Sidang ke 9 – Tuntutan
PN Rengat, 18 Oktober2021—Ketua Majelis Nora Gaberia Pasaribu bersama anggotanya Maharani Debora Manullang juga Mochamad Adib Zain masuki ruang sidang Cakra dan pimpin kembali sidang perkara Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Terdakwa PT Gandaerah Hendana (GH). Terdakwa diwakilii Jeong Seok Kang anak dari Mr Kang.
Agenda sidang hari ini pembacan Tututan oleh Penutut Umum. Andi Sinaga membaca dokumen itu hampir sejam, berikut ringkasnya;
Setelah membaca identitas terdakwa, keterangan saksi dan ahli dilanjut membaca analisa fakta dan uraian yuridis. Menurut hemat penuntut umum, mereka langsung membuktikan Dakwaan Alterntif Pertama Pasal 98 ayat (1) jo Pasal 116 ayat (1) huruf a jo Pasal 118 jo pasal 119 UU 32/2009 tentang PPLH, sebab paling terbukti selama persidangan.
Lalu membuktikan unsur Setiap orang yang menunjuk pada badan usaha. Dari Akta Pendirian PT GH dan perubahannya menunjuk Jeong Seok Kang sebagai Direktur Utama lalu penunjukan dilakukan oleh lebih dari satu komisaris. Isinya, Jeong bertindak atas nama perusahaan urusan didalam dan diluar pengadilan. Lalu selama persidangan Jeong sebut sehat jasmani/rohani dan mengerti dakwaan yang diajukan penuntut umum. Atas hal tersebut, tidak ada alasan pemaaf dan pembenar yang bisa melepaskan terdakwa dari tuntutan.
Kemudian unsur Dengan sengaja melakukan perbuatan, sebelum masuk pembahasan penuntut umum menguraikan Surat Keputusan Mahkama Agung Nomor 36/2013 tentang pedoman Pemberlakukan Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, untuk pemahaman permasalahan lingkungan hidup yang kompleks dan perkembangan hukumnya dinamis, maka hakim diminta dalam pendahuluan SK tersebut, harus berani menerapkan perlindungan lingkungan hidup. Lalu pada abstraksi hukumnya harus menyatakan suatu alat bukti dianggap sah apabila proses pengambilannya sesuai KUHAP.
Bahwa Karhutla yang terjadi di PT GH sebagai suatu kesengajaan berinsyaf kemungkinan (dolus eventualis). Perusahaan dapat membayangkan kemungkinan terjadinya akibat yang dilarang undang-undang, namun perusahaan justru mengabaikannya dan kebakaran tetap terjadi. Perusahaan dianggap “menyetujui” akibat dari kejadian tersebut.
Memang benar yang disebut Ahli Amdal, UKL, UPL menyebut dalam persidangan seluruh ketentuan peundang-undangan terkait pengelolaan lingkungan hidup termasuk pemenuhan sarana-prasarana (Sapras). Jika tidak memenuhi data yang diminta tersebut maka perusahaan dikatakan tidak taat. Hal ini cerminan atas HGU no 16 seluas 6.087 hektar belum pernah direvisi, baru setelah kebakaran 3 sampai 24 September 2019 mengajukan permohonan revisi HGU. Pajak lahan terbakar juga masih dibayar sehingga terlihat upaya PT GH cenderung mempertahankan HGU no 16.
Dalam dokumen lingkungan Amdal, RKL, RPL PT GH menyatakan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terdapat di dokumen Amdal PT GH halaman 1-2. Lalu kebakaran 1997 seluas 214 hektar dan 1998 seluas 1.090 hektar harusnya sebagai pedoman untuk menaati dokumen lingkungan agar tidak terjadi dampak negatif dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terulang kembali.
Pada lokasi terbakar di HGU 16 pada Desa Seko Lubuk Tigo (Seluti) tidak satupun dari ketentuan Pasal 14 ayat 2 PP 4/2001 dipenuhi. Padahlal ini bagian dari early warning system dan early detection system. Hal ini juga dibenarkan saksi Arif Hilman Arda yang datang ke lokasi 18 sampai 22 Februari 2020. Alasan saksi perusahaan dan terdakwa sediri yang menyebut lahan berkonflik dan akses yang sulit, tidaklah benar dan hanya alasan yang dibangun level pimpinan.
Padahal sesuai dengan yang dikatakan Sunarya, Zainuddin dan Nasution saksi dari terdakwa, bahwa PT GH tidak pernah melakukan pendekatan dengan kepala desa untuk penyelesaian dan cari kesepakatan. Apalagi masyarakat tersinggung dengan perusahaan yang keras mengatakan lahan itu masuk konsesinya. Seharusnya pendekatan humanis yang dilakukan PT MKS bisa diterapkan PT GH untuk menghindari sifat antipati masyarakat.
Terkait keterangan Alvi Syahrin yang dihadirkan terdakwa, mengatakan perusahaan dapat dipersalahkan jika ketidak lengkapan sapras meimbulkan kerusakan lingkungan. Apabila tidak ditemukan hubungannya maka tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Menurut penuntut umum, hal ini tidak perlu dipermasaahkan sebab keterangan Alvi selama jadi ahli di kasus PT PLM, PT LIH, PT SSS, PT DSI, PT WSSI, PT Adei Plantation, PT NSP menyebut tidak tersedianya Sapras berkaitan dengan timbulnya kebakaran. Dan semakin tidak terkendalinya kebakaran akibat kekurangan Sapras.
Seharusnya lahan terbakar di Seluti masuk kelolaan RPL dan RKL dalam peta rawan kebakaran. PT GH yang punya kekuatan untuk menempatkan Sapras dilahan tersebut, jika melakukan pendekatan yang humanis dengan masyarakat. Ternyata perusahaan justru abai, kebakaran benar terjadi dan PT GH setuju dengan akibat yang terjadi. Penuntut menyebut “disetujui diam-diam”. Terbukti pada fakta dilapangan kedatangan PT GH ke lokasi HGU atas permintaan TNI/Pori, mereka datang 12 September 2019 sifatnya hanya membantu saja seperti yang disebut Jeong.
Berbeda dengan kebakaran di HGU no 1 yang juga berkonflik dengan masyarakat, tim pemadam dan Sapras diturunkan banyak sehingga api padam dalam sehari.
Perkataan Alvi, yang sering disampaikan sebagai ahli dalam pemberkasan penyidik di Polda Riau dan penuntut umum yang menangani kasus Karhutla korporasi, menyebut kewajiban pemenuhan Sapras jadi tanggungjwab perusahaan. Maka perlu dianggarkan untuk biaya pengadaannya. Jika dana tersebut tidak dianggarkan maka ini yang disebut keuntungan perusahaan.
Terakhir unsur Yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, air, air laut atau kriteria kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan Surat Keterangan Ahli kebakaran hutan dan lahan, Bambang Hero Saharjo dan Ahli kerusakan tanan akibat Karhutla, Basuki Wasis, bernilai sebagai alat bukti sah dan valid sebagai pertimbangan.
Hasil analisa Basuki Wasis, telah terjadi kerusakan parameter keragaman spesies dan populasi flora dan parameter subsiden. Juga spesies dan populasi fauna/binatang tanah. Juga kerusakan parameter pH, C organic, Nitrogen, kadar air, bobot isi dan porositas tanah.
Hasil analisa Bambang Hero Saharjo, selama kebakaran berlangsung emisi gas rumah kaca yang dihasilkan melampaui batas tenggang. Akibat kebakaran di HGU PT GH seluas 580 hektar kerugian atas keruskan lingungan sebesar Rp 208 miliar lebih.
Kesimpulan, atas uraian yang disampaikan penuntut umum, PT GH secara sah dan meyakinkan melanggar unsur Pasal 98 UU 32/2009. Prinsip hukum lingkungan dibuat dengan tujuan melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Maka perlu kepastian hukum dalam pelaksanaannya tanpa peduli pahitnya (fiat justitia et pereat mundus/Meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan). Lalu Karhutla secara kumulatif telah menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat Indragiri Hulu, Riau, nasional sampai internasional.
Maka dari itu, penggunaan hukum pidana dengan akibat lingkungan yang ditimbulkan terbilang serius dan tidak mungkin dipulihkan lagi, maka prinsip hukum Premium Remedium dapat diterapkan dan menjadi utama. Namun dalam konteks lingkungan hidup asas In Dubio Pro Reo berubah menjadi Dubio Pro Natura , ketika hakim mengalami keragu-raguan terhadap alat bukti maka kedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya.
Penuntut mengajukan pertimbangan dalam menjatuhkan tuntutan pidana; hal memberatkan, usaha PT GH tdak sejalan dengan proram pemerintah untuk menjaankan usaha yang ramah lingkungan. Perusahaan telah sengaja membiarkan kebakaran terjadi, sehinga meluas dan sulit terkendali, ikut memadamkan dengan prinsip sekedar membantu. Hal meringankan, PT GH belum pernah dihukum dan kooperatif selama persidangan.
Menuntut; supaya majelis hakim memutuskan PT GH diwakili Jeong Seok kang selaku Direktur Utama bersalah melakukan tindak pidana: Sebagai badan usaha dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau baku kerusakan lingkungan hidup. Diatur pada Pasal 98 ayat 1 jo Pasal 116 ayat 1 huruf a jo Pasal 118 ayat 1 jo Pasal 119 ayat 1 UU 32/2009. Pidana denda Rp 9 Miliar. Perbaikan akibat kebakaran untuk pemulihan lahan yang rusak seluas 580 hektar sebesar Rp 208.848.730.000
Atas tuntutan ini terdakwa melalui penasihat hukum akan ajukan pembelaaan pada 25 Oktober 2021.#Jeffri