Karhutla PT Gandaerah Hendana

Gandaerah Hendana Dihukum 216 Miliar. Sengaja Bakar Lahan !

Sidang Ke 13 – Putusan

PN Rengat, 10 November 2021—Dua bundel barang bukti yang diserahkan penuntut umum dan penasihat hukum minggu lalu, sudah terletak sejak pagi dimeja majelis hakim. Tebal kertas satu setengah jengkal dan dua jengkal dewasa. Nora Gaberia Pasaribu bersama Maharani Debora Manullang dan Mochamada Adib Zain baru masuk ruangan usai istirahat siang.

Jaksa penuntut umum Kejaksaaan Negeri Indragiri Hulu Jimmy Manurung dan Andi Sinaga serta Tim Penasihat Hukum Asep Ruhiat sudah menempati posisi. Jeong Seok Kang Direktur Utama yang mewakili Terdakwa PT Gandaerah Hendanan (GH) duduk bersama penerjemahnya.

Peserta sidang setuju pembacaan putusan langsung pada pertimbangan dan analisis hukum. Hakim membaca putusan secara bergantian, langsung pembuktian dakwaan alternatif kesatu Penuntut Umum yakni Pasal 98 sebab pasal ini paling relevan untuk dibuktikan.

Pertama unsur setiap orang yang menunjuk pada badan usaha, hakim berpendapat PT GH berhak diwakili identitasnya oleh Jeong Seok Kang untuk hadir didalam dan luar pengadilan. Serta pertanggung jawabkan dakwaan yang dikenakan padanya. Ini mengacu pada Keputusan Mahkamah Agung 36/2013.  

Kedua unsur dengan sengaja melakukan perbuatan,  sebab hakim belum menemukan adanya defenisi soal kesengajaan yang rijit. Hakim percaya bahwa GH menghendaki dan mengetahui akibat dari perbuatan yang sedang dilakukan, serta sudah membayangkan akibat yang akan timbul dari perbuatan tersebut. Istilah ini sering disebut Kesengajaan sadar kemungkinan, adanya perbuatan sadar dilakukan tetapi tidak berhenti untuk terus dilakukan.

Untuk menentukan suatu kesalahan dapat dilihat dari, keuntungan yang didapat dari tindakan pidana, pembiaran tindakan pidana agar terus terjadi dan tidak melakukan upaya apapun untuk mencegah tindak pidana.

Memang selama persidangan memang belum ditemukan pelaku sengaja bakar lahan, namun hakim tetap terus mendukung penegakan hukum untuk mencari pembakarnya. Tapi tidak punya kewenangan untuk mencarinya sebab itu bukan ranah kerja hakim.  Meskipun pelaku belum ditemukan, perusahaan tetap bisa dimintai pertanggung jawaban sebab tidak melengkapi sarana-prasanara (Sapras), sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

ini terbukti kalau lahan yang terbakar memang milik GH, karena telah terbit Sertifikat Hak Guna Usaha diatas lahan tersebut. Seharusnya kelengkapan yang diwajibkan pemerintah dalam banyak peraturannya  harus dilengkapi. Dan ternyata pada lokasi terbakar tidak ada sama sekali Sapras, paling dekat berjarak 2 sampai 5 Kilometer. Tidak adanya struktur organisasi dan standar kerja pemadaman api serta pengawasan lahan. Lalu lahan yang terbakar itu adalah gambut, seharusnya fungsi tidak boleh rusak maupun terganggu.

Perusahaan beralasan, tidak adanya upaya pencegahan dan penanggulangan karena lahan tidak dianggap milik mereka lagi. Dan hanya pimpinan pusat yang mengetahui itu lahan milik GH sedangkan para pimpinan lapangan tidak tahu sama sekali. Hakim berpendapat perbuatan yang dilakukan GH tidak sesuai dan melanggar hukum harusnya mereka wajib menjaga dan melindungi lahan usahanya bukan malah membiarkan.

Lahan tidak boleh semata-mata tidak dianggap  lagi padahal dalam dokumen lingkungan (Amdal , RKL-RPL) itu masih milik GH. Dan sampai sekarang belum berubah. Kabakaran 3 sampai 24 September 2019 jika mengacu dalam dokumen lingkungan harusnya bisa diantispasi. Jika masih beralasan lahan telah lama diduduki masyarakat, harusnya konflik ini segera diselesaikan, tetapi kewajiban harus tetap dipenuhi, kalau tidak keluarkan lahan jauh-jauh hari dari seluruh dokumen.

 Inilah menjadi dasar hakim menyatakan bahwa PT GH telah sengaja membiarkan terjadinya kebakaran.

Kenapa pimpinan lapangan dan para petugasnya tidak melakukan tindakan apapun dapat dimaklumi sebab memang mereka tidak tahu. Buktinya dalam peta kerja, lahan terbakar tidak masuk areal yang harus dipantau. Harusnya pimpinan pusat yang bertanggung jawab dan instruksikan untuk segera melakukan pemadaman.  Bukan hanya datang kelokasi terbakar sifatnya hanya sekedar membantu. Itu lahan PT GH dan harus bertanggung jawab.

Dan kedatangan tim pemadam GH serta Saprasnya 12 Sepetember atau 9 hari pasca api timbul, ini jadi bukti pemadaman tidak sungguh-sungguh dilakukan, api makin besar dan padam setelah hujan deras. Sampai akhirnya dampak serius terjadi. Jika alasannya regu pemadam sulit masuk kelokasi karena dihadang  PT MKS tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menambah alat dan Sapras untuk mematikan api. Dan saat itu GH sudah bisa membayangkan akibat yang terjadi jika karhutla tetap terjadi.

Ketiga, unsur yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, air, air laut atau kriteria kerusakan lingkungan hidup. Terkait adanya perbedaan tentangan luasan lahan yang terbakar, hakim pilih hasil hitungan dan analisis yang dilakukan ahli Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, yakni terbakar 580 hektar.

Serta hasil analisis yang dilakukan kedua ahli menyatakan memang terjadi kerusakan pada gambut yakni hilang setebal 10 sampai 20 centimeter. Terjadi kematian 100% spesies mahluk hidup yang berada pada gambut.  Telah terjadi pelepasan gas rumah kaca yang mengakibatkan timbulnya gas beracun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.  Hakim memakai hasil hitungan ini sebagai alat bukti yang sah. Ditambah memang tidak adanya ahli pembanding didatangkan penasihat hukum untuk membantah hasil analisis tersebut.

Atas semua pertimbangan ini, memang tepatlah PT GH secara penuh melanggar Pasal 98 ayat (1) UU 32/2009.

Hakim tidak setuju dengan pendapat penasihat hukum dalam pleiodoi-nya terkait penerapan Pasal 98 harus dikaitkan dengan Pasal 108. Hakim berpendapat kalau Pasal 98 dengan Pasal 108 ranahnya beda. Pasal 98 membahas unsur materil akibat dari dilampauinya baku mutu. Sedangkan Pasal 108 membahas unsur formil dari pembakaran lahan.

Lalu terkait, PT GH tidak tepat dijadikan terdakwa. Hakim berpendapat dari hasil rapat pemegang saham Jeong Seok Kang yang bisa mewakili perusahaan dalam urusan dalam dan luar pengadilan. Serta paham dakwaan yang dikenakan penuntut umum.

Selanjutnya, lahan terbakar sudah dikuasai masyarakat turun-temurun. Dan sudah diterbitkan oleh BPN Inhu sertifikat tanah diatas lahan tersebut.

Jika perusahaan mengaku bahwa lahan sudah dikuasai masyarakat dan dikerjasamakan pola KKPA dengan PT Mitra Kembang Selaras. Sebenarnya siapa yang sedang berkonflik disana, PT GH melawan masyarakat atau PT GH melawan PT MKS. Bila ada penolakan dari masyarakat seharusnya dilakukan komunikasi yang baik. Konflik juga tidak terbukti terjadi sebab GH masih bisa membuat embung, menara api dan Kelompok Tani Peduli Api di lokasi terbakar saat kebakaran dan setelahnya. Berarti GH bisa masuk ke lahan terbakar dan masyarakat setuju keberadaan perusahaan.

Jika sejak awal GH konsen membangun kebunnya tidak mungkin masyarakat datang menduduki lahan dan menganggap itu terlantar. Faktanya GH baru melakukan upaya pengambilan lahan sejak 2005 padahal HGU terbit sejak 1997. Apa Motivasi PT GH membuat masalah ini berlarut-larut?

Upaya pengurangan HGU terbakar  Desember 2020 lalu untuk dijadikan program reforma agraria hanyalah alasan yang dibuat-buat. Harusnya perusahaan melakukan ganti-rugi dengan masyarakat atau menginklave kembali lahan untuk dikeluarkan sejak dahulu, bukan pasca kebakaran.

Selama persidangan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar yang bisa menghilangkan pidana yang sudah dilakukan GH. Dan terbukti dalam sidang PT GH tidak melakukan upaya apapun atas lahan terbakar dan sedang  yang diduduki masyarakat itu. Perusahaan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Hakim menyayangkan GH tidak belajar dari kebakaran pada 1997 membakar 214 hektar dan 1998 seluas 1.090 hektar, ini bukti GH memang abai. Kebakaran 3 sampai 24 September telah menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup, manusia dan ekosistem.

Pemerintah sebagai pemberi izin harusnya merespon cepat karhutla. Dan lebih selektif lagi dalam mengeluarkan izin. Jangan sampai izin tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Serta harus rutin melakukan evaluasi izin sebagai upaya untuk mencegah terjadinya Karhutla.

Sebelum masuk amar putusan disampaikan dahulu hal memberatkan buat PT GH yakni, kebakaran yang terjadi pada lokasi usahanya telah mempercepat terjadinya pemanasan global dan pencemaran lingkungan hidup. Hal meringankan, selama pemeriksaan terdakwa selalu bersifat kooperatif.

Hakim putuskan PT GH melanggar dakwaan alternatif kesatu yakni Pasal 98 ayat 1 jo Pasal 116 ayat 1 huruf a jo Pasal 118 ayat 1 jo Pasal 119 ayat 1 UU 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denda 8 Miliar dan perbaikan lingkungan 208 Miliar.  Atas putusan ini penuntut umum dan penasihat hukum pikir-pikir. Sidang selesai.#Jeffri

About the author

Jeffri Sianturi

Sejak 2012 bergabung di Bahana Mahasiswa. Menyukai Jurnalistik setelah bertungkus lumus mencari ilmu di lembaga pers mahasiswa ini. Menurutnya, ia telah 'terjebak di jalan yang benar' dan ingin terus berada di jalur sembari belajar menulis memahami isu lingkungan, korupsi, hukum politik, sosial dan ekonomi.
Siap 'makan' semua isu ini, ayo bumikan minum kopi.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube