- Video Sidang: Basuki: PT Adei Telah Merusak Lingkungan
- rekaman suara Bambang (mp3)
- rekaman suara Basuki (mp3)
- lembar pemantauan (pdf)
–-Catatan Sidang Kelimabelas Terdakwa PT Adei Plantation & Industry Diwakili Tan Kei Yoong
PN PELALAWAN, SELASA, 15 APRIL 2014–Hingga Pukul 11.30 belum dimulai. Penasehat Hukum serta Penuntut Umum telah hadir di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri Pelalawan. Semuanya masih asik bercerita ketika terdengar suara orang berteriak-teriak. Masing-masing mencari tahu keluar dari ruang sidang menuju pintu depan pengadilan.
Di depan pintu pengadilan telah berdiri massa yang menamakan diri sebagai Koalisi Pemburu Penjahat Lingkungan–Walhi Riau, Jikalahari, FITRA Riau, KBH Riau, LBH Pekanbaru, HMI MPO dan riau corruption trial.
Dalam aksinya, mereka menuntut agar izin dari perusahaan perusak lingkungan dicabut. Tulisan ini terpampang di spanduk putih besar yang dipegang massa. Selain itu juga ada tuntutan lain tertulis di spanduk berdasar merah dengan tulisan hitam. Keuntungan Kalian (PT Adei) Dapat, Asap Kami Rasakan begitulah salah satu bentuk protesnya.
Selain itu juga ada tulisan Hukum Berat Perusahaan Perusak Lingkungan. Dalam orasinya, malah disampaikan kalau bisa pelaku perusak lingkungan dihukum mati. Penyampaian tuntutan ini, menurut Boy dari Walhi Riau dalam orasinya, merupakan permintaan rakyat agar PT Adei dihukum karena ini bukanlah tindakan pidana pertama kali dilakukan PT Adei. Sebelumnya pada 2001 PT Adei juga divonis bersalah karena melakukan pembakaran lahan.“Dengan kejadian ini terbukti bahwa PT Adei gagal menjaga lahannya untuk tidak terbakar.”
Ruang tunggu pengadilan tetap ramai hingga pukul 11.45. Seluruh staff keluar melihat aksi yang dilakukan. Penasehat Hukum serta Penuntut Umumpun melihat dari kejauhan namun tetap mendengar teriakan yang disampaikan memakai megaphone tersebut.
Pukul 11.46 majelis hakim yang diketuai Achmad Ananto memasuki ruang sidang dan berpesan agar massa yang mengadakan aksi tak ribut saat sidang. “Tolong hargai juga kami di sini,” ujarnya. Tepat pukul 11.48 sidang dimulai dengan agenda pemeriksaan ahli. Ruang sidangpun ramai dipenuhi massa yang sebelumnya aksi.
Prof. Dr. Ir. Bambang Heru Saharjo (Ahli Bidang Kebakaran Hutan dan Lahan)
Dosen di Institut Pertanian Bogor di Fakultas Kehutanan ini berikan keterangan terkait keahliannya di bagian analisa asal muasal, proses terjadi, dampak dan anisipasi dari kebakaran hutan dan lahan. Terkait kasus PT Adei, ia diminta penyidik Polda Riau untuk datang ke lokasi kebakaran PT Adei di Desa Batang Nilo Kecil. Ia datang pada 15 Juli 2013 bersama penyidik Polda Riau, Polres Pelalawan serta perwakilan dari pihak perusahaan.
Agenda ke areal kebakaran, selain observasi dan melihat langsung area, ia juga mengambil sample yang digunakan untuk analisis laboratorium terkait dampak dari kebakaran lahan seluas 40 hektar berdasarkan pengukuran Badan Pertanahan Nasional.
Dari sample yang diambil, selain verifikasi kebenaran terjadinya kebakaran di lahan tersebut, juga untuk mengetahui waktu terjadinya kebakaran. Ini dilihat dari rumput yang tumbuh diarea uji sample. “Untuk analisis dampak kerusakan lingkungannya itu akan dijelaskan Pak Basuki,” jelas Bambang.
Dari hasil peninjauan dan analisa ahli, ia menyimpulkan bahwa lahan tersebut sengaja dibakar. Penjelasannya, area tersebut sudah dalam tahap land clearing. Berarti sensitif dengan api karena semua bahan sudah dalam tahap pengeringan dan bisa menjadi bahan bakar yang memenuhi untuk pembakaran lahan. “Seharusnya jika sudah tahu ini dalam kondisi sensitif, areal harus disterilkan,” jelasnya.
Ahli juga menyimpulkan adanya pembiaran atas terbakarnya lahan tersebut. Karena kejadian bisa sampai berhari-hari dan tidak ada tindakan cepat dari pihak perusahaan. Hal ini bisa diatasi dengan adanya sistem peringatan dini atau early warning system untuk mendeteksi adanya kebakaran dan tindak lanjut segera untuk pemadaman. “Peralatan yang seharusnya ada untuk pemadaman juga tak mencukupi. Kenapa harus dibiarkan sampai beberapa hari?” tanya Bambang dalam berikan keterangannya.
Alasan lainnya berupa ratanya area yang terbakar. Pergerakan api dalam kejadian kebakaran alami seharusnya mengikuti arah angin dan bisa menyebar kemana saja dan liar. Namun dalam kenyataan di lapangan, api kebakaran ini terkonsentrasi pada blok sepanjang Daerah Aliran Sungai Jiat. “Ini aneh, bagaimana api tersebut bisa lurus saja membakar area. Kesannya pergerakan api itu seperti diatur,” papar ahli.
Pembukaan lahan dengan cara pembakaran telah melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup pasal 69 yang menyatakan bahwa hal tersebut dilarang. Mengkaji dari sisi ekonomis, pembukaan lahan dengan pembakaran memang lebih murah. Hanya menghabiskan biaya dengan kisaran Rp 5 juta, sedangkan pembukaan lahan secara manual bisa menelan jutaan rupiah.
“Kalau secara manual ada biaya untuk pemberian kapur pada lahan, pemupukan sampai penyediaan pestisida. Kalau dibakar, tidak perlu semua ini,” ujar Bambang Heru dalam penjelasannya.
Jika membuka lahan dengan manual, pemberian kapur berguna untuk menaikkan pH tanah, dimana tanah gambut yang memiliki pH asam berkisar 3 – 4 tidak baik untuk ditanami sawit. Untuk itu diberilah kapur agar pH naik, dan tanah tidak terlalu asam. Setelah menaikkan pH, diperlukan pemupukan agar tanah memiliki kandungan yang baik untuk tanaman. Barulah diberi pestisida untuk menghalau hama. “Kalau dibakar, pH tanah sudah otomatis naik. Tidak perlu lagi memberi kapur, pupuk ataupun pestisida. Dengan pembakaran yang merusak tanah ini, itu bisa menyebabkan kerugian Rp 15,7 miliar,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi soal DAS yang menurut pengamatannya telah ditimbun dengan sengaja. “Menurut saksi sebelumnya dari BLH menyatakan adanya sedimentasi yang kecil di Sungai Jiat tersebut. Apakah mungkin karena sedimentasi itu aliran sungai tertutup?” tanya Syafril, Jaksa Penuntut Umum. “Tidak mungkin, itu ada campur tangan manusia,” tukas Bambang.
Menurutnya tanah akibat sedimentasi ataupun yang terbawa oleh arus tidak mungkin sebanyak itu dalam kurun waktu beberapa tahun, apalagi dalam kadar sedimentasi yang kecil. Ditambah lagi dalam temuannya, tanah timbun yang menutup aliran sungai tersebut mengandung tanah mineral yang juga terdapat di areal PT Adei. Secara keseluruhan Bambang Heru tetap pada kesimpulannya menyatakan bahwa lahan tersebut sengaja dibakar dan terjadinya penimbunan aliran sungai.
Terdakwa merasa keberatan dengan keterangan ahli tersebut karena merasa tak pernah melakukan penimbunan. Namun saksi ketika ditanyai oleh hakim menyatakan tetap pada keterangannya.
Dr. Ir. Basuki Wasis (Ahli Bidang Kerusakan Lingkungan Hidup)
Rekan dari Ahli Bambang Heru ini ahli dalam bidang analisis hasil laboratorium untuk mengecek dampak kerusakan lingkungan. Bersama-sama Bambang Heru telah menjadi ahli lebih dari 200 kasus perusakan lingkungan. Dalam kasus PT Adei ini, ahli Basuki menganalisa sample yang telah diambil oleh Bambang Heru.
“Selain itu saya juga turun langsung ke lapangan 12 Agustus dan 7 November 2013,” jelas Basuki. Ia meninjau langsung ke lapangan untuk melihat dampak dari kebakaran dalam area lebih luas. Ia sampai pada kesimpulan, dengan terjadinya kebakaran di areal PT Adei tersebut telah menyebabkan subsiden atau penurunan tanah gambut mencapai 20 – 30 cm.
“Ini sudah terbukti merusak lingkungan, karena melanggar PP Nomor 4 tahun 2001,” ujarnya. Dalam PP ini dijelaskan terjadinya penurunan tanah gambut mencapai 10 cm mengindikasikan telah terjadi perusakan lingkungan. Dengan temuannya di lapangan bahwa terjadi penurunan hingga 20 cm telah memenuhi syarat tersebut.
Dalam penjelasannya, penurunan ini akibat water management PT Adei yang kurang baik. Terjadi pembiaran pengeringan tanah, dimana seharusnya permukaan air yang berada dikanal berada paling tidak 25 cm dari permukaan tanah gambut. Namun pada kenyataannya, permukaan air berada jauh hingga 60 cm dari permukaan tanah gambut. Hal inilah yang menyebabkan tanah gambut kering. “Karena sifatnya tanah gambut ini banyak mengkonsumsi air, kalau tidak diairi maka akan kering. Karena kering inilah ia mudah terbakar,” ujar Basuki.
Dari analisis kerusakan lingkungan, dengan dasar PP nomor 4 tahun 2001, kerusakan lingkungan memiliki parameter dari bagian fisik, kimia, biologi, flora dan fauna. Dari segi fisik ditemukan penurunan tanah dari kebakaran yang terjadi pada Juni 2013 tersebut juga terbukti terjadi perusakan lingkungan dengan matinya flora dan fauna disekitar lahan tersebut. Akibat panas yang ada di tanah dari kebakaran, membuat flora maupun fauna tak dapat hidup dalam suhu tersebut dan akhirnya mati.
Dari segi kimia, terjadi penurunan ataupun pengurangan bahan organik yang ada ditanah tersebut. Dengan berkurangnya bahan organik di tanah yang terbentuk akibat guguran daun dari pohon hutan alam ini, membuat keadaan tanah rusak dan tidak akan bisa dikembalikan ke kondisi semula.
Selain itu dengan adanya pembakaran, akan mengakibatkan emisi gas yang berbahaya untuk atmosphere. Dalam kebakaran ini, emisi karbon yang dilepaskan mencapai 270 ton, 1,17 ton O3, 24 ton partikel dan zat kimia lainnya yang mengakibatkan global warming.
Dari sisi biologi, dengan terjadinya pembakaran mengakibatkan berkurangnya mikroorganisme yang ada di tanah. Banyak bakteri yang baik untuk lingkungan mati karena tak tahan berada disuhu panas tersebut. Fungi atau sejenis jamur-jamuran juga berkurang. Padahal diketahui, jamur ini bermanfaat untuk tanaman.
“Parameter terjadinya kerusakan lingkungan, satu saja sudah terpenuhi yang lain tidak perlu dibahas lagi. Karena satu terbukti sudah jelas ada kerusakan lingkungan,” ujar ahli.
Ketika Penasehat Hukum bertanya kepada saksi terkait tabel hasil analisis laboratorium terhadap sample yang diambil di lapangan, terjadi perdebatan. Hal ini karena di judul tabel yang tertulis bukanlah nama PT Adei, melainkan PT Kalista Alam, perusahaan di Aceh yang divonis bersalah telah melakukan perusakan lingkungan. “Bagaimana saya bisa percaya data anda, bisa saja ini data copy paste,” ujar Indra Nathan, Penasehat Hukum PT Adei.
“Itu hasil lab mana mungkin saya mengada-ada. Itu cuma salah ketik. Datanya benar. Ini hasil analisa saya,” jawab ahli. Perdebatan terus terjadi dan akhirnya penasehat hukum meminta hakim untuk mempertimbangkan keberatan mereka tersebut. Ahli ketika ditanyai hakim menyatakan tetap pada keterangan dan hasil analisis tersebut. #Yaya-rct