Oleh Robbi Sunarto
Di tengah belantara yang kian sempit karena semakin meluasnya penjajahan akasia dan sawit. Di tempat itu, binatangnya sudah sangat sulit ditemukan, karena dibunuh, terusir kelaparan dan mati di rumahnya sendiri.
Di sudut belantara tadi, ada seekor induk Harimau yang sedang gembira karena telah mendapatkan mangsa. Sang Induk berfikir, mangsa yang didapat itu bukan hanya dapat mengganjal perutnya, melainkan juga dapat memberi makan perut anak-anaknya yang sekian lama kosong.
Penuh semangat, Harimau itu memasang langkah seribu. Ia terbayang kegembiraan anaknya saat melihat ia pulang dengan sesuatu yang sudah lama mereka tunggu.
Malang tak dapat ditolak, saat ia sampai, sang anak hilang entah kemana. Mangsa yang ada di gerahamnya terjatuh dan tergeletak di tanah. Rasa lapar yang menyiksanya sedari tadi ikut lenyap seiring dengan menghilangnya si anak. Kini ia sibuk mengaum untuk memanggil. Berlari kesana kemari terus mencari, namun diantara auman tersebut, tak ada sahutan tanda buah hatinya merespon.
Dengan semangat yang kendur dan tubuh yang tampak lelah itu, sang induk Harimau pulang ke tempat anaknya yang hilang.
Mangsa yang ia tinggalkan tadi masih utuh, jumlah Harimau kini sudah begitu sedikit. Hingga tak ada Harimau lain yang akan mengambil. Kehilangan anak membuat selera makannya hilang, ia pun tertidur pulas dengan perut yang kosong.
Sesaat kemudian, fajar membangunkannya. Ia memakan mangsa tadi guna mengisi tenaga yang akan membantunya mencari sang anak. Setelah tenaga si induk pulih dan kelihaiannya normal, ia langsung tau kemana si anak hilang serta siapa yang dengan tega menculik buah hatinya tersebut.
Sejenak kemudian, ia tiba di lokasi yang ia yakini sebagai tempat manusia yang telah menculik anaknya. Sang induk mengamati situasi sambil mengeluarkan suara yang dipahami. Setelah sekian lama, namun tak pernah ada tanda-tanda keberadaan anaknya. Kemudian ia pun mengetahui bahwa anaknya telah mati ditangan manusia yang menculiknya. Air mata tak dapat dibendung, mengalir deras dimatanya.
Selepas kesedihannya, muncullah dendam. Tiba-tiba saja, mata induk berubah merah, giginya saling beradu, cakarnya dengan kuat menghantam tanah dibawahnya begitu dalam. Sang Harimau ingin membalas kematian, ia segera bergegas, berlari dan menghampiri orang-orang tak beradap tersebut.
Lingkaran setan dendam itu akhirnya terus berputar ketika manusia yang kemudian menjadi pihak yang menuntut balas atas kematian dari jenisnya akibat perbuatan induk Harimau itu. Begitu seterusnya berputar sampai akhirnya sang raja rimba itu harus menerima kalah dan punah di berbagai wilayah seperti kepunahannya di Bali, Sunda, Jawa, Kaspia, dan berbagai tempat lainnya di dunia, serta tentu saja di hutan Sumatera khususnya di Riau yang juga sedang menanti saat-saat kekalahan dan kepunahannya.
Kini, hubungan manusia dan hewan tak lagi harmonis. Manusia tak lagi menganggap hutan itu sebagai ibu atau perpanjangan kasih Tuhan. Manusia tak lagi menganggap bahwa jika hutan mati dan binasa, maka mereka akan mati dan binasa juga.
Padahal dulu, hubungan yang mesra antara manusia dan hutan berlangsung harmonis dan lama sebelum bangsa Eropa datang membawa paham yang sungguh mereka agungkan sebagai tanda kemajuan.
Bangsa yang merasa sebagai orang beradap di dunia tesebut datang dan hutan tak lagi mardeka. Mereka menjajahi hutan-hutan di timur, membunuh hewan yang ada didalamnya. Menjadikan hutan sebagai wilayah perkebunan.
Eropa dahulu adalah negara yang miskin, kini mereka kaya –kekayaannya bersumber dari hasil perampokan terhadap orang timur, utara dan selatan.
Sebenarnya, dasar mereka menyebut dirinya beradap adalah pengetahuan. Orang-orang itu, meresapi betul adagium Inggris yang bersumber dari Francis Bacon, ‘Knowledge Is Power’ atau pengetahuan adalah kuasa. Mereka begitu takut jika hidup dalam kungkungan kegelapan, ketidakpastian, ketidakjelasan, yang disimbolkan sebagai wujud gambaran dari rumah-rumah ibadah dari agama yang mereka anut dulu.
Karena pengalaman traumatis itu, membuat bangsa ini menjadi gentar untuk memberi kesempatan kedua kepada agama. Mereka menghancurkan kepercayaan-kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Timur. Kepercayaan yang dalam waktu sangat lama berhasil membuat hutan dan binatang hidup berdampingan dengan manusia dalam damai.
Namun dalam sekejab saja, diruntuhkan oleh bangsa Eropa. Pengetahuan yang mereka banggakan dalam kenyataannya tidak seterhormat demikian. Di tangan mereka, ia justru tampak sebagai alat yang destruktif, digunakan untuk menghancurkan.
Seperti yang dijelaskan oleh Marvin Haris dalam bukunya, “Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir,” yang dengan sudut pandang materialisme kebudayaan menganggap bahwa kepercayaan-kepercayaan masyarakat timur–termasuk kepercayaan tidak mau atau takut merusak hutan. Adalah sebuah strategi beradaptasi di tengah ruang, waktu, ide dan segala sesuatu yang ada didalamnya. Terkhusus adaptasi dari segi ekonomi.
Lalu, apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa pengetahuan yang sering kita dengar sebagai entitas yang memiliki tendensi positif, justru tampak sebagai entitas yang sangat mengerikan dan kejam?
Sebenarnya, ini adalah bentuk dari kegagalan Eropa memahami struktur kebenaran.
Struktur kebenaran ada tiga, logis, etis dan estetis. Namun, kebenaran yang dimaksud dalam knowledge is power yang dipraktekkan bangsa Eropa adalah yang paling rendah.
Semestinya Eropa tidak berhenti pada logis, jika memang mereka mendewakannya. Tapi nyatanya kebenaran yang menurut mereka berharga adalah kebenaran yang paling besar memberikan kepuasan material (kebenaran pragmatis).
Tidak cukup dengan merusak timur dengan tangan mereka sendiri, timur juga dirusak dengan warisan kehendak, mereka mewariskan anak-anak disini fikiran yang merusak. Seperti saat ini ketika Riau yang sudah merdeka dari penjajahan Eropa, tapi belum mampu merdeka dari penjajahan asap selama puluhan tahun, yang disebabkan oleh tangannya sendiri.
Adakalanya murid lebih mengerikan daripada guru, seperti adagium Melayu yang berkata: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka tidak heran jika orang timur sampai tega membakar hutan yang membuat orang-orang sebangsanya hidup menghirup asap yang beracun dari tahun ke tahun. Tidak sekadar membuat mata perih, racun yang mengendap dalam tubuh, membikin anak-anak harus meregang nyawa sebab asap.
Kini, sang induk Harimau, bukan lagi hanya takut pada lingkaran setan dendam. Namun juga turut takut pada kebakaran hutan ulah manusia. Jika hutan dibakar, sumber makanan dan tempat tinggalnya akan musnah. Seiring dan menyusul akan kepunahan mereka juga.
- Baca Balada Harimau Bali yang ditulis Mochtar Lubis Sewaktu ia dipenjara di Kamp Nirbaya pada tahun 1975.
- Baca juga Lagu Harimau Jawa yang ditulis Mochtar Lubis di tempat yang sama dan kemudian dinyanyikan oleh Trio Bimbo. Penulis membacanya di buku yang berjudul “Mochtar Lubis Wartawan Jihad” dan disunting oleh Atmakusumah serta ditebitkan penerbit harian kompas pada tahun 1992.
Mereka dalam tulisan ini tentu tidak bermakna seluruh bangsa Eropa. Karena sama dengan bangsa-bangsa lainnya juga memiliki sebagian orang baik dan sebagian orang jahat. Mereka yang dimaksud ini adalah mereka yang narsistik sehingga melihat manusia dari kulitnya bukan dari isinya. - Adagium yang penulis temukan dalam buku pintar sejarah filsafat barat, bab Francis Bacon, karangan Masykur Arif Rahman, penerbit IRCISSOD
- Penulis mengenal Marvin Haris saat mengikuti bedah dan diskusi buku Marvin Haris yang berjudul “Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir” yang dibedah Dr. Ahmad Hidir dan ditaja Senarai, di Kopi J di jalan kamboja kantor JIKALAHARI pada tanggal 3 Agustus 2019