Video : Keterangan Ahli Raimadoya
PN Jakarta Selatan, 27 April 2016 – Sidang gugatan perdata kebakaran lahan antara PT. National Sago Prima dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kali ini dimulai pada pukul 10.00 WIB. Pada sidang kali ini terjadi pergantian hakim ketua. Sidang yang biasanya diketuai oleh Nani Indrawati, kini digantikan oleh Mukhtar Efendi dikarenakan Nani Indrawati dimutasi untuk menjadi Ketua Pengadilan Negeri Semarang. Sebagai pengganti Nani, ditunjuk Nursyam, hakim lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pihak tergugat PT. National Sago Prima pada kali ini diberikan kesempatan untuk menghadirkan saksi ahli. Saksi ahli yang dihadirkan tergugat merupakan ahli di bidang yang berkaitan dengan hotspot (titik panas). Saksi ahli yang dihadirkan bernama Machmud Arifin Raimadoya, dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pada awalnya saksi yang ingin dihadirkan oleh pihak tergugat sebanyak 2 orang saksi ahli. Namun, kuasa hukum pihak tergugat menjelaskan bahwa kali ini hanya 1 orang yang bisa dihadirkan, dengan alasan bahwa satu saksi lagi berhalangan datang dikarenakan sakit.
Machmud Arifin Raimadoya, dalam kesaksian banyak mengutarakan beberapa keterangannya mengenai peran hotspot dalam mendeteksi kebakaran. Menurutnya, “Sebenarnya hotspot itu bukan menentukan titik api, melainkan menentukan titik panas.” Pada penjelasan tersebut ia menerangkan bagaimana sebenarnya fungsi hotspot itu.
Sifat hotspot sendiri ialah indikatif, yakni digunakan sebagai pendeteksi munculnya titik panas di atas lahan tersebut. Namun pada praktiknya sering terjadi kesalahan-kesalahan yang menyebabkan informasi yang dikirim hotspot berupa sinyal yang nantinya ditangkap oleh satelit menjadi kurang akurat. “Dua hal yang sering terjadi pada hotspot. Pertama, di satelit terdapat titik panasnya, namun setiba di lapangan ternyata titik panas tersebut tidak ada. Kedua, terjadi sebaliknya. Di lapangan terdapat titik panas, namun di satelit tidak terdetiksi apapun,” terangnya.
Selain itu, ia menambahkan, “Disebabkan karena info yang didapat mengenai lahan yang terbakar dari sinyal satelit terbatas, maka yang paling akurat adalah menggunakan foto udara.” Penggunaan hotspot melalui satelit yang saat ini menjadi sumber BMKG mendeteksi api kurang akurat, “Satelit yang selama ini menjadi sumber adalah Aqua-Tera, satelit yang dimiliki NASA tersebut telah mencapai masa habis pakai, maka tidak akurat lagi. Bahkan akurasi data yang dihasilkan satelit tersebut hanya sekitar 43 persen.”
“Lalu bagaimana cara mendeteksi dini kalau ada kebakaran lahan di konsesi perusahaan?” tanya kuasa hukum penggugat.
“Bisa dengan curah hujan. Kalau sudah sepuluh hari tidak hujan, perlu dilakukan pencegahan dini. Perusahaan juga harus punya kelengkapan peralatan dan tim pemadam kebakaran,” jawab Raimadoya.
Selain itu, Raimadoya juga memaparkan bahwa meskipun satelit yang dimiliki NASA yang juga menjadi sumber data bagi BMKG kurang akurat datanya, pihak perusahaan bisa juga meminta informasi dari satelit yang dimiliki oleh Singapura, meskipun mungkin akan menguras biaya. Selain itu, Amerika sendiri juga memiliki satelit komersial yang pernah ia mintai data dan informasinya, ketika itu dalam keadaan genting maka ia mendapat prioritas untuk memperoleh informasi tersebut, bahkan dalam waktu kurang dari 7 x 24 jam informasi tersebut berhasil ia dapatkan, meskipun memang memerlukan biaya yang lebih banyak lagi.
Saat akhir-akhir waktu sidang, kuasa hukum dari KLHK bertanya kepada saksi ahli. “Apakah ahli terjun langsung di saat lahan PT. NSP ini terbakar?” Raimadoya menjawab bahwa saat lahan terbakar yakni tepatnya pada 2014 ia tidak langsung melihat, namun pada 2016 setelah kebakaran lahan tersebut selesai ia datang dan melihat bahwa lahan telah ditumbuhi dengan tumbuhan-tumbuhan liar dan tidak terlihat bekas-bekas lahan terbakar.
Dengan telah berakhirnya kesaksian yang diberikan saksi ahli, maka hakim pada pukul 13.15 WIB menutup sidang dan akan dilanjutkan pada Selasa, 3 Mei 2016, tepat pukul 09.00 WIB. #sandircti