Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Selasa 7 Juni 2022—Penuntut umum komisi pemberantasan korupsi (KPK) menghadirkan empat saksi dalam perkara terdakwa Andi Putra, Bupati Kuantan Singingi nonaktif. Mereka dari PT Adimulia Agrolestari (AA).
Pemeriksaan berlangsung dua sesi. General Manager AA Sudarso lebih dulu diminta keterangan. Dia beri kesaksian dalam jaringan karena tengah jalani kurungan di Lapas Sukamiskin, Bandung. Dia divonis dua tahun penjara dalam kasus yang sama, setelah ditangkap usai ketemu Andi Putra, minta rekomendasi sarat perpanjangan HGU.
HGU AA akan berakhir pada 2023. Sejak 2018, Komisaris Utama Frank Wijaya menugasi Sudarso mengurus perpanjangan izin tersebut. Kata Sudarso, bosnya itu menilai dia sudah pengalaman dan memiliki jaringan ke sejumlah pejabat.
Setelah menyelesaikan urusan peta bidang, permohonan perpanjangan HGU berikut dokumen pendukungnya pun diajukan ke Kantor Pertanahan Kuansing pada 4 Agustus 2021, sesuai tanggal surat.
Namun Penuntut Umum KPK mendapat bukti, Kantah Kuansing justru baru menerima penerimaan permohonan tersebut pada 12 Oktober 2021. Sementara pada 3 September 2021 sudah berlangsung rapat ekspos—memeriksa kelengkapan dokumen.
Ihwal perbedaan itu, saksi dari Kantah Kuansing maupun Kanwil BPN Riau kompak mengatakan 4 Agustus. Namun mereka tak berkutik ketika penuntut umum menunjukkan buku tanda terima surat yang jelas-jelas tercatat 12 Agustus.
Model pengajuan permohonan ini juga melanggar prosedur yang telah ditetapkan dalam lingkungan instansi pertanahan tersebut. Mestinya, Kantah Kuansing meneruskan permohonan AA itu pada Kanwil BPN Riau. Kenyataannya, Sudarso juga memerintahkan Staf Legal AA, Fahmi Zulfadli mengantar langsung ke Kanwil.
“Benar yang mulia. Saya serahkan ke Bu Yeni Veranika. Waktu itu menjelang Panitia B mau turun ke lokasi,” kata Fahmi, saat gilirannya diminta keterangan.
Yeni yang dimaksud Fahmi, analis pertanahan Kanwil BPN Riau. Dia telah diperiksa pada sidang, minggu lalu. Dia mengaku diperintah Indrie Kartika Dewi, atasannya untuk memeriksa kelengkapan dokumen AA.
Keistimewaan yang diberikan Kanwil BPN Riau pada AA bukan tanpa imbalan. Dipersidangan terungkap, Sudarso dan Fahmi juga bagi-bagi duit ke sejumlah pejabat di sana. Termasuk pada kepala kanwil, M Syahrir, yang lebih duluan menikmati uang dari Sudarso.
Hanya saja, Syahrir tak mengaku terima uang Rp 1,2 miliar. Sudarso mengantar uang itu di rumahnya dalam bentuk mata uang Dolar Singapura, sekira pada Agustus. Sebelumnya, mereka sudah beberapa kali bertemu, baik di rumah dinas maupun di kantor, bahas perpanjangan HGU.
“Dia minta Rp 3 miliar, Yang Mulia. Kami serahkan bertahap,” kata Sudarso. Jawabannya tidak berbeda ketika diperiksa sebagai terdakwa dalam perkara ini.
Memang tidak ada saksi lain yang melihat penyerahan uang, saat itu. Tapi, penuntut umum sempat menyinggung nama Teguh, asisten Syahrir, karena sebelum bertemu dengan Kakanwil BPN Riau itu, Sudarso terlebih dahulu komunikasi dengan orang tersebut.
Penuntut umum tidak melanjutkan pertanyaannya lagi. Informasinya, KPK tengah menyelidiki aliran uang ke Syahrir. Aneh bila Syahrir tak minta jatah pada Sudarso. Sedangkan anak buahnya mengaku terima uang dan telah mengembalikannya ke rekening KPK, sejak kasus suap ini terungkap.
Selain asisten Syahrir, Direktur Keuangan AA, Riana Iskandar, juga mengetahui uang Dolar Singapura itu telah keluar dari brangkas perusahaan. Itu, setelah ada perintah dari Frank Wijaya. “Uang itu memang sudah disiapkan Pak Hadi Ngadiman untuk mengurus perpanjangan HGU.”
Hadi, komisaris sebelum Frank. Ia meninggal pada 2019. Tiap membutuhkan uang untuk operasional perpanjangan HGU—termasuk memenuhi permintaan pejabat—Sudarso pasti beritahu Frank.
Kemudian, Syahlevi Andra, Kepala Kantor AA Pekanbaru, juga mengetahui perjalanan uang tersebut. Hanya saja, setelah diperintahkan Rudi Ngadiman, adik Hadi Ngadiman, mengantarkan uang itu ke Sudarso, dia tak tahu lagi ke mana uang itu diserahkan atasannya.
Berkat pemberian itulah, AA hendak diloloskan Syahrir dari kewajibannya untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat, sebanyak 20 persen dari luas HGU keseluruhan di Kuansing.
Dalam rapat ekspos yang ditaja Syahrir di Prime Park Hotel—rapat ini sebenarnya tidak wajib—dua kepala desa dari Kuansing: Suka Maju dan Bumi Mulia, minta AA bangun kebun plasma. Sudarso menolak, karena kebun itu sudah ada di Kampar. Dia berpegang dengan surat Disbun Riau yang menjelaskan telah dilaksanakannya kewajiban itu.
“Tapi, kami bersedia kalau mereka sediakan lahannya,” dalih Sudarso.
Syahrir tahu kebun plasma itu wajib dipenuhi AA karena sudah tertuang dalam Permen ATR/BPN No 7/2017. Tapi dia bikin kebijakan sendiri dengan menyuruh Sudarso minta rekomendasi Andi Putra supaya menyetujui plasma yang sudah ada di Kampar.
Saat diperiksa, Syahrir berdalih rekomendasi itu hanya pelengkap saja. Sebab keputusan HGU AA diperpanjang atau tidak, merupakan kewenangan kementerian terkait.
Sudarso pun membela diri. Saat rapat, katanya tidak mendengar perintah untuk mendapatkan rekomendasi Andi. “Saya tahunya setelah rapat ekspos. Saudara Fahmi mengabari soal rekomendasi yang tercatat dalam notulen rapat.”
Cerita Sudarso, malam itu juga, dia minta Fahmi datang ke rumahnya sekaligus merancang surat permohonan terkait yang akan ditujukan ke Andi Putra. Ngakunya, malam itu agak bingung menyusun kalimat dan bertanya-tanya maksud rekomendasi tersebut.
Sudarso kemudian mengantar langsung surat itu ke rumah Andi, 8 September 2021. Seingat Sudarso, Andi meminta biaya Rp 1,5 miliar dan disetujui pembayarannya dengan dicicil.
Pada 14 September, Andi datang ke rumah Sudarso di Gang Nurmalis, Jalan Kartama, Pekanbaru. Baik Sudarso maupun Andi, berdalih pertemuan, malam, itu untuk meminjam uang Rp 500 juta.
Uang itu diserahkan pada 27 September, lewat Syahlevi Andra ke Deli Iswanto, sopir Andi, dalam salah satu kamar rumah Sudarso. Selain ketiganya, orang lain yang menyaksikan penyerahan uang itu adalah istri Sudarso sendiri. Pasalnya Sudarso minta sang istri memberikan tas ransel untuk menampung uang dalam plastik yang dibawa Syahlevi.
Penuntut umum yakin, pemberian itu ada hubungannya dengan surat rekomendasi yang diminta Sudarso pada Andi.
Alasan pertama, malam itu, Sudarso mengirim fotonya bersama Andi ke Frank untuk beritahu permintaan uang tersebut. Frank kemudian minta Andi menyelesaikan permintaan plasma oleh dua kepala desa yang disampaikan dalam ekspos.
Kedua, uang Rp 500 juta yang dikeluarkan untuk Andi tercatat dalam buku besar sebagai pinjaman ke Sudarso untuk perpanjangan HGU.
Ketiga, Sudarso mengaku pinjaman itu juga dimaksudkan agar kepentingan AA juga dipenuhi oleh Andi. Bahkan, perusahaannya juga turut membantu biaya pencalonan Andi sebagai bupati, dengan harapan segala urusan AA kelak dimudahkan.
“Semua calon bupati waktu itu kami bantu juga. Walau besarannya berbeda-beda. Karena nanti kami juga punya kepentingan,” ungkap Sudarso.
Setelah pemberian uang pertama dan penyerahan surat permintaan rekomendasi, Sudarso kembali bertemu Andi pada 18 Oktober, pagi. Sudarso hendak memastikan surat rekomendasi yang dijanjikan Andi.
Tapi Bupati Kuansing tersebut meminta Sudarso menanyakannya ke Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Ketenagkerjaan (DPMPTSPK). Sebelum ke sana, kata Sudarso, Andi menanyakan sisa uang lagi.
“Aman, pak. Uangnya sudah ditransfer dari Medan. Dalam minggu ini saya serahkan,” kata Sudarso, mengulang pembicaraannya waktu itu.
Syahlevi Andra mengatakan, pagi-pagi sekali pada hari itu, Sudarso memang memintanya mencairkan uang Rp 286 juta, tapi tidak diberitahu kegunaannya. Sebagiannya atau Rp 36 juta diberikan ke Rudi Ngadiman melalui staf keuangan kantor Pekanbaru. Sisanya Rp 250 juta lagi masih ditangannya.
Rupanya, ketika hendak beranjak ke Kantor DPMPTSPK Kuansing, KPK langsung menangkap Sudarso. Syahlevi tak bisa menghubunginya lagi. Malamnya, Frank perintahkan transfer kembali uang yang masih ditangannya ke rekening perusahaan.#Suryadi