Pekanbaru, Kamis 12 September 2019—Koalisi Masyarakat Sipil Riau Selamatkan KPK berunjuk rasa depan kantor DPRD Riau, menyoal hasil pemilihan pimpinan KPK dan pembahasan RUU KPK. Massa aksi menuntut anggota dewan menolak dua hal itu dan mendorong kerja KPK untuk perbaikan tata kelola sumber daya alam di Riau.
Koordinator Aksi Yusriyal, menyampaikan, RUU KPK tidak penting dibahas saat ini apalagi jelang masa jabatan DPR RI berakhir. Ia terlalu dipaksakan dan sangat politis. Terkesan hendak melemahkan komisi antirasuah. “Masyarakat Riau masih percaya KPK yang berani menangkap 3 gubernur, sejumlah bupati dan kepala dinas di Riau.
Lebih kurang satu jam orasi, massa aksi ditemui sejumlah anggota DPRD Riau 2019-2024, diantaranya: Sukarmis, Zukri Misran, Sardiono dan beberao anggota lainnya. Massa aksi minta anggota dewan yang baru dialantik itu menandatangani komitmen antikorupsi: menolak Pimpinan KPK bermasalah dan RUU KPK.
Permintaan itu ditolak langsung. Mereka hendak bahas terlebih dahulu bersama anggota dewan lainnya. Sukarmis dan rekan-rekannya kemudian meninggalkan lokasi setelah didesak berulangkali. “Kalian itu dari masyarakat sedangkan kami dari legislatif. Kita jelas berbeda,” ucap Sukarmis seraya pergi.
“Sebenarnya, kami ingin anggota dewan beri pesan ke Presiden untuk mendengar aspirasi masyarakat Riau,” ucap Yusriyal, menanggapi sikap Sukarmis dan rekan-rekannya.
Meski tak didukung anggota legislatif di Riau, massa aksi akan mengirim surat pernyataan sikap menolak Pimpinan KPK bermasalah dan RUU KPK itu ke Presiden Joko Widodo.
Massa aksi menilai, proses seleksi Calon Pimpinan KPK sudah cacat sejak awal. Tim Pansel tidak mempertimbangkan hasil temuan masyarakat terhadap calon yang bermasalah, diantaranya: tidak patuh melapor harta kekayaan, melanggar kode etik, menerima gratifikasi, terlibat konflik kepentingan dan hendak melemahkan pemberantasan korupsi.
Belum selesai ribut seleksi Capim KPK, DPR kembali mengusulkan pembahasan RUU KPK. Pasal-pasal yang ada dalam usulan RUU KPK justru akan semakin melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Misalnya: KPK tidak lagi lembaga independen dan berada di bawah pemerintahan pusat, status pegawai KPK akan jadi ASN, dibentuknya dewan pengawas, KPK tidak punya kewenangan merekrut penyelidik dan penyidik lagi dan KPK harus minta izin ke Dewan Pengawas melakukan penyadapan.
Selain itu, KPK juga harus koordinasi ke Kejaksaan Agung untuk melakukan penuntutan, KPK tidak punya kewenangan mengelola LHKPN lagi, kasus korupsi yang jadi perhatian masyarakat tidak lagi jadi prioritas dan KPK akan menghentikan perkara apabila tidak selesai melakukan penyidikan dalam satu tahun.
“DPR menyasar pasal-pasal yang jadi kekuatan KPK selama ini,” tutup Yusriyal.
Dilaporkan oleh: Jeffri Senarai
Editor: Suryadi