PN Pekanbaru, Selasa 6 November 2017—terdakwa Noviar Indra Putra Nasution, Suherlina dan Widawati kembali menjalani sidang perkara tindak pidana korupsi, atas penggunaan dana siap pakai pada masa tanggap darurat bencana Karhutla di Dumai 2014. Kali ini, majelis hakim meminta ketiganya menjelaskan penggunaan dana tersebut yang menjadi kerugian negara.
Noviar mengaku, selama masa tanggap darurat ditetapkan 32 hari, telah menerima dua kali dana siap pakai yang totalnya lebih dari Rp 700 juta. Dana itu dijemput langsung ke BPBD Provinsi dalam bentuk lembaran cek lalu diuangkan di BRI Cabang Dumai. Uang itu kemudian disimpan dalam brankas bendahara pengeluaran BPBD Dumai yang dijabat Widawati.
Sesuai aturan, Noviar harusnya mengusulkan pada BNPB untuk mengangkat bendahara pengeluaran pembantu dan pejabat pembuat komitmen guna mengelola dana. Nyatanya, itu tidak dilakukan. Dia mengatakan, sudah menandatangani surat usulan itu tapi tidak sampai ke BNPB. Widawati pernah diperintahnya untuk mengecek surat itu ke BNPB, namun tidak menemukannya.
Noviar tidak tahu menahu soal pemberian honor pada tim komando karena, urusan ini langsung ditangani Suherlina. Tapi, Noviar mengaku juga menerima uang lelah karena namanya tercantum dalam relawan Radio Antar Penduduk Indonesia Dumai yang turut serta dalam tim komando tanggap darurat. Padahal, dia bukan anggota organisasi itu.
Noviar juga minta uang Rp 7 juta pada Widawati yang diambil dari dana siap pakai. Katanya, uang itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk bayar utang pada orang, yang pernah dipinjamnya untuk operasional BPBD Dumia. Selama jadi Kepala Pelaksana BPBD Dumai, Noviar mengaku, kesulitan mencari dana.
“Pemadaman api waktu itu tidak hanya saat masa tanggap darurat, tapi sebelum dan sesudah masa itu terus ada pemadaman,” katanya.
Noviar menyebut, Said Mustafa Sekda Dumai kala itu, meminta uang Rp 30 juta untuk perayaan ulang tahun di lingkungan Sekda Dumai. Uang itu diambil dari dana siap pakai. Noviar kemudian mengaku, telah menyalahgunakan kewenangannya menggunakan dana itu yang tidak sesuai RAB atau peruntukannya.
Selain itu, Suherlina juga berkata demikian. Sebagai Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Dumai, dia juga tidak punya kewenangan atas pengelolaan dana siap pakai. Nyatanya, Suherlina aktif bagi-bagi honor pada tim komando yang sebagiannya dipotong dan tidak sesuai dengan kinerja tim. Dia tahu, ada yang tidak bekerja penuh selama 32 hari, ada yang tidak bekerja sama sekali tapi tetap diminta tandatangan seolah telah bekerja penuh selama 32 hari.
Ketika ditanya, kemana uang lelah yang dipotong itu? Suherlina menyebut, digunakan untuk tambahan biaya di lapangan. Katanya, dilapangan tetap membutuhkan dana lebih dari yang diberikan BNPB. “Banyak masyarakat yang turut membantu padamkan api dan mereka butuh nasi bungkus. Air minum juga sampai tak terhitung banyaknya.”
Suherlina mengaku, khilaf soal anggaran pembelian masker Rp 20 juta namun nyatanya tak ada pembelian barang itu. Selama masa tanggap darurat, masker sudah disediakan dinas kesehatan. Ke mana uang itu? Suherlina kembali mengatakan, untuk biaya operasional di lapangan.
Soal peminjaman CV Qiyamma untuk laporan pertanggungjawaban, Suherlina mengatakan, dalam laporan penggunaan dana untuk konsumsi harus memakai perusahaan yang berbadan hukum. Rumah Makan Pak Tonel dan Abang Yunior tempatnya beli nasi bungkus hanya rumah makan biasa. Tapi, Suherlina juga meminjam perusahaan itu untuk bukti pembelian masker padahal tidak pernah ada belanja sama sekali di tempat itu.
Widawati, yang buat laporan pengeluaran dan mengeluarkan dana siap pakai yang dibutuhkan, hanya menerima kuitansi dari Suherlina dan tandatangan terima honor. Dia tidak tahu menahu soal potongan uang lelah, pembelian nasi bungkus dan pembelian masker termasuk benar tidaknya belanja sejumlah barang di CV Qiyamma.
“Hanya mencatat setiap pengeluaran dan bukti-buktinya,” kata Widawati.
Soal uang Rp 30 juta yang diminta Said Mustafa, dia tahu tapi tak ada bukti tanda terima uang. Terakhir, Widawati telah mengembalikan Rp 27 juta sisa dana pakai yang tidak digunakan.
Pemeriksaan ketiganya berlangsung dramatis. Noviar sempat menitikkan air mata. Dia mengaku tidak tahu menahu soal bagaimana cara menggunakan uang itu. Semuanya dikerjakan Suherlina. Ketua Majelis Hakim Bambang Miyanto, menasehatinya, karena tak ada alasan bagi pimpinan tak tahu soal aturan.
Saat bersalaman pada penuntut umum, Noviar sempat hendak memukul meja dan berteriak lalu bergegas ke bangku pengunjung. Di situ, dia masih berteriak dan menundukkan kepalanya seperti tidak menyangka perbuatannya sampai ke meja hijau.
Penuntut umum akan menyampaikan tuntutannya pada Rabu 14 November 2018.#Suryadi