Pekanbaru, Rabu 13 Oktober 2021—Jikalahari dan Senarai mengecam tindakan kepolisian saat membubarkan peserta aksi depan Kejaksaan Tinggi Riau seperti ‘preman’. Kepolisian merampas spanduk dengan cara paksa dan hampir saja merusak kamera milik seorang pers mahasiswa. Padahal aksi berlangsung kondusif dan sama sekali tidak menggangu lalu-lintas sekitar lokasi yang diikuti lebih kurang 20 peserta. Orasi pun baru berlangsung lebih kurang setengah jam.
“Cara polisi membubarkan peserta aksi dengan berteriak, membentak bahkan merampas adalah contoh polisi yang tidak Presisi. Padahal sempat ada dialog, namun tiba-tiba beberapa orang diantara mereka merusak dan membuat suasana menjadi tidak nyaman,” ucap Koordinator Senarai, Jeffri Sianturi.
Polisi bubarkan aksi hari itu karena dianggap tak punya izin. Sebenarnya, surat pemberitahuan sudah disampaikan ke Polresta Pekanbaru, sehari sebelumnya. Hanya saja, surat tersebut ditolak karena diantar di luar jam kerja. Tapi, polisi tidak mengeluarkan surat penolakan. “Kami ambil keputusan tetap aksi karena dengan jumlah peserta yang sangat sedikit. Lagi pula, aksi yang kami gelar rencananya hanya satu jam, sekedar menyampaikan aspirasi,” terang Jeffri.
Jeffri, meminta Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendidik polisi yang tidak mencerminkan sikap Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi dan Berkeadilan), sesuai dengan program yang diusungnya saat menjabat Kapolri. Sebab, selain merampas atribut peserta aksi, polisi juga mengangkut tiga orang peserta aksi setelah menyuruh bubar dengan membentak-bentak. Di Polresta Pekanbaru, tiga peserta aksi diminta keterangan lalu disuruh menandatangani surat pernyataan, yang satu dari tiga poinnya berisi pengakuan aksi tersebut tidak berizin.
Presisi adalah singkatan dari prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Presisi merupakan cerminan untuk kepolisian masa depan. Selain itu, satu dari delapan komitmen Listyo saat diangkat jadi Kapolri adalah, untuk memperbaiki citra kepolisian dengan menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan.[1]
“Kami kaget. Saat hendak sarapan, tiba-tiba satu anggota kami nelpon dan minta ditemui di Polresta Pekanbaru. Belum sempat menyuap makanan, kami langsung bergegas. Padahal, kami disuruh bubar. Kok, kawan kami malah diangkut tanpa pemberitahuan. Itu kayak penculikan,” tukas Jeffri.
Gara-gara pembubaran paksa itu juga, tujuan untuk menyampaikan aspirasi ke Kejati Riau jadi tidak tercapai. Padahal aksi hari itu cuma ingin mendengar respon dan jawaban Kejati Riau, terkait kasus kebakaran hutan dan lahan di areal PT Berlian Mitra Inti (BMI). Minggu lalu, Senarai sebenarnya sudah mengundang kejaksaan untuk kasih penjelasan dalam diskusi publik. Namun, beberapa jam sebelum dimulai, seorang jaksa beri kabar bahwa tak ada satupun dari mereka yang sempat hadir. Alasannya sibuk dan banyak kerjaan.
PT BMI terbakar pada Maret 2020 seluas 94 hektar di Kampung Jambai Makmur, Kecamatan Kandis, Siak. Penyelidikan baru dimulai lima bulan kemudian dan akhirnya penetapan tersangka dilakukan pada 11 Maret 2021. Juni, status perkaranya mulai tahap satu. Hingga kini, perkembangan penanganan kasus masih bolak-balik dari Polda ke Kejati Riau.
Padahal Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Inpres No 3/2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Bunyinya, memerintahkan kejaksaan dan kepolisian untuk mengefektifkkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana karhutla, sekaligus pembayaran ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan. Baik untuk rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan dan lahan, atau tindakan lain yang diperlukan serta pengenaan sanksi administrasi sesuai ketentuan.
“Padahal selama penyidikan telah ditemukan bahwa lahan terbakar belum memiliki Izin Usaha Perkebunan, Rencana Kerja Pemantauan Lingkungan Hidup dan Rencana Kerja Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL), bahkan tidak memiliki Hak Guna Usaha,” ucap Aldo, Manajer Kampanye dan Advokasi Jikalahari.
Hasil penelusuran Eyes on the Forest (EoF) pada Juli 2017,[2] PT BMI tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dan HGU. Areal kebunnya berada di Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak dengan perkiraan luas 765 ha berdasarkan analisis Citra SPOT 2015. Hasil overlay areal yang dikelola PT BMI dengan kawasan hutan berdasarkan SK 173/Kpts-II/1996 dan SK 7651/Menhut-VII/KUH/2011, seluruh areal kebun PT BMI berada pada kawasan hutan pada fungsi HPK.
Namun setelah terbitnya SK 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau, areal PT BMI yang sebelumnya merupakan HPK telah berubah menjadi APL seluas 744 hektar. Sisanya 21 hektar masih berada pada HPK. Begitupula pasca terbitnya SK 903/Menllhk/Setjen/ PLA.2/12/2016 pada 7 Desember 2016, luas Kawasan hutan tidak ada yang berubah sehingga PT BMI menanam sawit dalam Kawasan hutan 21 Ha dan 744 ha dikawasan APL tanpa izin.
“Jika dikaitkan dengan umur tanaman sawit PT BMI yang diperkirakan berusia 20 tahun, maka diindikasikan PT Berlian Mitra Inti telah mengembangkan sawit pada kawasan hutan, sebelum keluarnya SK 903/Menllhk/Setjen/ PLA.2/12/2016 pada 7 Desember 2016,” jelas Aldo
Hasil Analisis Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan dalam Upaya Memaksimalkan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak Provinsi Riau, yang dibentuk DPRD Riau pada 2015, menemukan ada potensi pajak yang belum dibayarkan PT BMI yang mengelola areal seluas 15 hektare.
Untuk Pajak Penghasilan (PPH) sebesar Rp 16.875.000, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp 45.000.000 dan Rp 1.480.000 untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)/tahun. Dari hasil temuan pansus ini juga, dipastikan PT BMI sama sekali tidak memiliki izin untuk mengelola areal perkebunan. “Sudah selayaknya Kejati Riau segera mendakwa dan menuntut PT BMI ke pengadilan,” tutup Aldo.
Narahubung:
Aldo—0812 6111 6340
Jeffri—0853 6525 0049
[1] https://tirto.id/apa-itu-konsep-presisi-yang-digagas-calon-kapolri-listyo-sigit-f9AU
[2]Dimuat dalam laporan yang dipublikasikan pada Maret 2018: https://www.eyesontheforest.or.id/uploads/default/report/EoF-Legalisasi-perusahaan-sawit-melalui-perubahan-peruntukan-Maret-2018.pdf