Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis 30 Juni 2022—Penuntut umum kembali menghadirkan anggota DPRD Riau 2009-2014. Antara lain, Ketua DPRD Johar Firdaus; Wakil Ketua Hazmi Setiadi; Wakil Ketua Almainis; Ketua Fraksi Demokrat Koko Iskandar; Ketua Fraksi Golkar Iwa Sirwani Bibra; anggota Komisi C Ahmad Kirjuhari dan Suparman.
Penuntut umum terlebih dahulu mencecar Kirjuhari ihwal pembagian uang hasil pengesahan RAPBDP 2014 dan RAPBD 2015. Terdakwanya mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Pada awal September 2014, magrib, Kirjuhari ketemu Kasubbag Anggaran Setda Riau, Suwarno, di parkiran bawah gedung DPRD Riau, Jalan Jenderal Sudirman.
Suwarno menyerahkan tas ransel hitam berisi uang yang sudah dikemas dalam beberapa amplop. Di situ juga sudah tertulis peruntukannya: buat pimpinan maupun ketua-ketua komisi dan fraksi. Jumlahnya, kata Kirjuhari Rp 900 juta. “Saya menghitungnya setelah pulang ke rumah.”
Jumlah uang itu berbeda dari keterangan Suwarno, 8 Juni lalu. Dia mengumpulkan Rp 1.010.000.000. Masing-masing dari Kepala BPBD Riau Said Saqlul Amri Rp 500 juta, Kepala PMI Riau Syahril Abubakar Rp 400 juta dan Kepala Biro Keuangan Jonli bersama Bendaharanya Amiruddin menambah Rp 110 juta. Mereka juga membenarkan informasi tersebut.
Kirjuhari kemudian mengabari Johar. Ketua DPRD Riau tersebut memintanya menyimpan uang itu. Dari situlah dia tahu bahwa itu uang untuk pengesahan anggaran.
Kirjuhari menyimpan uang itu lebih satu minggu. Pada 8 September, usai bertemu Johar di Hotel Rauda bahas pembentukan Riau Pesisir, Kirjuhari mengajak Riky Hariansyah mampir ke Rumah Makan Pempek, Jalan Sumatera, Pekanbaru.
Dua orang tersebut mencatat 21 nama anggota DPRD Riau yang akan terima uang. Keterangan Riky, Rabu 29 Juni lalu, nama-nama itu keluar dari mulut Kirjuhari. Dia hanya sekedar menulis. Kirjuhari membantah dan mengatakan sebaliknya.
“Tidak semua daftar nama itu benar. Saya tidak mau melibatkan kawan-kawan yang tidak bersalah,” ucapa Kirjuhari.
Kirjuhari lebih dulu divonis bersalah dalam kasus suap pembahasan anggaran ini. Dia baru saja selesai menjalani kurungan empat tahun. Dia sempat beberapa kali merubah keterangan terkait jumlah uang. Semula Rp 750 juta, Rp 800 juta dan terakhir jadi Rp 900 juta.
Selesai makan pempek, Kirjuhari dan Riky pindah ke Cafe Lick Latte, Jalan Arifin Ahmad. Johar sudah menunggu mereka di sana. Keduanya menyerahkan catatan tadi. Johar kebaratan kalau cuma terima Rp 125 juta.
Keterangan Kirjuhari ihwal pembagian uang ini kembali berbeda dari penjelasan Riky, sehari sebelumnya.
Kirjuhari merinci: Rp 370 juta diserahkan ke Riky, Rp 250 juta ke Johar—tahap pertama Rp 150 juta dikasih lewat Riky dan Rp 100 juta lagi dikirim melalui travel dari Bagansiapiapi—Rp 30 juta diberikan ke Solihin Dahlan, Rp 60 juta untuk operasional perjuangan Riau Pesisir dan dipakai untuk keperluan pribadi Rp 90 juta.
Kata Kirjuhari, uang yang dititipkan ke Riky, untuk dibagikan ke anggota dewan yang tertulis. Sementara, Riky mengatakan hanya terima Rp 200 juta dan Rp 150 juta diantaranya telah diserahkan ke Johar, malam itu juga di rumahnya.
Johar tidak membantah telah terima uang tersebut. Tapi, katanya, telah mengembalikan Rp 100 juta itu ke Kirjuhari di Hotel Alfa, Pekanbaru. Sementara, Kirjuhari menyebut telah mengembalikan Rp 100 juta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain berbedanya keterangan Kirjuhari dan Riky, ihwal pembagian uang juga belum jelas. Berdasarkan 21 nama yang tertulis, hanya Solihin Dahlan dan Gumpita yang sudah mengaku terima. Masing-masing Rp 30 juta dan Rp 10 juta. Sementara Rp 10 juta lagi jatah Ilyas Labai tak sempat diserahkan Riky.
Kirjuhari menyerahkan uang itu ke Solihin di Posko Pemenangan Partai Gerindra, Jalan Arifin Ahmad. Dalam keterangannya, 8 Juni lalu, dia diberitahu bahwa itu sebagai bentuk terimakasih atas pengesahan anggaran.
Adapun Gumpita, sebenarnya tidak masuk dalam catatan yang dibuat Riky dan Kirjuhari. Uang yang diserahkan Riky padanya setelah diambil dari Kirjuhari di sebelah Gedung Bank Indonesia Perwakilan Riau, untuk operasional membantu perjuangan pembentukan Provinsi Riau Pesisir.
Bila ditotal uang yang diketahui mengalir ke sejumlah anggota dewan: Kirjuhari Rp 100 juta, Johar Firdaus Rp 250 juta, Riky 60 juta—termasuk jatah Ilyas Labai yang tak sempat diserahkan—Gumpita Rp 10 juta dan Solihin Dahlan Rp 30 juta.
Maka keseluruhannya Rp 450 juta. Kemana Rp 450 juta lagi—berdasarkan yang diterima Kirjuhari—atau ke mana Rp 560 juta lagi—kalau dihitung sesuai nominal yang diantar Suwarno. Siapa lagi menikmati uang di luar nama yang disebutkan?
Sebab, baik Suparman, Koko Iskandar, Hazmi Setiadi, Almainis, Iwa Sirwani Bibra mengaku tak terima sepersenpun.
Suparman mengaku sempat kaget mendengar informasi tersebut. Suatu hari, di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, ketika hendak terbang ke Batam, tak sengaja dia bertemu Kirjuhari. Sembari menepuk pundak rekannya itu, dia menanyakan perihal uang pengesahan APBD.
“Kembalikan uang itu. Jangan jual lembaga (DPRD Riau),” kata Suparman, mengulang kalimatnya, waktu itu.
Suparman, saat itu, menjabat Ketua DPRD Riau. Sementara Kirjuhari telah berakhir pada 6 September 2014. Sehari sebelumnya, anggota dewan periode itu baru saja mengesahkan RAPBD 2015.
Sedangkan Almainis, mengaku tak pernah hadir lagi di gedung DPRD Riau, ketika jabatannya diganti oleh T Rusli Ahmad, hanya beberapa bulan periode itu akan berakhir. Dalam keterangannya, Almainis terkesan kecewa dengan rotasi Partai Demokrasi Indoensia Perjuangan, waktu itu.
***
Syahdan. Iwa masih mengingat momen konsultasi Pimpinan DPRD bersama Annas Maamun di rumah dinas Gubernur Riau. Ada dua hal penting yang dibicarakan, 6 Juni 2014, malam itu.
Annas ingin anggota DPRD Riau mengesahkan RAPBDP 2014 dan RAPBD 2015, sebelum masa tugas mereka berakhir 6 September.
Disamping itu, DPRD Riau juga memohon perpanjangan pinjam pakai kendaraan dinas selama dua tahun. Kemudian, mereka berharap mobil itu juga dapat dimiliki saat dilelang.
Kata Johar, itu adalah aspirasi anggota dewan. Dia mengelak disalahkan, karena pada akhirnya permohonan tersebut tak kunjung diproses pemerintah daerah. Berdasarkan bukti yang ditunjukkan penuntut umum, Johar memang mengirim surat permohonan resmi pada 21 Juli 2014.
Pada momen idul fitri 2014—Johar tak sebut tanggalnya. Tapi berdasarkan tahun itu, 1 syawal tepat pada 28 Juli—Annas Maamun memboyong anak buahnya di lingkungan Pemerintahan Provinsi Riau ke rumah Ketua DPRD Riau Johar Firdaus. Dalam silaturrahmi itu, Annas kembali menyinggung keinginannya tadi.
Singkat cerita, anggota Banggar langsung membahas RAPBDP 2014 pada 10 Agustus. Hanya saja deadlock, sehingga Johar memindahkan rapat itu dari ruang medium ke ruang komisi B. Sempat terjadi kegaduhan kecil diantara mereka. Koko Iskandar hanya mau membahas RAPBDP 2014, sedangkan RAPBD 2015 dinilainya tidak cukup waktu lagi dan terlalu dipaksakan.
Alhasil dibentuk tim informal untuk menjalin komunikasi dengan gubernur. Johar bantah jadi inisiator pembentukan tim kecil yang diketuai Suparman itu. Dia juga bantah memerintahkan cabut baterai ponsel saat rapat tertutup tersebut.
Suparman sendiri membenarkan informasi itu. Hanya saja, katanya, nasib tim tidak bertahan lama karena bubar dengan sendirinya. Koko sempat menanyakan tindak lanjut tim itu, karena rencananya akan ada agenda ketemu gubernur. Tapi tak pernah terlaksana.
Menurut keterangan Riky, beberapa hari kemudian, Suparman melapor ke Johar di ruangannya, bahwa Annas telah menyetujui perpanjangan pinjam pakai kendaraan dinas, dan akan memberikan uang Rp 50 juta sampai Rp 60 juta buat 40 anggota dewan yang namanya ditentukan sendiri oleh Annas.
Suparman mengganti istilah uang dengan 50 sampai 60 haktare. Uang itu akan diberikan setelah DPRD menyetujui rancangan anggaran dari pemerintah daerah. Selain Riky, Zukri Misran juga disebut mendengar obrolan tersebut. Penuntut umum tak menghadirkan Zukri sebagai saksi.
Suparman membantah. Katanya, waktu itu Johar curhat karena sebentar lagi akan purnatugas. Johar bilang punya lahan 40 hektare dan berencana hendak tanam sawit setelah berpolitik. Di situ, Suparman berniat akan membantu carikan bibit.
“Jadi itu sebenarnya. Zukri masuk ruangan saat saya menyebut hektare. Dia kira itu bahas uang,” kata Suparman.
Suparman juga senada dengan Johar. Menurutnya, DPRD adalah Lembaga politik sehingga tiap-tiap proses yang dilalui anggota legislatif tak terlepas dari warna politik. Termasuk ketika membentuk tim informal.
Tim itu menunjukkan hasil kerjanya pertama kali pada 19 Agustus. Pada tanggal itu, anggota DPRD menyetujui RAPBDP 2014. Tugas selanjutnya, menyelesaikan pembahasan APBD murni 2015.
Sebelum itu dibahas, pada 1 September, Johar, Kirjuhari, Riky Hariansyah, Aziz Zainal beserta beberapa anggota dewan lainnya kembali bertemu Annas di rumah dinas gubernur. Johar bantah kalau saat itu membahas APBD.
“Waktu itu almarhum Aziz Zainal, Ketua Komisi C, komplain ke Annas karena usulan anggaran infrastruktur banyak dicoret gubernur,” ungkap Johar.
Sementara Kirjuhari, mengaku saat itu, Annas memang menyinggung pembahasan APBD dengan mengeluarkan beberapa lembar catatan. Setelah rapat itu, Wan Amir Firdaus, Asisten II, menyampaikan akan ada titipan dari Anas. Sore itulah, Suwarno menyerahkan uang ke Kirjuhari, sesuai maksud Wan Amir tadi.
Keesokan harinya, anggota Banggar DPRD Riau memang langsung membahas RAPBD 2015. Tapi lagi-lagi, pembahasan itu sempat ditolak karena Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) belum membagikan buku KUAPPAS. Johar langsung menelpon Bappeda Riau agar mengantar berkas tersebut, malam itu juga.
Anggota Banggar menunggu sampai tengah malam. Saat itu juga langsung ditandatangani. Johar mengakui tidak membahas terlalu detail lagi, kecuali materi pokok mengenai penerimaan, belanja dan sisa lebih penggunaan anggaran.
Tidak semua anggota Banggar menyetujui tengah malam itu juga. Noviwaldy Jusman, Wakil Ketua DPRD Riau, saat itu, baru menandatangani keesokan hari, setelah Johar meminta. Sedangkan Hazmi Setiadi, mau tidak mau ikut tandatangan pada 4 September, setelah melihat yang lain membubuhkan tandatangan.
Ihwal MoU KUAPPAS itu, Riky bilang, Zukri sempat protes ke Johar karena tandatangannya sudah ada duluan dalam dua lembar kesepakatan tersebut. Padahal sebenarnya, Zukri belum menandatanganinya.
Sehari sebelum rapat paripurna mengesahkan RAPBD 2015, Suparman sempat menelpon Annas, beritahu tak bisa ikut paripurna karena harus menghadiri pelantikan anggota DPRD Rokan Hulu.
“KUAPPAS 2015 tak ada masalah dan hambatan lagi. Insya Allah, Senin akan diparipurnakan, ayah,” kata Suparman, dari rekaman panggilan telepon yang diperdengarkan penuntut umum.
Kenyataannya, sehari sebelum periode anggota DPRD Riau 2009-2014 selesai, alias pada 5 September, mereka resmi mengesahkan RAPBD 2015. Hazmi mengakui, proses itu tidak ideal dan terlalu dipaksakan. “Sebenarnya lebih tepat dibahas oleh anggota DPRD periode berikutnya. Karena lebih punya waktu hingga akhir tahun.”
Namun, Suparman dan Johar berkilah, bahwa APBD sudah harus disetujui oleh pemerintah pusat, selambat-lambatnya pada November. Sedangkan anggota DPRD periode 2014-2019 akan sibuk menyiapkan alat kelengkapan dewan paling tidak sampai penghujung 2014. “Kalau cepat dibahas, pemerintah daerah tinggal mudah menggunakan pada awal tahun 2015,” kata Johar.
Iwa juga senada dengan rekan-rekannya itu. Katanya, anggaran itu sudah dibahas, jauh hari. Penandatanganan MoU KUAPPAS antara anggota Banggar dan TAPD hanya finalisasi saja.
Di samping itu, kenyataannya 54 anggota DPRD 2009-2014 yang tak terpilih lagi terbukti tidak patuh, karena tidak mengembalikan kendaraan dinas pada 6 Septemeber, setelah serah terima palu sidang pada anggota dewan berikutnya.
Suparman mengakui itu. Dia terpilih lagi dan gilirannya menjadi Ketua DPRD Riau 2014-2019, menggandeng Satpol PP untuk menarik mobil dinas dari rekan-rekannya dulu.
Suparman dan Johar juga dinyatakan bersalah dalam kasus suap pengesahan anggarana ini. Mereka telah menjalani kurungan ketika divonis enam tahun. Meski pernah menyandang status narapidana, Johar tetap mengatakan uang yang diterimanya untuk perjuangan pembentukan Riau Pesisir, bukan kaitan dengan pengesahan anggaran di penghujung masa jabatannya.#Suryadi M Nur