu. Katanya, mobil harus dikembalikan terlebih dahulu, baru dilaksanakan lelang. Dengan kata lain, tidak ada istilah perpanjangan pinjam pakai.
Ayub, bilang T Rusli Ahmad, Wakil Ketua DPRD Riau, pernah langsung menemuinya bawa surat serupa, tapi atasnama pribadi. Surat itu juga sudah dibubuhi keterangan disposisi Annas. Dia, kembali menolak permintaan itu. “Sesuai prosedur saja,” katanya, waktu itu.
Memang benar. Setelah 6 September 2014, anggota dewan yang selesai masa jabatan atau tidak terpilih lagi, membandel. Indriyadi bilang, sekretariat daerah sampai layangkan himbauan ke sekretariat dewan, agar menarik kendaraan dinas dari anggota DPRD Riau tersebut.
“Ada kendala kecil saat penarikan kendaraan dinas. Kami sudah beri himbauan beberapa kali,” ungkap Indriyadi.
“Memang ada kendala. Harusnya 6 September 2014 dikembalikan. Anggota dewan ada yang pulang kampung,” tambah Emrizal. Sebelum tanggal pengembalian, katanya, dia juga sudah keluarkan himbauan agar anggota dewan kembalikan kendaraan maupun perlengkapan dinas lainnya.
Sampai batas waktu pengembalian, kata Emrizal, ada 27 anggota dewan yang sempat mangkir. Antara lain, T Rusli Ahmad; Rusli Effendi; Edy A Mohd Yatim; Ramli FE; Sayed Abubakar A; Syamsuri Latif dan Zainal Abidin.
Kemudian, Ramli Sanur; Hikmani; Gumpita; Zulkarnain Noerdin; Arifin Bantu Purba; Eddy Marioza; Asrul Jaafar; Tony Hidayat; Robin P Hutagalung; Ilyas Labai; Solihin Dahlan; Aziz Zaenal; Tabrani Maamun dan Koko Iskandar.
Selanjutnya, Indra Isnaini; Mahdinur; Rosvanilda Zulher; Iwa Sirwani Bibra; Elly Suryani serta Johar Firdaus.
Kebanyakan mobil itu dikembalikan melalui orang lain, bukan oleh anggota dewan bersangkutan. Ada pula yang dijemput di rumahnya langsung. Beberapa kendaraan ada pula yang rusak.
Kata Ahmad Fadillah, anggota dewan beralasan kendaraan sedang dipakai orang lain bahkan membawa nama Gubernur Annas, karena telah dapat persetujuan memakai mobil lebih dari waktunya.
Di ujung pemeriksaan saksi, Annas membantah. “Itu anggota dewan seenak hatinya saja ngomong yang mulia.”
Sidang ini dilanjutkan kembali, Rabu 29 Juni 2022.#Suryadi M Nur