PN Siak, Senin 21 Mei 2018—ketua majelis hakim Lia Yuwannita bersama anggota Dewi Hesti Indria dan Risca Fajarwati, membuka sidang perkara pidana kebakaran hutan dan lahan dengan terdakwa PT Triomas Forestry Development Indonesia (TFDI), diwakili Supendi sebagai direktur.
Sidang berlangsung di ruang kartika sekitar pukul 1 siang. Penuntut umum hadirkan Ardesianto dan Agus Hartono sebagai saksi ahli.
Ardesianto Kasi Pemetaan dan Inventarisasi Hutan Dinas Kehutanan Riau saat PT TFDI mengajukan pelepasan kawasan hutan pada 1999. Izin baru keluar pada 2006 seluas 10.700 ha di Sungai Apit.
Areal yang diajukan PT TFDI sebagian tanaman sagu, semak belukar dan sebagian masih hutan.
Pada 2016, penyidik lingkungan hidup dan kehutanan memberikan 4 titik koordinat pada Ardesianto untuk diploting. Titik koordinat tersebut berada dalam areal pelepasan kawasan PT TFDI yang terbakar.
“Sebenarnya itu belum semua titik koordinat yang terbakar. Saya hanya dikasih 4,” kata Ardesianto. Saat diperiksa, ia sudah ganti jabatan Kasi Perencanaan dan Tata Hutan. Selama pemeriksaan ia tak pernah ke lapangan. Hanya ploting titik koordinat di kantornya.
PT TFDI punya persetujuan prinsip dari gubernur saat memohon pelepasan kawasan hutan. Setelah dapat SK, selanjutnya itu jadi dasar perusahaan untuk memohon hak guna usaha.
Kata Ardesianto, kalau luas HGU berkurang dari luas izin pelepasan yang telah diberi, PT TFDI harus mengembalikan sisanya pada negara lewat Pemda setempat.
Selanjutnya Agus Hartono yang diperiksa. Ia dari Kementerian Pertanian. Pernah sebagai Kasi Pencegahan Kebakaran. Sekarang Kasi Dampak Perubahan Iklim. Pernah tergabung dalam tim UKP4.
Hasil audit tim, PT TFDI tidak patuh karena tidak memiliki sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. “Mereka punya SOP tapi tidak dijalankan dengan maksimal,” kata Agus Hartono.
Padahal, kata Agus Hartono, dalam dokumen izin usaha perkebunan perusahaan wajib mematuhi hal tersebut. Perusahaan bahkan harus buat surat pernyataan kesanggupan menyediakan sarana dan prasarana.
“Hasil pengecekan kami, sarana dan prasarana tidak dipenuhi semua,” jelas Agus Hartono.
Keharusan perusahaan menyediakan sarana dan prasarana dijelaskan dalam UU 39 tahun 2014 tentang perkebunan, serta Permentan 98 tahun 2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebuanan.
UKP4 juga buat pedoman pemenuhan sarana dan prasarana. PT TFDI diminta melengkapinya sesuai dengan pedoman tersebut. Dalam pedoman itu jelas disebutkan jumlah dan kriteria sarana dan prasarana yang harus disediakan.
Missal, kebun dengan luasan 500 ha harus ada 1 menara pemantau api. Tingginya 15 meter. Kerangkanya dari baja atau besi. Bikin parit dengan lebar 3 sampai 6 meter. Kedalaman 1,2 sampai 1,8 meter. Parit ada 3 macam yakni, primer, sekunder dan tersier.
Parit primer bagian terluar kebun yang berbatasan dengan kebun pihak lain atau masyarakat. Parit sekunder bagian dalam kebun yang menghubungkan air ke parit primer. “Begitu selanjutnya parit tersier.”
Masih dengan luasan yang sama, perusahaan harus punya regu pemadam berjumlah 15 orang. Itu sebagai regu utama untuk memantau hotspot dan patroli.
Selain PT TFDI dinyatakan tidak patuh, tim UKP4 Agus Hartono waktu itu juga menyatakan Pemda Siak tidak patuh karena lalai mengevaluasi dan mengawasi perusahaan yang ada di wilayahnya.
PT TFDI diberi waktu 1 tahun untuk memenuhi rekomendasi tim UKP4. Setelah itu, tim ini tak sempat mengevaluasi rekomendasinya karena tim telah dibubarkan.
“Selanjutnya dinas terkait yang evaluasi,” jelas Agus Hartono.
Sidang dilanjutkan, Senin 28 Mei 2018.#Suryadi