#Siaran Pers Bentangan Jelang Putusan Syahrir
Jakarta, 15 Agustus 2023 — Senarai, Jikalahari, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyelenggarakan diskusi media terkait kasus korupsi Hak Guna Usaha (HGU) oleh Syahrir, mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Riau dan Maluku Utara. Syahrir dituntut 11 tahun enam bulan oleh Jaksa Penuntut Umum atas tindak pidana suap, gratifikasi, dan pencucian uang. Diskusi ini dilaksanakan secara luring di Kawisari Café & Eatery juga secara daring melalui zoom.
Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai yang telah melakukan pemantauan sidang selama 4 (empat) bulan dan 23 (dua puluh tiga) kali persidangan. Jeffri menjelaskan bahwa Syahrir menerima uang dari pegawai atau bawahannya serta dari tiga belas perusahaan. Lebih lanjut, Jeffri menyebutkan bahwa beberapa modus korupsi Syahrir adalah menerima gratifikasi dalam perpanjangan dan pembaharuan HGU perusahaan tambang dan sawit, pembukaan blokir serta percepatan pelaksaan ekspos. Terkait dengan pencucian uang, Jeffri menjelaskan bahwa Syahrir melakukannya dengan menukarkan mata uang asing ke rupiah, menitipkan uang di rekening keluarganya, juga dengan membeli sembilan bidang tanah. Berdasarkan pantauan Senarai, Jeffri menyatakan “Senarai mendesak agar Syahrir tidak diberi kebebasan dan dihukum semaksimal mungkin, yaitu 20 tahun dan kami juga meminta agar harga benda yang ia miliki serta hasil dari pencucian uang dirampas.”
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL yang membahas keterkaitan kasus Syahrir dengan tata kelola perizinan di sektor pertanahan. Dari kasus ini, Raynaldo melihat penting bagi KPK dan Kementerian ATR/BPN untuk menelusuri seluruh penerbitan dan perpanjangan HGU yang melibatkan Syahrir. Lebih lanjut, penting untuk melihat celah-celah korupsi pada mekanisme perizinan di tengah upaya digilitasasi yang bertujuan menghilangkan hal tersebut. Lebih lanjut, Raynaldo menyatakan “Kementerian ATR/BPN harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam perpanjangan HGU serta membuka HGU sebagai informasi publik.”.
Kemudian, pemaparan ketiga dilakukan oleh Made Ali, Koordinator Jikalahari yang menjelaskan mengenai kondisi di Riau serta potensi korupsi HGU pasca penyelesaian perkebunan kelapa sawit di Kawasan Hutan melalui Pasal 110A UU P3H jo. UU Cipta Kerja. Ia menyebutkan bahwa di Riau, korporasi menguasai hutan, kebun sawit, serta tanah melalui praktik-praktik yang korup. Made pun menyebutkan bahwa berdasarkan temuan Pansus DPRD Provinsi Riau 2015, dari 15 perusahaan yang terlibat suap dalam kasus Syahrir, 6 merupakan pengemplang pajak senilai 1,2 triliun rupiah potensi pajak per tahun. Terkait dengan Pasal 110A UU P3H jo. UU Cipta Kerja, Made menyatakan bahwa, “Ketika perusahaan dilepas dari kawasan hutan, maka mereka harus mengurus HGU di Kementerian ATR/BPN, Menteri ATR/BPN pun tidak mau membuka transparansi HGU meskipun sudah ada putusan in kracht, sebab itu menjadi sumber dana, wilayah-wilayah gelap yang tidak dapat dipantau.”
Terakhir, diskusi diikuti dengan pemaparan oleh Prof. Hariadi Kartodihardjo selaku Guru Besar IPB yang menjelaskan mengenai perbaikan tata kelola sumber daya alam dan agraria. Prof. Hariadi menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari sistem perizinan di Indonesia. Prof. Hariadi juga membahas mengenai luasnya jaringan dalam hal korupsi di sistem perizinan terkait tanah. Prof. Hariadi selanjutnya menekankan pentingnya menjadikan korupsi sebagai salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pembentukan kebijakan publik. “Korupsi praktis berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, ketika kita gagal melihat ini, kita pasti gagal untuk membuat ekonomi yang adil, karena pertanahan merupakan basic kehidupan manusia”, ujarnya.
Indonesian Center for Environmental Law, Senarai, Jikalahari
Narahubung:
Difa Shafira : +62 858-1477-6109
Jeffri : +62 853-6525-0049
Arpiyan : +62 823-8992-7052