Pekanbaru, Senin 12 November 2018—Senarai merekomendasikan pada penuntut umum supaya menuntut Noviar Putra Indra Nasution, Suherlina dan Widawati dengan pasal 2 ayat (1) UU RI nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang, pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ketiganya telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 219. 198.457.
“Dipersidangan, ketiganya mengaku tidak berwenang mengelola dana siap pakai yang dikucurkan BNPB,” kata Ahlul Fadli, Koordinator Senarai.
Peristiwa itu terjadi dari Maret hingga April 2014, saat Wali Kota Dumai menetapkan status tanggap darurat akibat bencana Karhutla. Khairul Anwar, wali kota waktu itu, juga membentuk tim komando tanggap darurat dari berbagai kalangan, baik masyarakat hingga instansi terkait bencana. Mereka diberi waktu 32 hari bahu-membahu padamkan api dan bantu warga yang terpapar asap.
Untuk menunjang aktivitas tim, Noviar Indra Putra Ketua BPBD Dumai menerima dua kali dana siap pakai. Masing-masing Rp 150.000.000 dan Rp 581.160.000. Bersama Suherlina, Kasi Kedaruratan dan Logistik serta Widawati, Bendahara Pengeluaran, Noviar mengelola uang itu.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105 tahun 2013 yang dijelaskan lebih rinci dalam peraturan Kepala BNPB, Noviar harus mengangkat bendahara pengeluaran pembantu dan pejabat pembuat komitmen untuk mengelola dana tersebut. Dana itu juga harus disimpan dalam rekening khusus atasnama ‘BPBD Dumai Dana Siap Pakai’.
“Ternyata uang itu dikelola langsung dan disimpan dalam brankas,” ujar Ahlul Fadli.
Itu juga diakui Setiawan Cahya dan Eko Budiman. Noviar, hanya menunjuk Widawati bendahara pengeluaran BPBD untuk menyimpan dana tersebut tanpa membuka rekening khusus.
Tapi, Noviar mengatakan, sudah menandatangani surat usulan itu ke BNPB. Nyatanya, surat itu tidak sampai. Widawati sempat cek surat itu ke BNPB, memang tak ada sampai dan tidak tercatat dalam surat masuk instansi itu.
Selanjutnya, tambah Ahlul Fadli, penggunaan dana itupun dilakukan dengan semena-mena, tidak sesuai aturan BNPB serta melenceng dari rencana anggaran dan biaya.
Suherlina, terbukti, membagi honor tim komando tidak sesuai dengan besaran yang diatur dalam peraturan BNPB yakni, Rp 100.000 per hari. Honor diberikan pada orang yang tidak bekerja penuh bahkan tidak pernah bekerja sama sekali selama masa tanggap darurat. Seperti pemberian honor pada relawan yang tergabung dalam organisasi radio antar penduduk Indonesia Dumai, yang diketuai Eko Suharjo, sekarang Wakil Wali Kota Dumai. Hanya beberapa orang dari relawan itu yang betul-betul terlibat menanggulangi bencana Karhutla.
Namun, hasil audit Sunarto, Pegawai BPKP Perwakilan Riau, membuktikan, Suherlina ternyata memotong sebagian honor atau uang lelah tim.
Suherlina, memang mengaku berbuat demikian tapi sedikit berkilah. Katanya, Uang itu digunakan untuk biaya operasional tambahan di lapangan karena, banyak masyarakat yang bantu padam api harus diberi makan.
Suherlina dan Widawati juga terbukti memanipulasi laporang pertanggungjawaban. Buat kwitansi palsu pembelian masker, padahal tidak pernah ada pembelian barang itu. Laporan belanja makan, minum, pembuatan spanduk dan pembelian masker pakai kuitansi CV Qiyamma. Supujotiyono, pemilik cv kemudian mengaku, Suherlina memang tidak pernah belanja di tempatnya. Ia hanya dijanjikan fee 2 persen oleh Suherlina.
Suherlina dan Widawati masih berkilah karena khilaf disamping juga mengaku masker sudah disediakan dinas kesehatan waktu itu. Kemana uangnya? Lagi-lagi kata Suherlina, untuk biaya di lapangan karena uang dari BNPB tidak cukup.
Suherlina sebenarnya belanja makan dan minum di Rumah Makan Pak Tonel dan Rumah Makan Abang Yunior. Yusmai Warnis dan Rusdin pemilik rumah mengakuinya ketika diperiksa penyidik. Tapi, Suherlina butuh tempat usaha yang berbadan hukum supaya profil usaha dan kwitansinya dapat digunakan untuk pertanggungjawaban pengguna dana siap pakai tadi.
“Dari situ sebenarnya sudah salah. Suherlina telah buat kwitansi palsu. Dalam RAB konsumsi dibuat nasi kotak nyatanya yang dibeli nasi bungkus,” sebut Ahlul Fadli.
Dari hasil pemalsuan laporan tersebut, Sunarto menemukan adanya kelebihan pembayaran yang tidak dikembalikan terdakwa Noviar, Suherlina dan Widawati. Pengakuan Suherlina, ia bagi-bagi uang Rp 30 juta pada Said Mustafa Sekda Kota Dumai dan Rp 20 juta pada almarhum Ferialdi pegawai BPBD Riau. Said Mustafa tidak mengakuinya saat bersaksi di persidangan.
Seperti Suherlina, Noviar juga mengaku beri uang pada Said Mustafa. Katanya, untuk perayaan ulang tahun di Sekda Dumai waktu itu. Sisa dana siap pakai yang dikembalikan Widawati hanya Rp 27.000.000, lebih sedikit dari kerugian negara yang dihitung Sunarto.
Untuk itu, Senarai merekomendasikan supaya penuntut umum:
- Menuntut Noviar dan Suherlina penjara 7 tahun dan Widawati 4 tahun serta denda masing-masing Rp 200.000.000
- Jaksa penuntut umum mendalami pemberian uang lelah pada Eko Suharjo waktu jadi Ketua RAPI dan sekarang Wakil Wali Kota Dumai. Begitu juga terhadap Said Mustafa Sekda Dumai waktu itu yang meminta uang Rp 30.000.000 pada Noviar.
- Komisi Yudisial memeriksa M Suryadi karena diduga melanggar KEPPH. Senarai beberapa kali melihatnya berhubungan dengan pihak berperkara di luar persidangan.
Narahubung:
Ahlul Fadli—0852 7129 0622
Suryadi M.Nur—0852 7599 8923