–Catatan Sidang Kedua Korupsi Alih Fungsi Hutan Riau atas nama Gulat Manurung
- AUDIO SIDANG: GULAT SIDANG KEDUA
- VIDEO SIDANG: GULAT VIDEO SIDANG KEDUA
PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA. SENIN, 22 DESEMBER 2014–Berpakaian serba putih, Eddy Ahmad RM, pemilik Koran Riau, duduk di depan ruang sidang sembari merokok. Ia salah satu saksi yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum. Sembari menunggu sidang, ia bincang santai bersama temannya. Sesekali mereka tertawa bersama.
Sepuluh menit kemudian, lima Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi keluar dari pintu lift. Mereka jalan beriringan bawa koper berisi barang bukti.
“Sidang Gulat hari ini ada tujuh saksi,” kata Luki Dwi Nugroho, salah satu jaksa, kepada awak media di depan pintu ruang sidang. Petugas pengadilan persiapkan ruangan. Screen dan infokus dipasang. Jurnalis bersiap dengan kameranya. Pengunjung satu per satu masuk ruang sidang.
Pukul 09.40 majelis hakim buka sidang. Didampingi petugas KPK, terdakwa Gulat Medali Emas Manurung masuk ruang sidang, duduk di kursi terdakwa. Ia keluarkan sapu tangan dari saku celana dan mulai lap keringat di wajah.
“Apakah Anda sehat?” tanya hakim ketua Supriyono.
“Sehat, Yang Mulia.”
“Bisa mengikuti sidang?”
“Bisa, Yang Mulia.”
Gulat diminta duduk di samping tim penasehat hukumnya.Karena tak ada eksepsi setelah sidang perdana minggu lalu, maka sidang masuk agenda pemeriksaan saksi. Jaksa KPK panggil tujuh saksi yang sudah siap di depan ruang sidang. Secara berbaris mereka masuk ke dalam dan duduk berjejer.
Eddy Ahmad RM, Lilik Sanusi, Triyanto, Milton Oktobere, Noor Charis Putra, Nuryani Dewi Ningrum, Burhanuddin. Ketujuh saksi disumpah sebelum beri keterangan.
“Untuk persingkat waktu, kami usul keterangan saksi dibagi dua sesi,” usul jaksa. Sesi pertama mendengar keterangan Triyanto, Eddy Ahmad RM, dan Burhanuddin. Sisanya sesi kedua. Tidak ada yang keberatan.
“Keterangan saksi sidang kali ini membuktikan serah terima uang serta proses penangkapan,” kata jaksa menjelaskan pada majelis hakim.
Triyanto saksi pertama berikan keterangan. Ia ceritakan kronogis serah terima uang suap sesuai perannya sebagai ajudan Gubernur Riau.
Kamis, 25 September 2014, sekitar pukul 16.00. Gulat Manurung tiba di rumah Annas Maamun di Perumahan Citra Grand Cibubur. “Ia datang bersama Lilik, supir kantor penghubung Riau-Jakarta,” kata Tri, panggilan Triyanto.
Tri melihat Gulat bawa tas ransel warna hitam. Begitu tiba, ia langsung masuk ke dalam menjumpai Annas Maamun, Gubernur Riau. Tri tidak tahu apa yang dibahas di dalam rumah. Menurut Tri, itu bukan pertemuan pertamanya dengan Gulat Manurung.
Sehari sebelumnya, Tri sudah bertemu Gulat, juga di rumah Annas Maamun. “Pak Gulat berikan tas kepada saya. Titip ke Pak Annas Maamun,” kata Tri menirukan perkataan Gulat saat itu. Tri mengiyakan. Tas samping, warna hitam.
Malam itu juga Tri serahkan tas dari Gulat kepada atasannya. Esok pagi, 25 September, Tri berangkat ke Hotel Le Meridien bersama Annas Maamun, membawa kembali tas yang diserahkan oleh Gulat, atas perintah Annas Maamun. “Saya ketemu Pak Gulat, sampaikan pesan Pak Annas: Ini ditukar, Pak,” kata Tri di depan persidangan. Ia mengaku tak tahu apa yang ditukar. Ia juga tak tahu apa isi tas tersebut. “Nanti saya datang,” begitu jawab Gulat kepada Tri. Gulat pun datang ke rumah Annas Maamun,
Perumahan Citra Grand Cibubur membawa tas ransel hitam, masuk ke dalam rumah. Lima belas menit kemudian, Gulat keluar, kembali bawa tas ransel yang sama. Saat hendak meninggalkan rumah Annas, tim KPK datang mencegat Gulat. Ia digiring masuk ke dalam rumah.
Triyanto ikut masuk bersama penyidik KPK. Ia melihat uang tergeletak di atas meja kerja. “Jumlahnya tidak tahu, dari mana tidak tahu,” jawab Triyanto.
Jaksa KPK perdengarkan dua percakapan antara Gulat dan Triyanto via telepon. Percakapan pertama sebelum Gulat ke Jakarta bertemu Annas Maamun.
“Kacang pukul sudah dikumpulkan, menunggu pembicaraan lebih lanjut, mau diserahkan ke Jakarta atau di Pekanbaru saja?” tanya Gulat. Tri jawab nanti akan tanya ke Annas.
Percakapan kedua setelah Gulat tiba di Jakarta menuju ke rumah Annas Maamun di Citra Grand Cibubur. “Sudah dimana?” tanya Tri pada Gulat. “Sudah masuk tol, macet hampir satu jam. Tapi sudah lengkap,” jawab Gulat.
Di depan persidangan, Triyanto mengaku tidak mengerti maksud ‘kacang pukul’ dan ‘sudah lengkap’ yang dibicarakan lewat telepon. “Saya tidak mengerti kalau itu maksudnya uang. Saya baru tahu setelah diperiksa penyidik. Ia bilang kacang pukul itu artinya uang,” kelit Tri.
EDDY Ahmad RM, pemilik Koran Riau, mengaku kenal dekat dengan Annas Maamun maupun Gulat Manurung. “Saya kenal Gulat pertengahan 2012, ketika kami masuk tim pemenangan calon Gubernur Riau, Annas Maamun,” katanya.
Pada 23 September 2014, Gulat datang ke rumah Eddy dan mengajaknya ke Jakarta mengantar titipan untuk Annas Maamun. “Yang saya pahami titipan itu uang. Gulat bendahara tidak resmi Annas selama jadi calon gubernur. Mengapa tidak resmi? Karena kami tidak punya SK,” beber Eddy di depan persidangan.
Sampai di Bandara Pekanbaru, sambung Eddy, Gulat masukkan bungkusan amplop warna padi ke dalam tas Eddy. “Amplopnya ukuran sedang, agak tebal,” ujarnya. Sampai di Jakarta, dalam perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta ke rumah Annas Maamun di Citra Grand Cibubur, amplop padi kembali dibawa Gulat.
“Mengapa Anda yang dititipkan amplop itu?” Gulat kan juga bawa tas? Mengapa dia tidak bawa sendiri?” tanya hakim anggota Joko Subagyo.
“Mungkin karena kami teman dekat, Yang Mulia,” jawab Eddy.
“Mengapa Anda tidak bawa sampai ke tujuan? Di tengah perjalanan ke Cibubur, Gulat ambil kembali amplopnya. Jadi peran Anda hanya di pesawat Pekanbaru-Jakarta saja, apa tujuannya?”
“Yang saya tahu Gulat ini sangat takut naik pesawat… Dia sempat tidak ingin ke Jakarta…”
“Itu bukan alasan. Kalau takut naik pesawat, kan bisa ajak istri, kenapa harus Anda?”
“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Mungkin takut di bandara akan diperiksa. Mungkin saja karena alasan keamanan, kalau tidak dipecah, akan dicurigai karena terlalu besar amplopnya. Mungkin lebih tepat yang bersangkutan menjawab langsung, mengapa dia mengajak saya.”
“Apa ini tidak ada kaitannya dengan RTRWP Riau?”
“Saya tidak tahu.”
“Anda tidak tahu uang ini diserahkan ke Annas untuk apa?”
“Tidak tahu.”
“Anda kan wartawan. Biasanya punya rasa ingin tahu lebih besar. Masa Anda tidak tanya untuk apa uang itu?”
“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Yang saya tahu, setiap kebutuhan Pak Annas, mulai dari mencalonkan Gubernur, beliau memang minta bantu ke Gulat. Bahkan setelah jadi Gubernur pun masih minta bantu.”
Eddy menambahkan di persidangan bahwa selama ini kebutuhan Annas yang disiapkan Gulat berasal dari hasil kebunnya. “Dia mengeluh bagaimana cari duit, sampai pinjam ke PKS untuk memenuhi kebutuhan Pak Annas. Sempat jual sawit juga,” kata Eddy.
Burhanuddin, Kepala Kantor Penghubung Jakarta-Riau, mengatur kegiatan Gubernur Annas Maamun selama di Jakarta. Ia ceritakan soal pertemuan dengan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.
“Pembicaraannya terkait hal teknis tindak lanjut dari Menteri Kehutanan menyerahkan dokumen RTRWP Riau,” kata Burhanuddin. Ditanya detailnya, ia berkelit, bilang tak ada di tempat saat pembicaraan itu berlangsung. Termasuk saat pertemuan Gulat dan Annas Maamun di Hotel Le Meridien pada 25 November pagi untuk menyerahkan tas ransel hitam berisi uang suap.
“Saya ada di situ. Tapi tidak tahu apa yang dibicarakan. Mereka duduk di pojok kanan. Saya di pojok kiri,” ujarnya.
LILIK Sanusi, supir kantor Badan Penghubung Jakarta-Riau. Ia mengantar Gulat Manurung ke Rumah Annas Maamun di Citra Grand Cibubur pada 25 November, sesaat sebelum Gulat ditangkap KPK. Ia bilang Gulat bawa tas ransel hitam, namun tidak tahu isinya apa.
Saksi lain, Milton Oktobere, penyidik KPK. Ia ceritakan proses penangkapan tim penyidik KPK di Perumahan Citra Grand Cibubur. Ditemukan uang dollar Singapura dan Rupiah senilai Rp 2 miliar dan diletakkan di atas meja kerja. Sebagian uang diisi dalam tas putih merk Garuda Indonesia, sebagian lagi di tas ransel hitam yang dibawa Gulat Manurung.
Saksi Noor Charis Putra dan Nuryani Dewi Ningrum juga ada di dalam rumah Annas Maamun saat proses penangkapan oleh penyidik KPK. Noor Charis adalah putra dari Annas, berprofesi sebagai Kepala Seksi Jalan Dinas Bina Marga Propinsi Riau.
Noor Charis mengaku tak melihat proses penyerahan uang dari Gulat kepada Annas. “Saya keluar saat Gulat datang. Setelah saya masuk lagi, Gulat sudah keluar,” kelitnya. Namun ia cerita sempat diminta Annas untuk ambil uang dari tas putih Garuda Indonesia. “Uangnya ditaruh di atas meja kerja, di depan Pak Annas dan Mbak Nuryani,” katanya.
Nuryani adalah Legal PT Sinar Bahana Mulia, diminta Annas Maamun datang ke rumahnya pada 25 November sore. “Pak Annas bilang mau bayar sisa uang pembelian rumah. Saya datang, disuruh tunggu,” katanya. Saat Nuryani sedang bicara dengan Annas di dalam rumah, tim KPK datang dan menangkap Annas Maamun bersama Gulat Manurung.
Menurut Nuryani, rumah yang dibeli Annas Maamun atas nama Noor Charis Putra, anaknya. Noor Charis tidak tahu kalau ia akan dibelikan rumah oleh ayahnya. “Saya baru tahu hari itu juga, saat diminta untuk tanda tangan,” ujar Noor Charis.
Perumahannya di The Middles L Nomor 38. “Di Citra Grand juga, tapi kalau rumah Pak Noor Charis di bagian belakang, sedangkan rumah Pak Annas di bagian depan,” kata Nuryani.
Saat sampaikan tanggapan atas keterangan para saksi, Gulat Medali Emas Manurung keberatan disebut bendahara tidak resmi oleh Eddy Ahmad RM.
Sidang usai pukul 13.45. Sebelum ditutup, tim penasehat hukum Gulat Manurung ajukan surat permohonan pindah hari kunjungan keluarga kepada majelis hakim. Mereka minta hari kunjungan diganti Selasa, karena setiap Senin Gulat jalani sidang di Pengadilan Tipikor. #RCT/Lovina