Kabar Klip Media

Sempena 64 Tahun Provinsi Riau: Tidak Ada Perlindungan Masyarakat dalam Pidato Gubernur Syamsuar

Selain tidak menyinggung pencegahan dan pemberantasan korupsi jelang tiga tahun menjalankan tugas sebagai gubernur, Syamsuar dalam pidato hari jadi Provinsi Riau ke 64 tahun, juga tidak menyinggung sama sekali persoalan kriminalisasi warga terutama perampasan hutan dan tanah milik masyarakat adat.

Padahal, pada hari yang sama, 9 Agustus, juga diperingati hari masyarakat adat internasional. Syamsuar yang juga menyandang gelar adat Datuk Seri Setia Amanah dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau justru tidak menyebut kriminalisasi yang dialami masyarakat adat di Riau.

Dalam kasus Bongku bin Jelodan dan PTPN V yang dipantau Senarai, selama kasus ini berjalan, Syamsuar sebagai Datuk Seri Setia Amanah tidak menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat atas kriminilasasi yang dilakukan oleh korporasi.

Bukan saja Syamusar, gubernur sebelumnya, mulai dari Rusli Zainal, Annas Maamun dan Arsyadjuliandi Rachman juga tidak menunjukkan keberpihakan pada masyarakat adat.

Tiga kasus kriminalisasi masyarakat adat oleh korporasi, yang dipantau Senarai sepanjang satu dekade terakhir, antara lain:

Pertama, kasus kriminalisasi masyakarat Desa Pungkat, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir oleh PT Setia Agrindo Lestari (SAL), tahun 2014. Pengadilan Tinggi Pekanbaru menghukum 11 masyarakat, selama sembilan bulan, karena membakar alat berat perusahaan saat membuka hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat kesal, karena perusahaan menebang hutan alam dan mencemari sungai.

Kedua, kriminalisasi masyarakat adat Sakai atasnama Bongku oleh PT Arara Abadi tahun 2020. Majelis Hakim PN Bengkalis menghukum Bongku satu tahun penjara dengan denda Rp 200 juta. Bongku mendekam dalam sel tahanan hanya gara-gara menebang 10 batang pohon eukaliptus liar milik Arara Abadi. Padahal dia hanya hendak menanam ubi manggalo, sumber makanan pokok masyarakat adat Sakai. Lagi pula, lokasi pohon eukaliptus itu tumbuh merupakan tanah adat masyarakat Sakai yang dirampas Arara Abadi.

Ketiga, kriminalisasi masyarakat adat Pantai Raja oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN V) tahun 2021. Majelis Hakim PN Bangkinang menyatakan 11 masyarakat adat Pantai Raja bersalah karena menduduki lahan inti PTPN V selama 20 hari. Majelis memang tidak menghukum masyarakat bayar ganti rugi, tapi menyatakan masyarakat tidak berwenang alias tidak memiliki bukti sah atas kepemilikan lahan di lokasi tersebut. Faktanya, PTPN V merampas kebun karet masyarakat sejak 1984 dan tidak pernah ada ganti rugi. Sejak 1999, PTPN V juga ingkar janji untuk mengembalikan sebagian lahan masyarakat yang diakuinya. PTPN V juga melaporkan 11 masyarakat adat tersebut ke Polda Riau.

Tiga kasus di atas juga terjadi di masyarakat adat lainnya di Riau. Kasus ini menunjukkan perampasan hutan dan tanah yang dilakukan oleh korporasi 10 tahun terakhir, juga tidak pernah dibela oleh tiga gubernur sebelumnya. Justru para gubernur tersebut lebih sering bersama perusahaan dalam rangkaian seremonial bahkan kerap membela perusahaan dengan dalih investasi untuk pembangunan ekonomi Provinsi Riau. Termasuk Gubernur Syamsuar.

Bagaimana keberpihakan Syamsuar terhadap masyarakat adat di Riau?

Pertama bisa dilihat dari visi Syamsuar-Eddy saat mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur. Mereka mengusung visi terwujudnya Riau Bersatu—berdaya saing, sejahtera, bermartabat dan unggul. Bila melihat fakta kriminalisasi yang masih terjadi pada masyarakat, hanya kata ‘sejahtera’ yang bisa dikaitkan dengan visi Syamsuar-Eddy. Sayangnya, Syamsuar-Eddy justru tidak menjabarkan sama sekali upaya mensejahterakan masyarakat adat dalam lima misinya.

Secara tertulis, Syamsuar memang komitmen memfasilitasi pemberian hak kelola dan pengakuan terhadap kepemilikan tanah, lewat perhutanan sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Itu ia tuangkan dalam 10 program kerja 100 hari kepemimpinannya. Tapi, program itu justru berjalan lamban.


About the author

Jeffri Sianturi

Sejak 2012 bergabung di Bahana Mahasiswa. Menyukai Jurnalistik setelah bertungkus lumus mencari ilmu di lembaga pers mahasiswa ini. Menurutnya, ia telah 'terjebak di jalan yang benar' dan ingin terus berada di jalur sembari belajar menulis memahami isu lingkungan, korupsi, hukum politik, sosial dan ekonomi.
Siap 'makan' semua isu ini, ayo bumikan minum kopi.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube