–Catatan Sidang kedua puluh satu
PN PEKANBARU, KAMIS 30 JANUARI 2014--Sidang tindak pidana korupsi dengan terdakwa Rusli Zainal pagi Kamis, 30 Januari 2014 ramai dipenuhi awak media. Pasalnya Setya Novanto, Ketua Fraksi Golkar di DPR RI hadir menjadi saksi. Ia hadir gunakan kemeja kuning gading dan sesekali menjawab pertanyaan wartawan.
Sidang yang awalnya dijadwalkan mulai pukul 09.00 akhirnya molor jadi 09.40. Hadirkan tujuh orang saksi, diawali dengan keterangan Anton Ramayadi, Mantan Deputi Project Manager dari PT Wijaya Karya untuk Main Stadium PON.
Ia memberikan keterangan soal pemberian uang kepada Rahmat Syahputra. Awalnya ia tak tahu uang yang diberikan ke Rahmat akan digunakan sebagai suap. “Saya tahunya setelah ada persidangan ini,” ujar Anton.
Seluruh uang yang diminta oleh Rahmat—20 % dar iRp 1,8 miliar sesuai saham PT Wika—dikirim ke rekening. Uang Rp 130 juta—setengah dari Rp 253 juta karena perusahaan tak miliki cukup uang— tersebut diberikan tanpa ada bukti penerimaan peruntukan uang. “Saya percaya saja,” Anton menjawab pertanyaan mudah saja baginya memberikan uang tersebut.
Ia jelaskan bukan hanya uang untuk suap saja yang diminta Rahmat, namun ada juga uang Rp 550 juta untuk keperluan sub kontraktor. Secara garis besar Anton menjelaskan ia percaya saja untuk memberikan uang, walaupun tidak ada laporannya.
Saksi berikutnya merupakan Staff BPKP, anggota tim audit venue menembak dan Main Stadium, Iswahyudi, SE, Akt. Ia jelaskan soal permintaan audit berkaitan dengan permintaan Gubernur Riau. “Permintaan audit ini datang dari Gubernur Riau karena Perda Nomor 5 tahun 2008 sudah hampir mati,” ujarnya.
Dari hasil audit, ternyata untuk lapangan tembak ada pekerjaan yang belum selesai tapi sudah dibayar. “Contohnya lampu,” ia juga jelaskan ada juga temuan pembayaran lebih dari 27,5 % namun pekerjaannya belum selesai.
“Untuk main stadium, ditemukan adanya ketidaksesuaian alokasi anggaran. Adanya kekurangan dana sebesar Rp 29 miliar tidak sesuai dengan kontrak yang telah dibuat,” jelasnya dalam persidangan.
Hakim I Ketut Suarta bertanya apa sebenarnya kepentingan melakukan audit. “Saya tidak tahu Pak. Ini dari permintaan Gubernur dan disuruh oleh atasan saya,” jawabnya. Jaksa membacakan BAP Iswahyudi soal hasil audit. “Di sini anda mengatakan perlunya penambahan biaya untuk pembangunan venue,” ujar Jaksa.
Dijelaskan bahwa penambahan dana karena pemindahan lokasi dan perubahan konstruksi atap serta biaya infrastruktur dan landscape. “Ya itu hasil auditnya,” konfirmasi Iswahyudi. Secara garis besar ia bahas soal teknis audit dan nyatakan adanya anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Ir Teguh Indar Madji, M.Bidg, Mantan Staff Ahli Gubernur Bidang Pembangunan jadi saksi ketiga. Ia terlibat dalam PB PON sebagai Wakil Ketua bidang sarana dan prasarana. Penjelasannya terkait alasan pemindahan venue menembak dekat SMK 7 Rumbai. Karena lokasi sebelumnya di komplek Chevron dekat dengan lokasi venue atletik dan renang. “Bunyi tembakan dapat mengganggu jalannya pertandingan di kedua venue tersebut,” jelasnya.
Pertimbangan soal sebagian pembangunan venue tersebut telah berlangsung, dari PB PON mengalihkannya menjadi lokasi venue Wushu. “Karena venue Wushu di UR tidak siap, yang di Chevron kita jadikan gedung pertemuan dan venue Wushu,” ujarnya.
Hakim bertanya asal muasal keinginan perpindahan lokasi. Teguh katakan memang ada perbincangan antara pihak Chevron dengan terdakwa agar lokasi menembak dipindah. Namun keinginan pertama terjadinya pemindahan berasal dari KONI karena melihat tempatnya tidak memadai. “Bukan dari Pak Gubernur. Setelah KONI baru usulan pemindahan disetujui Rosita Salim, Sekretaris Perbakin juga jadi Technical Delegate,” ujarnya.
Ia juga jelaskan alasan lainnya, efisiensi dana. Dibutuhkan dana lebih besar untuk melanjutkan pembangunan venue di areal Chevron dibanding memindahkannya ke lokasi baru. “Di tempat baru Rp 6 miliar, kalau di Chevron sekitar Rp 10 miliar, karena harus menimbun area,” jelasnya.
Saksi keempat menghadirkan Aji Satmoko, Kepala Divisi PT Adhi Karya. Ia pernah bertugas di Pekanbaru di Divisi Adhi Karya Riau pada 2011 dan mengenal Lukman Abbas sejak 1989. Ia bercerita soal permintaan uang dari Lukman Abbas.
Melalui Dicky ia tahu harus ada dana sebesar Rp 700 juta untuk mencairkan anggaran APBN. “Saya berikan saja ke Dicky. Saya percaya saja,” ujarnya. Tak berhenti di sana, permintaan uang kembali datang dari Lukman Abbas sebesar Rp 500 juta. “Ini untuk mencairkan anggaran juga. Katanya untuk bos. Ada kata-kata Pak gubernurnya,” ujarnya.
Permintaan uang terus menerus tersebut sebenarnya sempat Aji diamkan.“Sebulan itu ditagih terus. Lebih dari lima kali.” Akhirnya Aji menyerah dan memberikan uang tersebut.
Sebagai KSO, Adhi Karya mengeluarkan uang sebesar Rp 852 juta untuk pencairan anggaran. Ia tidak tahu siapa yang menerima, karena Judhi yang menyerahkannya ke Lukman Abbas. Lalu ada lagi permintaan $ 200 ribu untuk pencairan dana anggaran APBN. “Saya kasi $100 ribu pakai uang pribadi.”
Lukman Abbas yang dihadirkan sebagai saksi untuk mengkonfirmasi keterangan menyatakan memberikan uang sebesar $200 ribu tersebut ke Senayan. “Saya hanya berikan $100 ribu,” ujar Aji. Perbedaan pendapat datang dari Lukman, “Saya terima $200 ribu. Langsung dikasih ke Senayan,” tukas Lukman.
JPU memutar percakapan telepon antara Aji dan Lukman soal permintaan dana Rp 500 juta untuk Terdakwa. “Iya itu benar,” ujar Aji. Sebenarnya ia merasa kecolongan, karena uang suap yang diberikan kepada DPRD merupakan perda untuk venue menembak, bukan Main Stadium. Seluruh uang yang telah dikeluarkan Adhi Karya totalnya mencapai Rp 7,9 miliar. “Saya tidak tahu uang itu diberikan kepada siapa,” tutur Aji.
Setya Novanto, Ketua Fraksi Golkar di DPR RI memberikan keterangan terkait pertemuannya dengan terdakwa di ruangannya di kantor DPR RI. Ia membantah soal pertemuan tersebut membahas soal dana PON. “Kami hanya membahas temu ramah Golkar, karena saya diundang jadi pembicara,” ujar Setya.
Lukman Abbas langsung dimintai konfirmasi dan menyatakan bahwa kedatangannya bersama terdakwa ke tempat Setya menyampaikan soal PON. Lukman mendengar bahwa ada penjelasan singkat dari terdakwa soal kondisi pesta olahraga yang akan dilaksanakan di Riau tersebut.
Setya tetap membantah soal pembahasan PON saat bertemu, sedangkan Lukman Abbas tetap bersikeras. Hakim mempertanyakan ketidaktahuan Setya soal kegiatan nasional seperti PON. “Anda tidak tahu itu jadi aneh,” ujar Bachtiar Sitompul, Hakim ketua.
Bachtiar mengemukakan logika soal tidak mungkin terdakwa jauh-jauh dari Pekanbaru datang ke Jakarta dan kondisi saat itu sedang terjepit karena kekurangan dana untuk menyelenggarakan PON. “Justru aneh kalau terdakwa tidak bahas soal PON,” tegas Bachtiar.
Saat dimintai tanggapan, Terdakwa membenarkan soal ada pembicaraan soal PON, namun tidak secara khusus, hanya memberitahu sekilas. Setya tetap membantah dan menyatakan tidak ada pembahasan soal itu. “Jadi terdakwa merasa keberatan nggak dengan keterangan saksi?” tanya Bachtiar. “Saya tidak keberatan yang mulia,” tutur terdakwa.
Kesaksian berikutnya datang dari SF Hariyanto, Kepala Dinas Pekerja Umum Propinsi Riau. Hariyanto sebagai Kadis PU dari 2010 hingga sekarang pernah membuat permohonan anggaran APBN untuk pembangunan infrastruktur. Ia mengajukan ke KemenPU dan Kemenpora. “Ini ditembuskan ke DPR RI,” ujar Hariyanto.
Ia membenarkan soal bertemu dengan Setya Novanto bersama Terdakwa, Lukman Abbas dan Khusaini Rahman. “Saya tidak tahu kenapa diajak Pak Gub. Yang jelas saya bantu siapkan data kalau dibutuhkan,” ujar Hariyanto. “Anda tidak tanyakan alasan kenapa anda diajak?” tanya Riyono, JPU. “Saya tidak berani tanya ke atasan saya,” jawab Hariyanto
Setelah pertemuan di ruang Setya, Hariyanto pergi keruangan Kahar Muzakir. “Saya tidak tahu, lupa siapa yang mengajak keruangan Kahar Muzakir,” jawabnya. Berkali-kali Hariyanto ditanya siapa yang mengajak, apakah Lukman Abbas? Atau diarahkan oleh Setya? ia tetap bersikeras menjawab tidak ingat.
Penjelasan Hariyanto soal pertemuan dengan Kahar dan Setya berbelit-belit. Ia mengelak dengan sering menjawab tidak tahu. Ia juga mengaku bahwa tidak mendengar apa yang dibicarakan terdakwa dengan Setya. “Saya tidak fokus,” ujarnya. Hakim menegaskan bagaimana mungkin ia tidak fokus sedangkan itu merupakan pertemuan penting.
Pernyataan Hariyanto soal tidak mendengarkan pembicaraan terdakwa bersama Setya di meja kerjanya dikonfirmasi kepada Lukman Abbas yang menyatakan dapat mendengar bahwa ada membahas soal PON.
Hakim mengetes saksi dengan berbicara tanpa microphone. Karena ia bilang jarak antara meja kerja Setya dengan posisi duduknya, sama dengan jarak meja hakim dan kursi saksi. “Rumah anda di mana?” tanya Bachtiar, ternyata Hariyanto dapat mendengar kata-kata hakim. “Berarti pendengaran anda masih bagus.”
Jawaban Hariyanto yang berbelit-belit membuat hakim menegaskan bahwa ia bisa saja dituntut karena memberika keterangan yang mempersulit persidangan, akhirnya ia mengaku bahwa ada pembahasan soal bantuan PON namun hanya sepuluh menit.
Saksi terakhir, Kahar Muzakir, Anggota DPR RI Fraksi Golkar Komisi X. Ia jelaskan kronologis bertemu dengan rombongan terdakwa di ruangan Setya. “Saya hanya berjabat tangan, belum mengenal nama,” ujarnya.
Ia baru tahu setelah Lukman Abbas mendatangi ruangannya dan memperkenalkan diri. “Lukman Abbas datang menemui saya minta tolong mengecek anggaran sebesar Rp 150 miliar yang ada di sana,” jelas Kahar.
Anggaran tersebut tak jelas apakah untuk Dispora atau PB PON. Karena Lukman Abbas telah menyurati secara resmi untuk meminta anggaran, namun tak ada realisasi, “Sedangkan PB PON yang tidak minta malah dapat dana,” Kahar menjelaskan.
Pernyataan Kahar dikonfirmasi ke Lukman Abbas. Namun Lukman menyatakan bahwa kedatangannya untuk meminta kejelasan dana Rp 290 miliar. “Pak Kahar minta saya memperlihatkan rincian dana Rp 290 miliar untuk apa saja, seminggu kemudian saya antarkan suratnya,” jawab Lukman.
Ketika ditanya kebenaran soal Kahar minta persenan untuk mengurus anggaran, Kahar menolak hal tersebut dan mengatakan bahwa tidak mungkin ia mengurus anggaran sedangkan saat itu sudah tidak mungkin untuk mengajukan penambahan anggaran.
Namun Lukman membenarkan bahwa Kahar minta persenan. “Kahar minta uang karena ia telah membantu adanya penambahan anggaran.” Ia meminta setengah dari dana. Lukman memperkirakan itu adalah 6% dari Rp 290 miliar yang berarti $850 ribu. Setelah memberikan uang tersebut ternyata Kahar minta tambah $200 ribu lagi. “Saya tidak ada meminta uang,” ujar Kahar.
Lukman menceritakan soal kronologis pemberian uang. Ia menemui Kahar di ruangannya dan memberitahu soal uang, barulah Kahar minta tambah dan Lukman menyatakan akan memberikan pada pertemuan selanjutnya.
Ia turun lift bersama staff Kahar, Wihaji. Mereka menuju café di DPR sambil menunggu supir Lukman. “Saya sudah pesan ke supir agar hati-hati membawa tas tersebut karena berisi uang,” ujar Lukman.
Setelah supir Lukman datang dengan mobil, Wihaji duduk di samping supir dan menuju mobil staf Kahar. Pertemuan selanjutnya untuk uang tambahan $ 200 ribu juga sama.
Kahar membantah soal penerimaan uang dengan alasan logis bahwa saat itu tidak lagi bisa menambah anggaran. Lukman membantah dan memberikan keterangan bahwa saat itu Kahar menyatakan bisa menggunakan dana darurat.
“Sudahlah, kalau seperti ini nggak selesai-selesai kita,” ujar Lukman Abbas mulai emosi sambil berdiri memberikan microphone kepada Kahar. Kahar tetap bersikeras itu tidak ada, karena dana darurat hanya diberikan untuk bantuan bencana.
Hakim mempertanyakan soal perbedaan pernyataan antara Lukman dan Kahar. “Bisa jadi Lukman yang ambil sendiri atau bisa jadi memang benar ada untuk Kahar.” Sangat tidak mungkin melihat usaha Lukman mengumpulkan uang kepada perusahaan yang terlibat PON namun uang tersebut tiba-tiba hilang. “Beruntunglah mereka yang menemukan kedua tas tersebut,” ujar Bachtiar. Seluruh pengunjung tertawa mendengar pernyataan ini.
Sidang dilanjutkan pada Rabu depan, 5 Februari 2014. “Saya minta tolong dihadirkan saksi staff Kahar, Kahar Muzakir juga harus hadir lagi, supir Lukman Abbas, ajudan terdakwa dan supir dari Aji,” ujar Bachtiar sebelum menutup sidang. #Yaya-rct