Pekanbaru, Selasa 25 Januari 2022—Senarai mengecam Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang membebaskan terdakwa PT Gandaerah Hendana (GH) atas kasus kebakaran hutan dan lahan. Ketua Majelis Panusunan Harahap bersama dua anggotanya Syafwan Jubir dan Khairul Fuad, contoh hakim yang tidak berpihak pada lingkungan hidup.
“Majelis juga tidak peduli dengan nasib masyarakat atau korban asap beracun dari konsesi GH. Termasuk petugas pemadam kebakaran dari kelompok masyarakat, pemerintah desa maupun pemerintah daerah yang berjibaku hampir satu bulan, karena perusahaan membiarkan lahannya terbakar,” kata Koordinator Umum Senarai Jeffri Sianturi.
Selasa 18 Januari 2022, majelis tingkat banding menyatakan GH tidak bersalah dan justru membebankan tanggungjawab kebakaran di konsesi perusahaan itu pada masyarakat. Majelis beralasan, areal HGU GH dikuasai masyarakat dengan kepemilikan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR). Kemudian, perusahaan juga sudah berupaya menguasai lahannya melalui pendekatan maupun jalur hukum namun tidak berhasil.
Majelis juga beralasan, pada areal terbakar belum ditentukan status kepemilikan tanah sehingga GH dianggap tidak mungkin mengeluarkan areal tersebut dari HGU-nya. Oleh karena itu, sebelum terjadi kebakaran, GH membuat parit pemisah untuk menentukan areal yang dikuasainya langsung dengan penguasaan masyarakat.
Menurut Jeffri, tujuh alasan majelis banding sangat dangkal dan tidak mempedulikan fakta persidangan. Misal, GH mengakui areal terbakar merupakan bagian dari HGU-nya, tapi perusahaan tidak melakukan upaya-upaya pencegahan kebakaran bahkan tidak bertindak cepat ketika kebakaran terjadi. Padahal, jauh sebelumnya konsesi perusahaan juga pernah tebakar ribuan hektar.
Selain itu, GH sudah mengetahui areal HGU-nya dikuasai masyarakat sejak 2005. Tapi perusahaan tetap berupaya mempertahankan lahannya. Hal tersebut tampak dari langkah-langkah mediasi, musyawarah hingga gugatan ke pengadilan untuk merebut kembali lahan dari masyarakat. Ketika terjadi kebakaran dan proses hukum tengah berjalan, GH baru memohon pelepasan atau mengeluarkan sebagian HGU terbakar ke Kanwil BPN Riau dan Kantor Pertanahan Indragiri Hulu.
“Kenapa tidak sejak 2005, atau dalam tiap-tiap musyawarah dengan masyarakat yang difasilitasi pemerintah desa, camat hingga bupati, GH langsung mengeluarkan areal yang dikuasai masyarakat itu dari HGU-nya?” tanya Jeffri.
Berdasarkan fakta sidang, sebelum kebakaran, GH memang tidak berniat melepas atau lebih condong mempertahankan areal tersebut. Sebab sejak 3 September 2012, pun hingga pasca kebakaran 22 Oktober 2019 masih aktif berkirim surat ke Camat Lirik, DPRD, Bupati, BPN Inhu dan BPN Riau agar memediasi status pengguassan lahan.
Beberapa tawaran yang selalu diusulkan GH pada masyarakat adalah, ganti rugi, pembebasan lahan atau kerjasama pola kemitraan. Padahal, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sudah ada perintah melepas areal atau enclave bila terlanjur ada penguasaan masyarakat di atasnya.
“Dalih atau alibi perusahaan untuk lepas dari tanggungjawab itulah yang dijadikan dasar majelis hakim tingkat banding membebaskan GH tanpa pertimbangan. Padahal majelis tingkat pertama sudah mengurai dan menganalisanya berdasarkan keterangan saksi dan bukti surat,” ungkat Jeffri.
Senarai mendesak: penuntut umum Kejaksaan Tinggi Riau dan Kejaksaan Negeri Rengat mengajukan kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan PT Pekanbaru dan menguatkan kembali putusan PN Rengat serta Bawas MA maupun Komisi Yudisial mesti memeriksa majelis tingkat banding yang membebaskan terdakwa GH.
Narahubung:
Jeffri Sianturi—0853 6525 0049
Suryadi M Nur—0852 7599 8923