Pekanbaru, 22 Agustus 2013— Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia merilis Laporan Bedah Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru Burhanuddin Husin atas Korupsi Penilaian dan Pengesahan Rencana Kerja Tahunan IUPHHK HT 12 Perusahaan Tanaman Industri tahun 2005-2006 di Provinsi Riau.
Seluas 38.357 hektare hutan alam ditebang oleh 12 perusahaan hutan tanaman industri yang mendapat izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) di Kabupaten Pelalawan dan Siak yang diterbitkan terpidana Burhanuddin Husin, semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005-2006.
Total kerugian negara akibat penebangan hutan alam seluas 38.357 hektar sekira Rp 687 triliun, bukan Rp 519 miliar berdasarkan hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Sebaiknya kerugian negara tidak dihitung dari PSDH-DR saja, sebab RKT yang diterbitkan Burhanuddin Husin bertentangan hukum,” kata Muslim. “Jika RKT-nya illegal, berarti bertentangan dengan AMDAL perusahaan. Areal yang illegal itu bisa dihitung kerugian ekologis-ekonomisnya,” kata Muslim yang mendasari penghitungan yang dilakukan Prof Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). “Pendekatan Ekologis-Ekonomis untuk memberi rasa keadilan pada hutan alam dan lingkungan yang telah dirusak oleh perusahaan industri kertas.”
Pada 24 Oktober 2012, meski terjadi dissenting opinion, majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Pekanbaru memvonis Burhanuddin Husin 2 tahun 6 bulan penjara karena terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi kehutanan. Perkara Tipikor Burhanuddin Husin ditangani tiga majelis Hakim, Isnurul Syamsul Arif, SH MH dan Krosbin Lumban Gaol, SH, MH (hakim karir) dan Rakhman Silaen SH, MH (Hakim ad hoc). Dalam putusan setebal 669 No 21/Pid.Sus/ 2012/PN-PBR, vonis majelis hakim berbeda jauh dengan tuntutan Jaksa yang menuntut 6 tahun penjara.
“Vonis Burhanuddin Husin lebih ringan dari terpidana dalam kasus kehutanan sebelumnya—terpidana Asral Rahman (5 tahun) dan terpidana Syuhada Tasman (4 tahun)—yang sama-sama terlibat kasus korupsi kehutanan saat menjabat Kadishut Riau,” kata Suryadi SH, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, salah satu majelis bedah kasus.
Selain Suryadi, dari April hingga Agustus 2013, MAPPI FH taja bedah kasus bersama majelis bedah kasus terdiri atas Dr Saifuddin Syukur, SH, MCL (dosen hukum tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau) dan Muslim Rasyid, SPi (Koordinator Jikalahari).
Laporan setebal 61 halaman itu memuat sejumlah analisis hukum mulai dari titik lemah dakwaan Jaksa yang menggunakan dakwaan subsidiaritas hingga pertimbangan majelis hakim . Titik berat temuan ada pada pertimbangan majelis hakim .
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 3 dengan hukuman rendah. Suryadi membandingkan Pasal 2 dan Pasal 3. Pidana penjara Pasal 2 paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 200 juta, paling banyak Rp 1 Milyar. Dalam Pasal 3 pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 50 juta, paling banyak Rp 1 Miliar. “Mengapa majelis hakim tidak memilih Pasal 2 yang pidana penjaranya paling singkat 4 tahun? Padahal dalam unsur-unsur Pasal 2 dan 3, tidak ada perbedaan yang substantive,” kata Suryadi.
Lantas, fakta hukum menunjukkan telah terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sama. Putusan majelis hakim terpidana Asral Rahman (eks Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2003-2004), dan Syuhada Tasman (Eks Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2004-2005) majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur Pasal 2.“Putusan majelis hakim terhadap Burhanuddin Husin menunjukkan Hakim tidak punya komitmen dan keberanian melawan korupsi kehutanan yang telah merugikan keuangan negara.”
Temuan lainnya, beschiking berupa Kepmenhut saling berbenturan, satu sisi melaran hutan tanaman di atas hutan alam, sisi lain membenarkan. Beschiking saling berbenturan yaitu Kepmenhut No 10.1/Menhut-II/2000 berbenturan dengan Kepmenhut No.101/Menhut-II/2004.
Kedua “Keputusan” tersebut diatas disebut “Peraturan”, karena sifat berlakunya yang umum. Sebuah keputusan (beschikking) seharusnya berupa penetapan yang bersifat individual, konkrit, dan final, yang tidak terpenuhi oleh dua Kepmenhut diatas. Lalu, Substansi Pengaturan Kedua “keputusan” yang masing-masing dibuat pada masa Nur Mahmudi Ismail dan M. Prakosa sebagai Menteri Kehutanan itu,” cacat hukum dan oleh karenanya batal demi hukum (minimal ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hutan alam) karena substansi yang diaturnya menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” kata Saifuddin Syukur.
“Kiranya persoalan ini bisa pula menjadi perhatian untuk dipantau, karena apa-apa yang terjadi dihilir pasti disebabkan oleh kebijakan yang ada di hulunya. Lebih baik mengevaluasi kebijakan yang dibuat pemerintah dari pada menguraikan benang kusut yang ditimbulkannya,” kata Saifuddin Syukur, yang meraih gelar Doktor di New Delhi, India.
Majelis bedah kasus memberi apresiasi pada majelis hakim terkait majelis hakim dalam pertimbangannya berkesimpulan kualfikasi “turut serta melakukan dalam pasal 55 ayat ke-1 telah terpenuhi, menurut majelis hakim dalam mewujudkan niatnya untuk melakukan tindak pidana terkait dengan pengesahan URKT perusahaan-perusahaan yang dilayah kerjanya di Kabupaten Pelalawan dan Siak tidak beridir sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama dengan saksi Tengku Azmun Jaafar, Saksi Edi Suriandi (Pelalawan), Saksi H Arwin As, Saksi Amin Budyadi serta 12 perusahaan-perusahaan yang mengajukan URKT.
“Rekomendasi kami, KPK segera menetapkan saksi Edi Suriandi, saksi Amin Budyadi dan 12 korporasi sebagai tersangka,” kata Suryadi,” dan Mahkamah Agung atau pun Komisi Yudisial segera memeriksa hakim majelis hakim dalam perkara ini.”