Pekanbaru, Senin 20 April 2020—Jikalahari dan Senarai mendukung Pledooi penasehat hukum terdakwa Alwi Omri Harahap terkait PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) “dikorbankan” menjadi terdakwa pembakaran hutan dan lahan.
“Ibarat kata orang bijak, orang makan nangka kita kena getahnya atau dengan istilah lain dikorbankan untuk menghentikan gejolak publik atas peristiwa kabut asap yang meresahkan Republik Indonesia sekitar bulan Juli sampai September 2019 yang lalu dan perkara yang dipolitisir oleh pemerintah sebagai ajang pencitraan politis di mana kasus kebakarannya telah dingin, namun suhu politiknya masih panas,” kata Makhfuzat Zein, Penasehat Hukum terdakwa Alwi Omari Harahap, saat membacakan Pledooi di PN Pelalawan pada 14 April 2020.
Hasil analisis hotspot Jikalahari melalui satelit Terra-Aqua Modis Januari – Desember 2019 ditemukan hotspot dengan confidance diatas 70 persen ada 3.582 titik dan 1.277 titik hotspot berada di korporasi HTI dan sawit. Perusahaannya adalah; PT Sumatera Riang Lestari 269 titik, PT Sari Hijau Mutiara 95 titik, PT Rimba Rokan Lestari 74 titik, PT RAPP 68 titik, PT Bukit Raya Pelalawan 63 titik, PT Triomas FDI 47 titik, PT Perkasa Baru 47 titik, PT Arara Abadi 48 titik, PT Rimba Rokan Perkaasa 52 titik, PT Satria Perkasa Agung 45 titk, PT Bina Daya Bintara 31 titik, PT Ruas Utama Jaya 25 titk dan PT Sekato Pratama Makmur 9 titik.
Selain melakukan analisis hotspot, Jikalahari melakukan investigasi sepanjang 2019 untuk mendapatkan fakta lapangan yang terjadi. Hasilnya ditemukan kebakaran terjadi diwilayah korporasi hutan tanaman industri dan korporasi sawit. Perusahaannya adalah: PT Sumatera Riang Lestari, PT Rimba Rokan Lestari, PT Satria Perkasa Agung, PT Riau Andalan Pulp & Paper dan PT Surya Dumai Agrindo.
Jikalahari juga melakukan investigasi di 10 korporasi yang disegel oleh Gakkum KLHK sepanjang 2019. Perusahannya adalah PT Adei Plantation dan Industry, PT RAPP, PT Gandaerah Hendana, PT Teso Indah, PT Gelora Sawit Nusantara, PT Sumatera Riang Lestari, PT Musimas, PT Tabung Haji Indo Plantation, PT Teguh Karsa Wana Lestari dan PT Arara Abadi. Hasilnya, kebakaran memang terjadi di dalam konsesi perusahaan, berada pada wilayah gambut, lokasi yang terbakar merupakan tanaman tidak produktif, berada di lahan konflik dengan masyarakat dan dugaan sengaja membakar untuk menanam sawit.
“Tapi mengapa Polda Riau hanya menetapkan PT SSS dan TI sebagai tersangka karhutla?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. “Ini bentuk ketidakadilan yang dilakukan Polda Riau, memilih-milih kasus demi kepentingan tertentu, dan mengabaikan prinsip hukum bahwa semua sama didepan hukum.”
Majelis hakim perlu memberikan keadilan pada PT SSS, “berupa dalam pertimbangan majelis hakim mendesak penegak hukum untuk mempidanakan korporasi-korporasi yang terbakar pada 2019,” kata Jefri Sianturi, peneliti Senarai.
Namun, lanjut Jefri, terdakwa Alwi Omar Harahap dan PT SSS harus dihukum berat berupa 10 tahun penjara, Denda Rp 55 Miliar dan mencabut izin PT SSS karena,” PT SSS bukan lalai, tapi sengaja membiarkan lahannya terbakar pada 2019.”
Jelang putusan majelis hakim pada 21 April 2020 di PN Pelalawan, Jikalahari dan Senarai meluncurkan Brief berjudul “Bukan Lalai, PT Sumber Sawit Sejahtera Membiarkan Lahannya Terbakar”.Brief PT SSS (klik untuk melihat Brief)
Ada tujuh alasan berdasarkan pantauan selama persidangan termasuk sidang lapangan dan investigasi langsung di areal PT SSS yang terbakar:
Pertama, areal Terbakar Masuk dalam Peta Rawan Kebakaran. Kedua, Tanaman Sawit Produktif Tidak Terbakar. Ketiga, Minimnya Sarana dan Prasarana. Keempat, Masuk dalam Restorasi Badan Restorasi Gambut. Kelima, Regu Pemadam Tidak Terlatih. Keenam, Sesak Napas Saat Padamkan Api. Ketujuh, Merugikan Ekonomi dan Ekologis.
“Perusahaan seperti menginginkan lahannya terbakar. Mereka membentuk Tim Satgas Karhutla yang diketuai langsung oleh Alwi, namun tidak patroli. Buktinya, ketika seorang penjaga pos kebun melihat kepulan asap dari jauh, seorang asisten pemetaan harus menerbang drone untuk mencari titik kebakaran. Padahal, saat itu ada penjaga menara api di atas namun tidak dapat mengetahui lokasi terbakar,” kata Jefri.
Perusahaan sadar areal yang terbakar sebelumnya telah terdata dalam peta rawan kebakaran. Namun perusahaan tidak menempatkan regu untuk berjaga di sana. Peralatan pemadam kebakaran tidak disediakan di sana. Menara pantau api jauh dari blok yang rawan terbakar. Perusahaan sengaja mengabaikan kewajibannya karena, blok yang terbakar belum produktif.
Pada saat sidang lapangan terbukti, majelis hakim dan para pihak—jaksa maupun terdakwa dan penasihat hukumnya—tidak dapat mencapai lokasi karena tidak ada akses menuju blok-blok yang terbakar tersebut. Padahal, perusahaan diberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) 5.604 hekar tapi tidak menjaga areal dengan sepenuhnya. Kesulitan menempuh lokasi terbakar juga dialami regu pemadam kebakaran kala itu. Mereka kerepotan mengangkut peralatan terutama alat berat karena tidak ada akses ke lokasi.
Lahan PT SSS terbakar di Blok I 43, 42, 41, 40, 39, 38, 37, 36, 35, 34 dan 33. Blok J 40, 33 dan 32. Blok K 40 dan 39. Kemudian Blok L 41, 40, 39 dan 38. Kebakaran terjadi pada dua hamparan. Pertama 87,3 hektar dan kedua 67,9 hektar. Luas keseluruhan 155, 2 hektar.
Blok I 43, 42 dan 41, Blok J 40, Blok K 40 dan 39 serta Blok L 41 telah dibuka dan ditumpuk dengan bekas tebangan tapi tidak dibuat parit kanal dan sumber air. Kebakaran pada blok ini bersempadan dengan blok-blok yang telah ditanami sawit. Pada 2016 hingga 2018, blok-blok yang telah ditanami sawit itu juga pernah terbakar dan ditanami sawit kembali oleh perusahaan. Direktur Utama Eben Ezer Djadiman Haloman Lingga menyadari, tiap tahun atau sejak 2013 lahannya sering terbakar.
Lebih rincinya seperti keterangan Asep, Asisten Pengukuran dan Pemetaan PT SSS.
Dia paham dan mengetahui aktifitas tiap blok perusahaan. Dia buat peta rawan kebakaran sejak 2015. Tak ada embung di lokasi terbakar. Sebelum terbakar, areal itu sempat dibuat batas dan blok. Tapi belum ada perintah tanam. Blok I 39-43 tak ada parit kanal meski lahannya telah dibuka. Blok L 35 tempat pembenihan sawit sempadan dengan blok L lain yang terbakar.
“Kuat dugaan, perusahaan memang sengaja biarkan blok-blok yang telah dibuka itu terbakar dan setelahnya akan ditanami sawit. Buktinya, areal yang sudah tertanam atau produktif tidak tersentuh api padahal bersempadan dengan blok yang belum ditanam. Tidak mungkin api pandai memilih lahannya yang mau dia bakar,” ucap Jeffri.
Bambang Hero Saharjo Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan juga bilang, jika kebakaran berulang berarti ada pembiaran. Bahkan, pada blok lain yang juga pernah terbakar telah ditanami sawit. Bambang yang juga sempat periksa sarana prasarana PT SSS menyebutnya belum memenuhi kelayakan. Peralatan yang disimpan di gudang masih bersih dan tampak belum pernah dipakai. Hitungan Bambang, kebakaran di lahan PT SSS seluas 155,2 hektar menimbulkan kerugian ekonomis sebesar Rp 55.212.592.800.
Keterangan Bambang masih relevan dan terbukti pada saat pemeriksaan setempat. Senarai melihat, beberapa peralatan digudang masih terbungkus plastik bahkan, kertas harga barang masih tampak bersih dan nempel pada gagangnya.
Selain itu, PT SSS juga tidak memiliki niat dan itikad baik untuk menjaga arealnya. Sebab, perusahaan telah diperingati Dinas Perkebunan dan Peternakan Pelalawan sebelum dan setelah kebakaran terjadi. Densi Suridal, Kasi Perlindungan Dinas Perkebunan dan Peternakan Pelalawan, pernah menghimbau perusahaan melengkapi sarana prasarana pengendalian kebakaran.
PT SSS disebut masih kekurangan menara pantau api. Dengan luas lahan 5.604 ha mestinya tersedia 11 menara namun hanya ada 3, itupan hanya satu menara sesuai standar. Embung hanya 3 yang semestinya harus ada 10. Standarnya, tiap 500 ha harus ada 1 embung. PT SSS sudah 3 kali diperingati.
Laporan ketersediaan sarana dan prasarana perusahaan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Eben sendiri mengaku, perusahaannya juga pernah diberitahu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal kekurangan sarana dan prasaran pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan tersebut.
Senarai dan Jikalahari merekomendasikan:
- Meminta Majelis Hakim menghukum PT SSS dan Alwi Omri Harahap 10 tahun penjara denda Rp 10 milyar, pidana tambahan berupa perbaikan kerusakan lingkungan senilai Rp 55.212.592.800 dan mencabut Izin Usaha Perkebunan PT SSS.
- Komisi Kejaksaan memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Pelalawan dan jaksa yang menangani perkara ini karena menggunakan fasilitas perusahaan saat pemeriksaan setempat. Jangan-jangan karena hutang budi itu membuat jaksa hanya menuntut ringan perusahaan dan Alwi dengan pasal kelalaian.
Narahubung:
Aldo—0812 6111 6340
Suryadi—0852 7599 8923