Korupsi Surya Darmadi

Saksi: Sawit Duta Palma dalam Kawasan Hutan dan Konflik dengan Masyarakat

PN Jakarta Pusat, Senin 10 Oktober 2022—Majelis Hakim Fahzal Hendri, Susanti Arsi Wibawani dan Sukartono, memeriksa tujuh saksi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang, terdakwa Surya Darmadi. Dia pemilik PT Kencana Amal Tani, PT Seberida Subur, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama dan PT Palma Satu. Berkebun sawit dalam kawasan hutan, sejak 2004.

Para saksi diminta keterangan secara berurutan. Dimulai dari Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indragiri Hulu 2002-2008, Amedtribja Praja. Dia saksi utama dalam perkara ini, karena perizinan Banyu Bening Utama dimulai darinya.

Sekitar awal 2004, setelah pulang menunaikan ibadah haji, Bupati Indragiri Hulu Raja Thamsir Rachman, memanggil Amed ke Jakarta. Satu pagi, di lobi Hotel Indonesia, Jakarta, Thamsir memperkenalkannya dengan Surya Darmadi. Thamsir menyodorkan sebuah map berisi surat keputusan izin usaha perkebunan buat Banyu Bening Utama yang harus ditandatanganinya.

“Tolong bantu Pak Surya. Dia mau buat usaha perkebunan di Inhu,” kata Amed, mengingat perintah Thamsir, saat itu. Katanya, draf surat sudah disusun dan dikonsep oleh wakilnya, Saleh Jalil, ketika masih di tanah Mekah.

“Siap. Akan saya kerjakan,” jawab Amed, menuruti perintah bupati.

Surya Darmadi, membantah pernah bertemu Amed pada 2004. Namun tidak untuk pertemuan dengan Thamsir di Hotel Indonesia. “Saya baru pertama kali ketemu Pak Amed, saat sidang hari ini, yang mulai majelis hakim.”

Amed tetap dengan keterangannya. Katanya, masih mengenal wajah Surya Darmadi, dulu maupun sekarang.

Pulang ke Indragiri Hulu, Amed menemui Kabag Hukum Mawardi, untuk meneliti redaksi surat keputusan IUP yang diterimanya. Mawardi hanya memperbaiki sedikit narasi surat. Beberapa hari kemudian, Suheri Terta, mengambil SK tersebut dari Amed dan membawanya ke Thamsir, agar ditandatangan.

Amed, mengenal Suheri Terta, sebagai anak buah Surya Darmadi. Suheri Terta, saat ini, dalam penjara karena terlibat suap mantan Gubernur Riau Annas Maamun. Kasus alih fungsi kawasan hutan pada 2014. Juga melibatkan perusahaan-perusahaan yang menjerat Surya Darmadi, saat ini.

Beberapa hari kemudian, Thamsir kembali memanggil Amed di ruang kerja bupati. Rupanya Surya Darmadi mengajukan perluasan areal Banyu Bening Utama menjadi 6.420 hektar. Semula sekitar 4.000 hektar.

“Tolong selesaikan permohonan revisi,” kata Amed, mengingat kembali perintah Thamsir, saat itu.

Kali ini, Amed membentuk tim survei. Diketuai Kepala Seksi Perencanaan Hutan, Manap Tambunan, anak buahnya. Tim ini untuk memastikan ketersediaan dan kesesuaian lahan. Hanya saja, kerja-kerja mereka dibiayai oleh Duta Palma Grup.

“Dana tidak tersedia dari APBD, yang mulia (majelis hakim),” kata Manap, yang kemudian naik jabatan jadi Kasubdit Program Dishutbun Indragiri Hulu.

Dari sinilah pangkal masalahnya. Hasil penelaahan tim, merujuk dua aturan, kala itu, terdapat perbedaan status areal Banyu Bening Utama. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1986, areal yang dimohon berada dalam kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK). Sementara dalam Perda 10/1994 tentang tata ruang dan wilayah Riau, statusnya areal pembangunan perkebunan.

Amed tetap memasukkan dua pertimbangan itu dalam rekomendasi kerja timnya. Hanya saja, katanya, Thamsir tidak menanggapi dan memberi petunjuk lanjutan. Sehingga IUP terbaru Banyu Bening Utama dengan penambahan luasan tetap dikeluarkan pada 16 April 2004.

Hal serupa juga terjadi dengan perusahaan Surya Darmadi lainnya. Thamsir tidak menghiraukan izin pelepasan kawasan hutan yang belum dimiliki tiap-tiap perusahaan. Sementara IUP terus dikeluarkan: Panca Agro Lestari terbit 2006, Palma Satu dan Seberida Subur pada 26 Februari 2007.

“Yang begerilya (mengurus izin ke sana-sini) di lapangan, Suheri Terta,” kata Manap.

“Suheri Terta yang bolak-balik bawa SK IUP,” timpal Amed.

Untuk rekomendasi IUP Palma Satu, Amed menolak tandatangan. Ini perusahaan Surya Darmadi terakhir yang berurusan dengannya.

“Kenapa menolak?” tanya Ketua Majelis, Fahzal Hendri.

“Capek. Kawasan hutan terus,” timpal Amed.

Amed tidak membantah terima uang Rp 20 juta dan Rp 25 juta dari Suheri Terta, selama menadantangani rekomendasi penerbitan IUP. “Tak lama setelah keluar izin, atau sekitar 4 bulan kemudian, alat berat masuk. Lapangan bersih.”

Amed, terakhir menjadi Kadishutbun Indragiri Hulu pada 2010.

Adapun Kencana Amal Tani, sudah mendapat izin jauh sebelumnya. Kata Penasihat Hukum Juniver Girsang, areal perusahaan ini berada dalam APL, berdasarkan surat Badan Planologi Kehutanan, 21 Juni 2001, serta Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri, tentang ketentuan pelepasan kawasan hutan dan penerbitan HGU.

“Saya tidak pernah mendengar surat itu. Tapi kalau dari yang saya dengar, itu hanya berlaku untuk PT KAT. Bukan untuk hamparan perusahaan-perusahaan yang saya ceritakan ke majelis tadi,” kata Amed, membantah Juniver yang menyamakan status seluruh hamparan kebun perusahaan.

Juniver memang tidak membantah status kawasan hutan pada empat perusahaan Surya Darmadi. Hanya saja, dia berdalih, bahwa perusahaan-perusahaan itu mengambil alih (take over) lahan-lahan perusahaan sebelumnya yang telah memiliki izin. Banyu Bening Utama dari PT Bertuah, Panca Agro Lestari dari Panca Agro Lestari (nama memang sama) dan Seberida Subur dari CV Sri Anugerah.

“Semuanya sudah ada IUP,” kata Juniver.

Amed dan Manap mengenal perusahaan itu. Tapi tidak mengetahui perpindahan kepemilikan lahan. “Setahu saya, mayoritas lahan itu bekas hak pengusahaan hutan Inhutani,” ungkap Manap.

Kepala Dinas Kehutanan, Selamat, menggantikan Amed, juga membenarkan status kawasan hutan terhadap perusahaan Surya Darmadi. Dia pernah mengingatkan Bupati Thamsir, agar Banyu Bening Utama mengurus pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu, ketika memohon penerbitan izin lokasi. Tapi, Thamsir tetap memerintahnya mengacu pada Perda RTRW Riau 10/1994.

Konflik

Selain merambah kawasan hutan, aktivitas perusahaan Surya Darmadi juga berimbas konflik dengan masyarakat sekitar, terutama masyarakat adat Talang Mamak. Pemicunya, perusahaan merampas hutan ulayat, lahan garapan masyarakat maupun tidak memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat atau plasma 20 persen.

Seperti cerita Kepala Dinas Perkebunan Indragiri Hulu, Suseno Adji. Pada 2010, terjadi gejolak masyarakat dengan Palma Satu. Sehingga Bupati Mujtahid Thalib—Thamsir Rachman mundur dari bupati karena mengikuti pemiluhan gubernur Riau 2008—mengurangi 3.000 hektar lahan perusahaan itu menjadi kurang lebih 10.000 hektar.

Kata Adji, sengketa lahan itu tak kunjung usai sampai saat ini, karena Palma Satu tak mengindahkan hasil pengurangan lahan. “Masyarakat nanam, perusahaan nanam. Masyarakat panen, perusahaan panen.”

Persoalan konflik juga dibenarkan Sekretaris Daerah Indragiri Hulu, Hendrizal. Sebelumnya, dia malang melintang di Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Pernah Kepala Seksi Konservasi, Kepala Bidang Perlindungan hingga Kepala Dinas Perkebunan, setelah dipisahkan dari Dinas Kehutanan.

Hendrizal pernah ditugaskan mendata konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan di Indargiri Hulu. “Semua perusahaan Duta Palma berkonflik dengan masyarakat,” katanya, membenarkan hasil pendataan.

Menyoal konflik masyarakat dengan Palma Satu, Hendrizal sedikit meluruskan. Pada 2017, perusahaan secara resmi memang telah menyerahkan 1.500 hektar areal konflik pada pemerintah untuk dijadikan kebun kemitraan. Hanya saja, Hendrizal meminta Palma Satu terlebih dahulu menyelesaikan izin pelepasan kawasan hutan yang belum dimilikinya sejak awal membuka lahan.

Selain masalah kawasan hutan dan konflik, perusahaan Surya Darmadi juga memperoleh IUP tanpa memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu. Ini ditegaskan Amed, Manap dan Hendrizal. Mereka merujuk Permentan 357/2002 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan maupun Permentan 26/2007 yang mencabut peraturan sebelumnya.

“Perusahaan Duta Palma beroperasi dulu baru urus izin,” jelas Selamat.

Namun, Juniver mengelak dengan kewajiban plasma 20 persen buat masyarakat. Sebab perusahaan kliennya mendapat izin sebelum Permentan 357/2002 terbit. Dia juga sedikit ngeyel mengenai, perlu adanya pertimbangan teknis ketersediaan lahan dalam kawasan hutan dan persetujuan dokumen AMDAL.

Tapi, Hendrizal tetap kukuh mewajibkan perusahaan Surya Darmadi menjalankan usaha perkebunan sesuai aturan. Karena sampai saat ini, mereka belum memiliki izin-izin yang lengkap. Buktinya, diperkuat oleh Manap. Bahwa DPRD Indragiri Hulu pernah membentuk pansus inventarisasi administrasi perizinan perkebunan dan penyelesaian konflik. Perusahaan-perusahaan Surya Darmadi masuk dalam temuan.

“Taka da tindak lanjut dari hasil kerja Pansus. Perusahaan Duta Palma juga tak pernah beri laporan kegiatan perkebunan mereka. Kami mau masuk mengecek lokasi konflik saja gak bisa,” ungkap Hendrizal.

Dua saksi lagi yang dipanggil dalam persidangan ini, tidak banyak diminta keterangan. Masing-masing memang tidak terlibat aktif dalam masalah kebun sawit ilegal milik Surya Darmadi.

Nikson, hanya meneruskan surat dari Rozi, pegawai tata pemerintahan, ke Selamat. Dia staf di Dinas Kehutanan Indragiri Hulu, ketika Selamat jadi kepala dinas.

Sementara Purwadi, hanya 4 bulan jadi Kepala Dinas Perkebunan Indragiri Hulu pada 2011. Tidak sempat mencaritahu tentang perusahaan Duta Palma Grup.

Sidang pemeriksaan saksi lainnya dilaksanakan, Senin 17 Oktober 2022.#Suryadi

About the author

Jeffri Sianturi

Sejak 2012 bergabung di Bahana Mahasiswa. Menyukai Jurnalistik setelah bertungkus lumus mencari ilmu di lembaga pers mahasiswa ini. Menurutnya, ia telah 'terjebak di jalan yang benar' dan ingin terus berada di jalur sembari belajar menulis memahami isu lingkungan, korupsi, hukum politik, sosial dan ekonomi.
Siap 'makan' semua isu ini, ayo bumikan minum kopi.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube