Pekanbaru, 23 Maret 2020—jelang tuntutan PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) dan Pjs Estate Manager Alwi Omri Harahap, jaksa penuntut umum harus menghukum perusahaan dan karyawannya itu 10 tahun penjara, denda Rp 55 milyar serta mencabut Izn Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan. Ini sesuai dakwaan pertama penuntut umum.
“Selama persidangan terbukti, PT SSS dan Alwi tidak siap mengendali lahan yang terbakar. Sarana prasarana kurang, tidak ada embung, menara pantau api dan gudang penyimpanan peralatan jauh dari blok terbakar dan regu pemadamnya tidak cukup,” jelas Peneliti Senarai, Jeffri Sianturi.
Lahan PT SSS terbakar pada 23 Februari hingga 29 Maret 2019 di Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan. Terjadi di Blok I 43, 42, 41, 40, 39, 38, 37, 36, 35, 34 dan 33. Blok J 40, 33 dan 32. Blok K 40 dan 39. Kemudian Blok L 41, 40, 39 dan 38. Kebakaran terjadi pada dua hamparan. Pertama 87,3 hektar dan kedua 67,9 hektar. Luas keseluruhan 155, 2 hektar. Api padam setelah hujan lebat.
Blok I 43, 42 dan 41, Blok J 40, Blok K 40 dan 39 serta Blok L 41 telah dibuka dan ditumpuk dengan bekas tebangan tapi tidak dibuat parit kanal dan sumber air. Kebakaran pada blok ini bersempadan dengan blok-blok yang telah ditanami sawit. Pada 2016 hingga 2018, blok-blok yang telah ditanami sawit itu juga pernah terbakar dan ditanami sawit kembali oleh perusahaan. Kebakaran juga terjadi sejak 2013.
Semua saksi, baik karyawan maupun instansi pemerintah terkait mengatakan, PT SSS kekurangan sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Menara pantau api hanya satu sesuai standar. Letaknya 3 kilometer dari hamparan kedua dan lebih jauh lagi dari hamparan pertama.
Tak ada pos jaga di tengah-tengah areal terbakar. Letak gudang penyimpanan peralatan jauh dari lokasi. Sejak tahu titik api pada siang hari, mesin dan slang baru sampai ke lokasi sorenya ketika api sudah membesar. Pemadaman tidak dilakukan 24 jam atau berhenti pada malam hari.
Alat berat pun baru tiba dua hari kemudian karena sulitnya akses menuju lokasi dan saat itu di sekitarnya tergenang banjir. Tak ada embung. Regu pemadam kebakaran kesulitan air sampai menggali tanah untuk dapatkan sumber air. Embung hanya ada di Blok N. Sementara, lahan terbakar di Blok I, J, K dan L.
Api tak terkendali. Regu pemadam kebakaran kewalahan meski dibantu perusahaan sekitar, BPBD, TNI, Polri, Manggala Agni dan Stapol PP. Api padam setelah diguyur hujan lebat.
Selain kekurangan sarana prasarana, PT SSS hanya memiliki dua regu pemadam kebakaran. Anggota patroli dan pemadam kebakaran justru rangkap jabatan sebagai karyawan dan buruh harian lepas perusahaan. Bahkan, perusahaan merekrut Masyarakat Peduli Api (MPA) desa setempat untuk bergabung dalam tim Satgas Pengendalian Karhutla PT SSS.
Alwi Omri Harahap sendiri mengaku, rangkap jabatan. Selain ditunjuk sebagai Pjs Estate Manager, dia juga bertanggungjawab untuk kegiatan pencegahan dan pengendalian Karhutla PT SSS karena jabatannya sebagai Kepala Satgas. Padahal, dalam dua jabatan itu, dia hanya digaji untuk jabatan pertama.
PT SSS juga tidak pernah beri pendidikan dan pelatihan penanggulangan Karhutla pada regu pemadam kebakaran. Hanya seorang karyawan pernah dapat pelatihan yakni, Nahan Sitorus, Komandan Regu Pemadam Kebakaran sekaligus Kepala Sekuriti PT SSS. Itupun ketika dia bekerja di PT Arara Abadi.
Berdasarkan PP 4/2001 perusahaan wajib mengadakan pelatihan regu pemadam kebakaran. Direktur Utama Eben Ezer Djadiman Halomoan Lingga mengetahui kewajiban ini. Sebab, perusahaan berpedoman pada peraturan tersebut dalam menyusun dokumen RKL dan RPL.
Kebakaran tak terkendali karena perusahaan tidak mengantisipasi. Padahal, perusahaan tahu dan mengakui, areal yang diberi izin rawan kebakaran bahkan terbakar tiap tahun. Perusahaan juga telah buat peta rawan kebakaran. Seperti yang diterangkan Asep, Asisten Pengukuran dan Pemetaan sekaligus Mandor Pengawasan Alat Berat dan Pancang Tanam.
Kata Jeffri, perusahaan mestinya menempatkan peralatan di lokasi yang rawan, mendirikan pos jaga, menara pantau api serta menempatkan regu patroli. Selain itu, lanjutnya, perusahaan juga harus menyediakan sumber-sumber air untuk memudahkan pemadaman api tanpa harus menggali tanah lagi ketika api muncul. “Sebab, embung yang terdapat di blok tidak terbakar jauh dari titik api sehingga peralatan tidak dapat menjangkaunya.”
Hasil analisa Bambang Hero Saharjo, kebakaran terkonsentrasi pada areal yang telah dibuka dan nyaris sempurna. Tidak ada upaya menahan laju api dengan optimal. Tampak dibiarkan. Bahan bakar berasal dari bekas tebangan yang membusuk dan menumpuk di permukaan lahan gambut. Bambang Hero mendeteksi dengan Satelit Terra-Aqua pada 25 Februari 2019, memang terdapat titik api di lahan PT SSS. Jumlahnya terus bertambah dan berkelompok pada blok-blok tertentu.
Kebakaran di lahan PT SSS berdampak pada pelepasan gas rumah kaca yang telah melampaui ambang batas. Yakni 675 ton C, 236.25 ton CO2, 2.475 ton CH4, 1.09 ton NOx, 3.024 ton NH3, 2.50 ton O3, 43.71 ton CO serta 52.5 ton Total Bahan Partikel.
Selain itu, hasil analisa Basuki Wasis, telah terjadi kerusakan tanah dan lingkungan berdasarkan kriteria kerusakan keragaman spesies, flora, fauna, pH tanah, C organik, nitrogen, kapasitas tukar kation, bobot isi dan porositas tanah.
Kerusakan lingkungan akibat kebakaran ini juga diakui oleh Wawan, ahli meringankan yang dihadirkan terdakwa PT SSS. Menurutnya, gambut yang dibuka dapat memicu kebakaran dan oleh karena itu, pengelolaan gambut harus memperhatikan manajemen pengelolaan air.
“Sudah sepatutnya, jaksa penuntut umum menghukum perusahaan dan karyawaan yang tidak bertanggungjawab karena, menyebabkan polusi udara dan membahayakan warga terdampak asap. Salah seorang karyawannya pun mengaku, susah bernafas selama memadamkan api,” tutup Jeffri.
Narahubung:
Suryadi—0852 7599 8923
Jeffri Sianturi—0853 6525 0049