PN PEKANBARU, 6 DESEMBER 2016— Pengunjung memadati ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Pekanbaru jelang sidang dibuka pukul 09.45. Sidang kasus korupsi dengan terdakwa Johar Firdaus dan Suparman kembali digelar. Hari ini, Jaksa Penuntut Umum kembali hadirkan saksi.
“Ada 5 saksi Yang Mulia, dan semuanya mantan anggota DPRD Riau,” jelas Jaksa. Kelima saksi tersebut diantaranya terpidana Kirjauhari, Riki Hariansyah, Iwa Sirwani Bibra, Solihin Dahlan dan Toni Hidayat.
Jaksa Penuntut Umum meminta agar Kirjauhari dan Riki Hariansyah diperiksa terlebih dahulu. “Karena mereka saksi kunci perkara ini,” kata JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kirjauhari yang pertama dimintai keterangannya. Ia merupakan anggota DPRD dan bertanggungjawab untuk pembahasan anggaran belanja. Ia tahu bahwa ada persoalan dalam pembahasan anggaran APBD Perubahan, sebab serapan dana untuk APBD sangat rendah. “Ada keinginan dari Gubernur agar dilakukan pembahasan APBD murni oleh anggota DPRD,” kata Kirjauhari.
Ia menjelaskan memang ada perubahan lokasi rapat yang diusulkan oleh Johar Firdaus tanpa sepengetahuan tim TAPD ke ruang komisi B. Dan kirjauhari membenarkan bahwa saat rapat dilangsungkan seluruh peserta rapat harus membuka baterai handphone.
Terkait pinjam pakai mobil dinas oleh anggota dewan yang sudah habis masa jabatannya juga ada dibahas. Saat itu Johar Firdaus yang mengusulkan dan hal ini sudah disampaikan ke Annas Maamun. “Tanggapan dari Pak Gub tidak masalah kalau memang mau dipakai, tinggal ajukan saja,” kata Kirjauhari.
Pertanyaan beralih ke pemberian uang kepada anggota dewan. Ia ingat pada 1 September 2016 ada pesang singkat yang dikirimkan Suwarno kepada dirinya bahwa akan memberikan titipan dari Wan Amir Firdaus untuk diberikan ke Johar Firdaus. “Saya terima uang itu saat berpapasan di toilet, setelah saya hitung jumlahnya Rp 900 jutaan,” kata Kirjauhari.
Uang yang ia terima sudah dimasukkan kedalam amplop yang disimpan dalam ransel dan tas jinjing. Kirjauhari menjelaskan ada dua amplop yang berisi Rp 50 juta, dua amplop berisi Rp 40 juta, enam amplop berisi Rp 25 juta dan 30 amplop berisi Rp 20 juta. Ia menyimpan uang-uang tersebut untuk dibagikan ke beberapa anggota dewan. “Saat rapat pembahasan pemekaran Riau Pesisir kita ketemu di Lick Latte Arifin Ahmad dan singgah di Empek-empek Sumatera bahas pembagian uangnya,” kata Kirjauhari. Dari pertemuan tersebut disepakati untuk Johar Firdaus Rp 150 juta, Riki Hariansyah Rp 250 juta, Solihin Rp 30 juta, Gumpita Rp 20 juta dan sisanya dipegang Kirjauhari untuk pembahasan pemekaran Riau Pesisir.
“Uang sudah saya kembalikan ke KPK Rp 100 juta dan Rp 100 juta lagi diminta oleh Johar Firdaus dan saya kirim melalui travel, katanya akan dikembalikan ke KPK,” ujar Kirjauhari saat ditanya uang tersebut masih ada atau tidak.
Usai Kirjauhari, giliran Riki Hariansyah yang dimintai keterangan. Ia menjelaskan bahwa memang ada pembahasan dana APBD yang serapannya sangat rendah dan mencari cara agar penyerapan dana dapat lebih baik. Suparman saat itu usulkan agar menghubungi Annas Maamun untuk membicarakan persoalan RAPBD 2014 dan APBD murni 2015.
Ia jelaskan untuk memperlancar pembahasan, Annas setuju untuk pemberian uang kepada anggota dewan, selain itu juga dibahas soal pinjam pakai mobil dinas bagi anggota dewan yang masa jabatannya telah usai. Selain itu juga disepakati bahwa mobil dinas tersebut dapat menjadi milik anggota dewan setelah adanya lelang.
“Bagaimana dengan pemberian uang untuk anggota dewan?” tanya jaksa
“Saya tahu dari Kirjauhari uang yang diterima ada Rp 900 juta,” ujar Riki. Ia jelaskan pertemuan di lick latte Caffe untuk membahas pembagian uang tersebut. Senada dengan penjelasan Kirjauhari, pembagian uang yang sudah diterima mereka bahas di Empek-empek Sumatera.
“Kenapa anda yang dipercaya urus uang-uang ini?” tanya hakim
“Karena saya yang paling produktif, hadir selalu saat rapat dan cukup dekat dengan Pak Johar. Saya juga terlibat dalam pembahasan pemekaran Riau Pesisir,” jawab Riki.
Riki memaparkan pembagian-pembagian uang suap ini diberikan kepada 20 anggota dewan. Untuk Johar Rp 150 juta dan dirinya sendiri Rp 50 juta. Sedangkan 15 anggota dewan menerima Rp 40 juta diantaranya Rusli Ahmad, Noviwaldy, Hasmi Waldi, Ilyas Labay, Zukri, Azis Zainal, Bagus Santoso, Iwa Sirwani, Koko Iskandar, Robin Hutagalung, Mansyur, Rusli Effendi, Abdul Wahid, Ramli Sanur dan Nur Zaman. Sedangkan 4 anggota dewan lainnya menerima Rp 30 juta yaitu Mahdinur, Edi Yatim, Syafruddin Syaan serta Solihin Dahlan.
Usai Riki, giliran Iwa Sirwani Bibra, Toni Hidayat dan Solihin yang beri keterangan. Ketiganya memberikan keterangan hampir sama berkaitan dengan pembahasan RAPBD-P dan APBD murni. Iwa jelaskan ia berada dalam tim banggar APBD-P namun tidak dalam APBD murni.
Iwa juga membenarkan adanya usulan agar APBD dibahas oleh anggota dewan berdasarkan usulan Annas Maamun. Juga terkait pinjam pakai mobil dinas yang diusulkan dapat menjadi milik anggota dewan yang tak lagi menjabat dengan sistem lelang. Keterangan yang diberikan Solihin hampir sama dengan Iwa. Ia lebih banyak ditanyai terkait pemberian uang untuk anggota dewan. Solihin membenarkan bahwa ia menerima uang sebesar Rp 30 juta.
Toni juga dimintai keterangan terkait pembahasan rapat APBD dan persoalan tim komunikasi yang dibentuk untuk membicarakan pembahasan APBD dengan Annas.
“Saya ada dihubungi, tanggalnya lupa tapi saya ingat sekitar pukul 2,” ujar Toni mengawali cerita. Ia diminta untuk hadiri rapat Banggar di ruang Medium DPRD Provinsi Riau. Dalam perjalanan keruangan yang sudah dijanjikan, ia dihentikan oleh staff DPRD. Ia ditanyai apakah Toni anggota Banggar, ketika ia membenarkan, ia diminta keruang Komisi B.
Toni menanyakan alasan kenapa ruangan rapat dipindah, namun staff tersebut tidak tahu alasannya. Ia hanya mengikuti perintah, bahwa tiap anggota Banggar hadiri rapat di ruang Komisi B tersebut. Ia jelaskan rapat tersebut tak seperti biasa. Pintu ruangan terkunci, dan ketika ia masuk, semua mata yang ada dalam ruangan menatapnya. Namun ia tetap memilih masuk ruangan karena menurutnya itu adalah haknya. Ia anggota Banggar.
Toni duduk disebelah Zukri. Namun tidak ada yang berbicara sampai Suparman menginterupsi. “Rapat tidak usah dilanjutkan dulu, karena ada yang bukan Banggar dalam ruangan tersebut,” Toni meniru ucapan Suparman.
Namun Toni tetap bersikeras tak meninggalkan ruangan sampai ada penjelasan dari johar bahwa Toni anggota Banggar. Tak lama berselang interupsi kedua dilemparkan Suparman. Kali ini alasan rapat tak usah dilanjutkan karena ada yang belum melepaskan baterai ponsel. Toni yang memang datang terlambat dan merasa bahwa yang dimaksud adalah dirinya segera membuka baterai ponselnya.
Ia sempat menanyakan pada Zukri yang berada disebelahnya, terkait alasan melepaskan sumber daya ponsel tersebut. “Tak tahu, orang suruh lepas, awak ikut lepas,” Toni meniru jawaban Zukri.
Tak puas dengan jawaban rekan disebelahnya yang juga datang terlambat, Toni beralih ke Koko. Ia bertanya kepada Koko yang berada dikursi seberangnya. Dengan bahasa tubuh Koko juga katakan tak tahu alasan melepaskan baterai tersebut.
“Apa biasa kalau rapat harus buka baterai seperti itu?” tanya Jaksa
“Tidak.”
“Jadi menurut anda rapat saat itu bagaimana? Wajar?”
“Kesannya seperti rapat rahasia, tak seperti biasa,” ujar Toni.
“Apa hasil rapat tersebut?”
Toni katakan karena ia datang terlambat, ia tak banyak dengar hasil rapat. Pada akhir rapat dibacakan kesimpulan rapat. Ia dengar Johar sampaikan soal pembentukan tim yang diketuai Suparman.
“Soal adanya pemberian uang, anda tahu?”
“Tidak,” ujar Toni. Ia ditanyai apakah tak ada mendengar setelah rapat-rapat tersebut. Toni katakan ia tak lagi mau ikut pembahasan RAPBD karena sudah merasa ada yang aneh sejak adanya rapat tersebut.#rctika