RILIS MASYARAKAT SIPIL MELAWAN ASAP RIAU
PEKANBARU, SENIN 16 JUNI 2014—Menjelang Sidang Tuntutan di PN Pelalawan pada Selasa 17 Juni 2014, Masyarakat Sipil Melawan Asap terdiri atas Jikalahari, Walhi Riau, riau corruption trial, dan Greenpeace Indonesia menyerukan kepada Jaksa Penuntut Umum menuntut agar para terdakwa PT Adei Plantation & Industry dan Danesuvaran KR Singam dinyatakan terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf (h) jo Pasal 116 ayat (1) huruf (a) dan (b) UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Dan menjatuhkan hukuman berupa pidana pokok penjara 10 tahun dan denda Rp 10 Miliar serta pidana tambahan dan tindakan tata tertib penutupan sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan dan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan hidup (vide Pasal 119 UU PPLH),” kata Janes Sinaga, Dinamisator Masyarakat Sipil Melawan Asap.
“Selain itu, penting juga untuk menyampaikan kepada Majelis Hakim agar menetapkan para terdakawa kembali ditahan untuk mencegah para terdakwa melarikan diri menjelang putusan dalam perkara ini berkekuatan hukum tetap,” kata Riko Kurniawan, Eksekutif Walhi Riau.
Riau corruption trial dalam Paper Bentangan yang berisi hasil pemantauan sidang kebakaran lahan atas nama terdakwa PT Adei Plantation & Industry dan terdakwa Danesuvaran KR Singam menyebut kasus kebakaran lahan di areal KKPA PT Adei Plantation dengan dua terdakwa berlangsung sebanyak 23 kali sidang (sidang terakhir berupa pemeriksaan terdakwa). Ada 23 saksi fakta dan 6 saksi ahli dari tim Penuntut Umum serta 5 saksi meringankan (a de charge) dan 3 saksi ahli dari tim Penasehat Hukum Danesuvaran. Agenda pemeriksaan saksi dan pembuktian dimulai pada sidang ke-5 tanggal 5 Februari 2014.
Dalam Paper Bentangan juga berisi keterangan saksi, ahli, analisa hukum dan rekomendasi kepada Penuntut Umum. Riau Corruption Trial mengapresiasi Penuntut Umum sudah berusaha keras membuktikan bahwa PT Adei Plantation and Industry membakar lahannya dengan menghadirkan alat bukti dan barang bukti di depan persidangan.
Namun, catatan kritis Riau Corruption Trial kepada Penuntut Umum yaitu, tidak memasukkan Pasal 117, Pasal 118 dan Pasal 119 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Apalagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara berpedoman kepada Dakwaan Penuntut Umum. “Bila pasal-pasa tersebut masuk dalam dakwaan Penuntut Umum, pidana tambahan berupa salah satunya penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan atau kegiatan bisa dikenakan kepada korporasi, sehingga memberi efek jera,” kata Made Ali, SH peneliti hukum riau corruption trial.
Dua Paper Bentangan riau corruption trial menyimpulkan bahwa berdasarkan kesaksian Ahli Prof Bambang Heru Saharjo dan Basuki Wasis bahwa luas areal yang terbakar adalah areal kosong di dalam kebun kelapa sawit pola KKPA yang dikelola PT Adei di Desa Batang Nilo Kecil Kabupaten Pelalawan seluas ± 304.703 m2. Ada pula areal yang terbakar berupa tanaman kelapa sawit pola KKPA yang dikelola oleh PT Adei seluas ± 7.925 m2. Daerah aliran Sungai Jiat di Desa Batang Nilo Kecil juga terbakar seluas 50 meter di sisi kiri dan kanannya. Luas keseluruhan areal yang terbakar adalah 211.115 m2 atau seluas 40 dari 520 ha lahan terbakar menurut pengukuran dari BPN Pelalawan. “Lahan tersebut sengaja dibakar untuk kepentingan ekonomis. Belum lagi areal KKPA itu adalah hutan, kemudian ditanami sawit,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Menurut Prof Bambang Heru Saharjo, saat menjadi saksi ahli pada 15 April 2014, pada 2001 PT Adei Plantation and Industry divonis bersalah oleh Mahkamah Agung delapan bulan penjara dengan Rp 100 juta karena telah sengaja membakar lahan seluas 3000 ha untuk ditanami kepala sawit. Tahun 2006 PT Adei Plantation and Industry digugat perdata karena lahannya terbakar di Bengkalis.
Gugatan perdata senilai USD 1,1 juta. “Ini membuktikan PT Adei tidak mematuhi hukum Indonesia,” kata Janes Sinaga.
Data Walhi Riau menyebut, PT Adei Plantation & Industry salah satu anak perusahaan grup Kuala Lumpur Kepong (KLK) bermarkas di Malaysia. Di Indonesia KLK memiliki 17 anak usaha perkebunan kelapa sawit tersebar di Sumatera dan Kalimantan. “Kegiatan anak usaha mereka khususnya di Riau kerap merusak gambut berkontribusi pada kerusakan lingkungan belum lagi lahan yang mereka kelola milik masyarakat adat,” kata Riko Kurniawan, Eksekutif Walhi Riau. Buktinya? Riko menyebut tahun 1999, ketika PT Adei mengelola HGU-nya di Desa Batang Nilo Kecil. HGU tersebut tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat tiga persukuan Piliang, Melayu, dan Pelabi. “Akhirnya itulah lahan yang dijadikan KKPA. Namun tetap saja yang kelola PT Adei.”
“Gambut yang terbakar di areal KKPA di areal PT Adei membuktikan perusahaan tidak mampu menjaga gambutnya yang memang rawan terbakar. Ini menambah bukti bahwa kerusakan gambut memang sengaja dilakukan oleh perusahaan,” kata Riko Kurniawan. “Kami menghimbau kepada Presiden agar turun tangan memperbaiki gambut dengan cara merevisi izin perusahaan sawit di Riau yang beroperasi di areal gambut.”
“Perubahan iklim semakin mencancam kehidupan masyarakat Riau, dan perlindungan gambut adalah kunci untuk mengatasi perbahan iklim, yang merupakan komitmen Indonesia kepada dunia internasional,” kata Rusmadya Maharuddin dari Greenpeace Indonesia.
Muslim Rasyid menerangkan, tahun 2007 saat Polda Riau melakukan penegakan hukum terhadap korporasi perusak hutan dan gambut, terjadi penurunan kebakaran hutan dan lahan di Riau. “Artinya kita butuh penegak hukum yang berani melawan kejahatan korporasi perusak lingkungan.”
Muslim juga mengingatkan kepada penegak hukum agar tidak diskriminasi dalam melakukan penegakan hukum. Data Jikalahari menyebut, tahun 2013 bukan hanya PT Adei Plantation and Industry yang jadi tersangka, ada juga 8 perusahaan sawit dan tanaman industry yang sudah jadi tersangka oleh Kemenlh. “Namun, kenapa hanya satu perusahaan yang dibawa ke Pengadilan?” tanya Muslim. Tahun 2014, ada sekitar 100 lebih korporasi jadi tersangka pembakaran lahan di Riau, namun belum juga dilimpahkan ke pengadilan.
Usulan hukuman 10 tahun dan denda Rp 10 Milyar terhadap PT Adei Plantation and Industry kepada Penuntut Umum, agar “Kejahatan korporasi dapat diberantas salah satunya dengan penegakan hukum yang benar, adil dan berpihak kepada ekologis,” kata Janes Sinaga.
Wawancara lebih lanjut:
- Janes Sinaga, 081276230279
- Muslim Rasyid, 08127637233
- Riko Kurniawan, 081371302269
- Rusmadya, 081365422373
***selesai**