Pekanbaru, Rabu 26 September 2018—Senarai minta majelis hakim PN Siak, Lia Yuwannita bersama Risca Fajarwati dan Dewi Hesti Indria, menghukum PT Triomas Forestry Development Indonesia, pidana denda Rp 10 miliar dan pidana tambahan perbaikan ekologis Rp 1,3 triliun serta penutupan seluruh usaha dan/atau kegiatan PT TFDI karena, sengaja mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien atau kriteria kerusakan lingkungan hidup.
“Hakim harus menggunakan pasal 98 bukan pasal 99 seperti tuntutan jaksa yang menyatakan PT Triomas hanya lalai. Padahal, fakta sidang membuktikan perusahaan itu sengaja membiarkan lahannya terbakar dan tidak memiliki sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang sesuai standar,” kata Ahlul Fadli, Koordinator Senarai.
Fakta sidang menunjukkan telah terjadi kebakaran di areal PT Triomas sejak Februari hingga Maret 2014. Areal terbakar seluas 400 ha di divisi 1, 4 dan 5 berupa lahan gambut.
Menurut Muhammad Hidayatuddin, areal terbakar di blok E17, F16 dan F17 bekas tegakan kayu dan tanaman sawit tak produktif berusia 3 tahun. Kemudian di blok C6, C7, C7A, C7B, C14–C17 ditemukan bekas tumpukan tegakan kayu yang sedang di land clearing. Menurutnya, blok C14 sampai Blok C22 dan Blok D15 sampai Blok D22 masuk dalam rencana tanam 2014.
Menurut Haswar, blok C14–D23 memang sedang diland clearing dan pernah terbakar saat mereka sedang bekerja. Untuk blok C22, CV Kurnia Cipta Mandiri—perusahaan Haswar—juga mengerjakan pembangunan jalan yang mengarah ke laut untuk mengangkut kayu hasil tebangan.
Menurut saksi fakta, api berasal dari lahan sagu masyarakat yang bersebelahan dengan divisi 1 dimulai dari blok C0–C7 . Antara lahan sagu masyarakat dengan divisi 1 hanya dipisahkan oleh kanal. Namun menurut ahli Sumardi, kebakaran berasal dari blok C14 divisi 4 dan merambat ke areal sekitarnya. Sumardi mengecek langsung di lapangan pada 15 April 2014.
Ahli Azwar Maas juga turun ke lapangan pada November 2014 dan menemukan kebakaran terjadi akibat adanya proses pengeringan lahan akibat land clearing. Ahli Basuki Sumawinata dan Gunawan Djajakirana juga menyatakan benar terjadi kebakaran di areal PT TFDI setelah mengecek ke lapangan pada 25 – 27 November 2015.
Saat kebakaran terjadi pada 4 Februari 2014, menurut Hengki, karyawan perusahaan baru memadamkan api keesokan harinya. Hengki bersama 30 warga pada hari itu juga langsung memadamkan api di areal lahan sagu masyarakat yang bersebelahan dengan lahan perusahaan. Menurut Hengki, api baru bisa dipadamkan oleh masyarakat lebih dari 15 hari.
Menurut Sidir, tim pemadam kebakaran PT TFDI berjumlah 28 orang. Kata Adnan Muslim, mereka mulai padamkan api dari 21 sampai 26 Februari 2014.
Untuk padamkan api, Supendi mengatakan sarana prasarana milik PT TFDI sudah cukup, namun menurut Agus Hartono dan Turyawan Hadi tidak lengkap dan tidak sesuai ketentuan. Agus dan Turyawan menemukan PT TFDI tidak memiliki menara pemantau api, papan pengumuman larangan membakar serta standar operasional pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai aturan yang ada. Supendi mengakui menara pemantau api PT TFDI hanya ada 1 dan dibuat dari kayu terletak antara kebun Sungai Metas dan Kimas.
Saiful Amar mengatakan PT TFDI juga tidak pernah melaporkan perkembangan kegiatan di lapangan ke BLH Kabupaten Siak sejak memiliki AMDAL pada 2006. Supendi mengakui dan baru melapor paska kebakaran.
Akibat kebakaran, Hengki mengatakan banyak warga menderita ISPA. Dampak lainnya, menurut Azwar Maas setelah meneliti sampel yang diambil di lokasi kebakaran di Laboratorium UGM, lahan gambut rusak, flora dan fauna musnah dan kualitas gambut untuk menyimpan cadangan air menurun drastis.
Yudi Wahyudin mengatakan, kerugian ekologis karena hilangnya jasa ekosistem berupa jasa pengaturan, produksi, habitat dan budaya mencapai Rp 1,3 triliun.
“Dari fakta di atas, terlihat jelas perusahaan sengaja tidak melengkapi sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla karena memiliki motif untuk melakukan pembersihan lahan dengan cara bakar. Sebelum kebakaran terjadi, di areal terbakar sudah di land clearing oleh CV Kurnia Cipta Mandiri yang memang dikontrak untuk melakukan landclearing, sehingga menyebabkan lahan kering dan menjadi sensitif untuk terbakar,” kata Fadli.
Bahkan karyawan CV Kurnia Cipta Mandiri melihat areal yang dikerjakan terbakar pada 4 Februari 2014, namun PT TFDI tidak segera memadamkan. PT TFDI hanya memberikan surat teguran pada 5 Mei 2014 agar kegiatan land clearing tidak menyebabkan kebakaran. Haswar membantahnya.
Perusahaan sama sekali tidak berusaha untuk memaksimalkan pengawasan dan patroli terhadap lahan yang di landclearing dengan tidak membuat menara api, mencukupi sarana dan prasarana serta tidak rutin melakukan patroli. Temuan tim UKP4, karyawan kebun PT TFDI merangkap tim pemadam kebakaran, sarana prasana tidak memadai serta sistem penanggulangan dan pencegahan karhutla juga dinilai tidak memadai.
Dari serangkaian fakta di atas, Senarai kecewa dengan kinerja Kejaksaan Agung hanya menuntut terdakwa dengan pasal 99 atau karena lalai. Lebih 1 bulan kejaksaan agung menunda pembacaan tuntutan dirasa tidak adil dan tidak bertanggungjawab dalam menegakkan hukum. Padahal, PT TFDI terbukti merusak ruang ekologis dan memberi dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat sekitar areal konsesinya.
Pernyataan jaksa Tiyan Andesta yang mengatakan, tidak perlu lagi membuktikan dalil kesengajaan karena PT TFDI hanya lalai adalah, bentuk tidak pahamnya ia dalam menangani perkara ini atau sengaja mengabaikan fakta selama sidang.
Kata Ahlul Fadli, koordinasi antara Kejari Siak dan Kejaksaan Agung sangat buruk. “Penilaian kami, Kejaksaan Agung tidak serius menangani perkara lingkungan hidup di Riau. Presiden Jokowi harus evaluasi kinerja mereka. Dan majelis hakim harus hukum terdakwa seberat-beratnya.”
Narahubung:
Ahlul Fadli—0852-7129-0622
Suryadi—0852-7599-8923