#AkademisiRiauMatiSuri
Akhir-akhir ini, gerakan mendukung KPK tidak hanya dari kalangan masyarakat sipil, tapi juga dari sivitas akademika. Misalnya, Rektor IPB mendatangi langsung Komisioner KPK beri dukungan moril bentuk penolakan terhadap pelemahan KPK. Dukungan serupa juga ditunjukkan Dewan Guru Besar IPB termasuk Forum Dosen dan mahasiswa IPB.
Sivitas akademika UGM punya cara tersendiri. Ratusan akademisinya berunjukrasa menolak revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengajukan petisi penolakan. UGM bahkan berani kritik sikap Jokowi yang lembek dan mendukung revisi UU KPK. Dewan Guru Besar UGM juga bereaksi minta DPR hentikan pembahasan RUU KPK. Bahkan, Pusat Kajian Anti Korupsi UGM akan mengajukan permohonan uji materi hasil revisi UU KPK yang baru disahkan ke MK.
Seruan penolakan revisi UU KPK juga disampaikan dosen UI, mahasiswa UI, ITB, UPN dan Unindra. Mereka minta DPR hentikan intervensi terhadap KPK. BEM UI dan Trisakti aksi depan gedung KPK dengan menyalakan lilin tengah malam, menolak pelemahan komisi antirasuah. Mereka bermalam dan berhari-hari minta Jokowi cabut revisi UU KPK.
Senin 23 September 2019, di Yogyakarta juga berlangsung aksi dengan tagar Gejayan Memanggil. Kali ini tidak hanya diikuti mahasiswa, melainkan pelajar, pekerja dan masyarakat atas nama Aliansi Rakyat Bergerak. Meski beberapa kampus menyatakan sikap menolak terlibat, aksi itu tetap berlangsung. Mereka menuntut penundaan beberapa rancangan UU yang tidak berpihak pada masyarakat dan merusak agenda reformasi serta menindak perusahaan pembakar hutan dan lahan. Rektor UII bahkan turut mendorong dan mendukung semua warga kampusnya yang peduli terhadap permasalah bangsa ini.
Kenapa akademisi di Riau tidak melakukan aksi serupa?
Kenyataan selama ini dapat dilihat, banyak akademisi di Riau jadi ahli membela terpidana koruptor dan jadi lawan KPK di persidangan. Kedekatan dan kepentingan inilah yang buat akademisi di Riau tak tampil membela KPK selama pemilihan Capim KPK dan gonjang-ganjing revisi UU KPK sampai ia disahkan. Akademisi di Riau takut kehilangan mata pencaharian dari para koruptor yang sewaktu-waktu butuh jasa mereka dengan teori-teori hukum yang dimilikinya untuk membela para koruptor tersebut.
Begitu juga saat Riau dilanda kebakaran hutan dan lahan serta diselimuti asap pekat. Tak ada akademisi di Riau yang berani kritik perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan. Bahkan, ada rektor memanggil dan mengancam mahasiswanya yang terlibat aksi melawan asap beberapa hari ini. Ada pula rektor yang justru minta maaf karena mahasiswanya turun ke jalan menuntut penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan.
Sikap pengecut itu tampak karena selama ini akademisi di Riau terbiasa dapat proyek penelitian dari perusahaan yang merusak lingkungan di Riau. Kampus-kampus di Riau juga terbiasa terima bantuan dari perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan itu. Mereka takkan dapat duit dan proyek bila terlalu kritis.